Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGENAKAN kemeja putih berpadu pantalon hitam, Frans Frederick Edward Wullur duduk anteng di kursi pesakitan. Bos PT Indo Global Nusantara ini takzim mendengarkan pembacaan putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis siang pekan lalu. Frans didakwa bersalah karena melakukan perdagangan berjangka komoditas tanpa seizin Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Dengan kedok yang sama, ia juga dituding melakukan penipuan.
Adalah Tony Wahyudi Subianto yang menyeret Frans ke pengadilan. Kasus ini berawal pada sepotong iklan di sebuah koran nasional edisi 13 Juli 2002. Iklan berbahasa Inggris itu menawarkan beberapa jabatan menggiurkan di sebuah perusahaan, antara lain manajer teknik dan manajer pemasaran. Sebenarnya tawaran bagus itu sejak awal meniupkan kecurigaan karena tak banyak syarat yang diminta dari pelamarnya: umur 22 tahun dan mampu bercasciscus Inggris. Apalagi si iklan mengicaukan "pengalaman tidak terlalu dibutuhkan."
Tergiur, Tony lalu melamar dan diterima sebagai karyawan. Setelah bekerja, baru ia tahu ada keharusan bagi rekrutan baru menyetor sejumlah modal. "Uang itu digunakan untuk bermain saham di luar negeri," paparnya.
Beberapa waktu setelah masuknya uang Tony, Indo Global mengumumkan kalah bermain saham. Sudah uangnya amblas, ia masih diminta menyetor dana lagi. Alasannya, kalau modal segar tak disuntikkan, duitnya akan raib. Bagai kerbau dicocok hidung, Tony manut saja.
Namun cerita lama berulang. Meski injeksi dana sudah terjadi, kata Tony, Indo Global kembali menyatakan kalah "berjudi" di lapak saham. Itu sama artinya dengan raibnya dana setoran kedua Tony. Setelah dijumlah, kerugiannya mencapai Rp 158,44 juta. Tanah pijakan Tony serasa runtuh. "Sebagian uang itu uang pinjaman," katanya lunglai. Sebagian lagi milik keluarganya. Frans pun diadukan ke polisi, yang kemudian meneruskannya ke pengadilan.
Dalam surat dakwaannya, jaksa penuntut umum Ramdhanu Dwiyantoro menyatakan Frans melanggar Pasal 71 ayat 1 UU No. 32/1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi. Dalam pasal ini disebutkan bahwa penyaluran amanat nasabah ke luar negeri hanya boleh dilakukan perusahaan pialang berjangka berizin dari Bappebti. Dan izin itulah yang tak dimiliki Indo Global. Sedangkan untuk dakwaan subsider, Frans kepentung Pasal 378 juncto Pasal 55 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penipuan. Ancaman hukuman maksimumnya empat tahun penjara.
Lantas kenapa Frans cuma diganjar enam bulan penjara? Ini, menurut Hakim I Ketut Gede, karena terdakwa dituntut tujuh bulan penjara. Diingatkannya, dakwaan primernya adalah Pasal 71 ayat 1 UU No. 32/1997. Sedangkan dakwaan kedua (subsider) melanggar Pasal 378 KUHP soal Penipuan. Dengan dakwaan alternatif ini, hakim tinggal memilih satu di antara keduanya. "Nah, karena dakwaan kesatu sudah terbukti, yang kedua tak usah lagi," ujar Ketut Gede.
Hakim Ketut menambahkan, dalam persidangan, bukti adanya unsur penipuan agak lemah. Soalnya, Indo Global telah melunasi sebagian duit Tony yang raib. Untuk sisanya, sekitar Rp 118 juta, sang pialang telah mengantongi surat pengakuan utang. Artinya, sampai kapan pun Tony bisa menagih uangnya kembali.
Sebetulnya penipuan berkedok perdagangan berjangka bukan hal baru. Sejak 1970, praktek akal bulus semacam ini marak di Indonesia. Catat modus operandi perusahaan pialang dalam menjerat korbannya, yang dimulai dengan merekrut sejumlah tenaga. Mereka kemudian dilatih trik-trik mengail untung di lantai bursa komoditas luar negeri. Kelar pelatihan, dengan embel-embel "konsultan bisnis" pada kartu namanya, para rekrutan disuruh berburu investor. Yang tergaet umumnya saudara atau tetangga sendiri.
Sial bagi korban, proses hukum atas ratusan kasus ini, menurut catatan Bappebti, sangat lamban. Karena itu, meski cuma enam bulan penjara, vonis atas bos Indo Global itu terbilang penting. Apa tanggapan tervonis? "Saya akan pikir-pikir dulu," katanya datar.
Nurdin Kalim, Anastasya Andriarti, Multazam (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo