Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

DPR Ingin Evaluasi MK, Guru Besar HTN Unpad: Membahayakan

Komisi Pemerintahan DPR melontarkan wacana ingin mengevaluasi Mahkamah Konstitusi (MK)

30 Agustus 2024 | 10.45 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah para guru besar, akademisi, aktivis pro demokrasi dan aktivis 98, dan mahasiswa melakukan aksi perlawanan tragedi pembegalan konstitusi di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis 22 Agustus 2024. Ada semacam pembegalan terhadap demokrasi dan pelanggaran terhadap konstitusi. Demokrasi Indonesia telah bangkrut. TEMPO/Subekti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Pemerintahan DPR RI Ahmad Doli Kurnia melempar wacana mengevaluasi Mahkamah Konstitusi (MK). Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti menilai rencana itu membahayakan MK dan mengancam independensi lembaga pengadilan tersebut. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dasar DPR melontarkan wacana ini tak lepas dari putusan MK dalam uji materi UU Pilkada yang mengubah ambang batas pencalonan dan batas minimal usia calon kepala daerah.

"Kalau terjadi balasan-balasan semacam ini melalui evaluasi, independensi Mahkamah Konstitusi itu dalam posisi bahaya. Ketika independensi Mahkamah Konstitusi dalam posisi bahaya karena diserang terus oleh lembaga politik, itu terjadi politicization of the judiciary, politisasi lembaga pengadilan," kata Susi saat dihubungi Antara, Kamis, 29 Agustus 2024.

Padahal, kata dia, berdasarkan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, jaminan kemerdekaan atau independensi MK sudah dijamin di dalam UUD NRI Tahun 1945.

"Dan itu membahayakan. Karena apa? Hanya pengadilan yang bisa melindungi hak-hak warga negara, dan kepada siapa lagi kita bisa meminta keadilan kalau bukan kepada lembaga pengadilan?" ujarnya.

Ia mengingatkan MK didirikan dengan tujuan utama untuk menjamin sistem politik yang demokratis serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Oleh sebab itu, dia mengingatkan bahwa MK menegakkan keadilan dalam konteks Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024, dan bukan mengambil porsi DPR serta Pemerintah selaku pembuat undang-undang.

"Ya 'kan Mahkamah punya alasan, yaitu ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi bagi peserta pemilihan umum. Apalagi, Mahkamah Konstitusi menurut Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945 itu 'kan dia menegakkan hukum dan keadilan, bukan hanya semata-mata menegakkan hukum, melainkan juga menegakkan keadilan," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya, Ketua Komisi Pemerintahan DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan MK mengerjakan banyak urusan yang bukan menjadi kewenangannya.

“Nanti kami evaluasi posisi MK karena memang sudah seharusnya kami mengevaluasi semuanya tentang sistem, mulai dari sistem pemilu hingga sistem ketatanegaraan. Menurut saya, MK terlalu banyak urusan yang dikerjakan, yang sebetulnya bukan urusan MK," kata Doli dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis, 29 Agustus 2024.

Menurut Doli, salah satu contohnya mengenai pilkada. Seharusnya, kata dia, MK meninjau ulang Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi akhirnya MK turut masuk pada hal-hal teknis, sehingga dianggap melampaui batas kewenangannya.

"Di samping itu, banyak putusan-putusan yang mengambil kewenangan DPR selaku pembuat undang-undang. Pembuat undang-undang itu hanya Pemerintah dan DPR, tetapi seakan-akan MK menjadi pembuat undang-undang ketiga,” ujarnya.

Oleh sebab itu, ia mengatakan bahwa DPR akan mengubah hierarki tata urutan peraturan perundang-undangan karena putusan MK bersifat final dan mengikat.

"Akibatnya, putusan MK memunculkan upaya politik dan upaya hukum baru yang harus diadopsi oleh peraturan teknis, seperti halnya dengan putusan kemarin. Akan tetapi, ketika DPR mau mendudukkan yang benar sesuai undang-undang, muncul demonstrasi mahasiswa dan kecurigaan,” katanya.

Pilihan Editor:
Top Hukum: KPK Tak Berwenang Usut Kaesang, Kata Jaksa Agung soal Jelita Jeje

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus