Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengakhiri abad ke-20, di negara belahan Eropa telah dan akan digelar festival-festival seni yang akbar. Menariknya, perhelatan yang mendatangkan seniman mancanegara ini berlokasi di kota kecil yang asrikota yang dianggap bersejarah, pernah menjadi pusat kebudayaan yang mempengaruhi peradaban Eropa masa kini.
Tahun lalu, Weimarkota kecil di Jerman yang dikenal sebagai cikal bakal kelahiran demokrasi, kiprahnya sastrawan Goethe, komponis Frans Lizt, dan sekaligus kantong penyebaran fasisme Hitlermengadakan Weimer Kulturstaad Fest 1999. Acara itu diselenggarakan hampir sepanjang tahun. Di samping pameran seni rupa dan baca puisi, dalam sehari minimal ada dua jenis seni pertunjukan digelar. Dahsyat tentu saja, sebuah gagasan besar mustahil terlaksana tanpa persiapan panjang dan matang. Ide festival ini menggelinding selama 12 tahun, yang dimulai melalui diskusi seniman di kafe-kafe hingga lobi tingkat kementerian di Uni Eropa.
Di Spanyol, Compostela Millenium Festival untuk kedua kalinya diselenggarakan di Kota Santiago de Compostela. Inilah suatu tempat yang unik, pucuk-pucuk katedralnya berbentuk kubah bak masjid. Karena itu pula, sejak 3 sampai 29 Agustus lalu mereka juga menyelenggarakan ekshibisi seni rupa yang bertajuk Memorias do Imperio Arabe, yang berlatar belakang ungkapan untuk menghormati asal-usul dan eksistensi multikulturalisme. Selain itu, festival ini juga mengetengahkan dialog kebudayaan dan kemanusiaan, dengan mengundang pembicara Rigoberta Menchupemenang Nobel Perdamaian 1992. Dan yang menarik adalah berbagai seni pertunjukan seperti pentas tari blanca Li dari Spanyol dan Keiko Takeya dari Jepang. Sementara itu, seni musik menampilkan grup-grup Timur Tengah, klasik, jazz, seriosa, dan opera karya Michael Nymankomponis dari Inggris. Dunia teater menyajikan persembahan Teatro de Rua dari Prancis dan karya sutradara kondang Robert Wilson dari Amerika Serikat.
Ketika kaki menginjak bandara Santiago, poster yang menampangkan wajah flamboyan sutradara ini telah mencegah kita. Ini adalah sebuah siasat yang pas untuk menarik minat orang yang kebanyakan turis dan sebuah tanda betapa seriusnya penyelenggaraan festival ini. Karya lama Robert Wilson berjudul Persephone dan yang baru, The Days Before, Death, Destruction & Detroit III, dipentaskan masing-masing selama tiga malam di Auditerio de Galacia, yang selalu penuh sesak dengan penonton.
The Days Before adalah karya yang menjelajahi proses destruksi dan rekonstruksi, digambarkan mulai dari mitos pengungkapan wahyu bertemu dengan pikiran manusia dan imajinasinya. Pergeseran masa lalu dan masa kini, sewaktu visi tentang kehancuran dan harapan tumpang tindih, selalu muncul dalam setiap pergantian abad. Embrio yang ditandai sebagai konsep dalam karya ini telah mulai dikembangkan lewat sebuah lokakarya pada 1996. Ini merupakan studi dan penelitiannya terhadap berbagai teks dan aspek visual dari berbagai sumber. Lokakarya ini memacu pertumbuhan inspirasi baru yang dituangkan dalam sket dan diagram. Kesemuanya dicatat menjadi buku yang memuat imajinasi visual dan penemuan teks yang bersifat historis ataupun fiktif. Buku ini kemudian menjadi basis workshop tahun berikutnya, yang melibatkan partisipasi para koreografer dan dicatat oleh satu tim asisten direktur dan para ahli dramaturgi. Setiap perubahan fase demi fase dalam lokakarya itu selalu ditambah unsur visual dari tata cahaya, film, video, dan suara.
Fase terakhir pada 1998 merupakan perombakan detail dan pencampuran teks yang dikutip dari The Island of The Days Before oleh Umberto Eco, termasuk puisi Christopher Knowles yang tidak berfungsi naratif terhadap pergerakan di panggung. Rekayasa bunyi yang diciptakan Ryichi Sakamoto yang telah ikut serta sejak awal proses pada fase ketiga ini menemukan format yang solid dalam kua tekno-etnik. Susunan elemen-elemen musiknya jauh dari kesan ilustratif dan bahkan sesekali menggedor sepi yang berkepanjangan, saat intensitas penghayatan penonton agak menurun.
Dari tangan sutradara yang oleh The New York Times pernah ditempatkan sebagai figur puncak di dunia teater eksperimental, tampak segalanya harus perfect, rumit, dan pasti. Saya melihat penari-koreografer Indonesia, Restu Imansari Kusumaningrum, berkiprah. Ia beruntung karena untuk menjadi anggota kelompok Robert Wilson sangat sulit; harus melalui audisi yang ketat dan talent scouting dengan persyaratan yang tinggi. Andilnya cukup terasa di dalam membentuk warna multikultur yang utuh. Dalam porsinya, Restu tetap mencuat dengan stilisasi gerak tari Bali yang keras atau dalam kelembutan tari Jawa yang dipelajarinya sejak kecil. Di dalamnya, tidak ada improvisasi; amat arithmetical. Setiap perubahan geraknya dihitung secara mekanik. Sistem kepenarian yang berseberangan dengan latar tradisinya menjadi tidak bermasalah; ia memang telah menjalani masa adaptasi yang panjang di Watermill, Long Island. Di sinilah Wilson mencanangkan motto inovasinya: pencampuran, penyatuan genre dan pengobar semangat kolaborasi interdisiplin. Dari Asia, Restu tidak sendirian, ada vokalis Tibet, koreografer Jepang, aktor dari Lebanon, di samping seniman dari belahan benua laintermasuk Isabela Rosellini, fotomodel dan bintang film masyhur yang hanya tampil membaca teks sepanjang pertunjukan dan tanpa akting. Setiap pendukung boleh jadi adalah primadona sekaligus figuran. Ini sangat identik dengan aura surealisme yang tercipta di panggung. Suatu obyek buruk bisa menjadi sangat indah dan begitu pula sebaliknya. Begitulah hebatnya pendekar Wilson yang mempelajari ruang dan waktu dalam panggung.
I Wayan Sadra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo