Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI sebuah rumah kayu beratap seng yang belum selesai dibangun, sekitar 70 orang dewasa dan anak-anak duduk melingkar. Menyesaki ruangan berukuran 8 x 6 meter, mereka duduk tafakur, dengan mata terpejam, memanjatkan doa kepada Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa). Pemimpinnya seorang bashir (ulama) yang berbahasa Dayak Ngaju. Di tengah mereka terdapat sebuah meja kecil untuk menaruh sangkuk—semacam mangkuk—berisi sesajian beras, rokok, bulu ekor burung enggang, dupa, dan bunga.
Sore itu umat Kaharingan yang berada di Desa Bereng Rambang, Kecamatan Kahayan Tengah, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, sekitar satu setengah jam perjalanan menggunakan mobil dari Palangkaraya, melakukan upacara basarah (semacam kebaktian dalam agama Kristen) di Balai Riwut Tarung.
Sebelum masuk ke dalam balai, terdapat sebuah rumah panggung mini berukuran 1,5 x 1,5 meter, tempat menyimpan sesaji. Tempat yang dinamakan patahu itu berfungsi sebagai penjaga desa dari marabahaya atau serangan musuh. Uniknya, di bawah patahu ada puluhan batu yang, menurut mereka, jumlahnya setiap hari tidak akan pernah sama, tergantung situasi desa.
Ono, warga Desa Bereng Rambang, mengatakan keberadaan patahu di desanya sangat penting. "Bila butuh pertolongan para leluhur, kami tinggal menaruh sesaji kemudian memanjatkan doa, maka ia akan menolong kami. Biasanya kedatangannya diisyaratkan dengan adanya warga yang kesurupan," ujarnya.
Setiap minggu, Lubis, Ketua Dewan Pembina Pengurus Besar Lembaga Tertinggi Agama Kaharingan Republik Indonesia, melakukan pembinaan umat. Sabtu sore pekan lalu, disaksikan oleh Tempo, ia melakukan ritual Kaharingan bersama warga setempat. Tidak menggunakan bahasa Dayak Ngaju, kali ini ia bersembahyang dalam bahasa Indonesia. "Agar Anda tahu maknanya." Pemeluk Kaharingan bersembahyang dipimpin seorang bashir yang bernama Yohansyah.
Lubis memimpin umat menyanyikan kandayu (lagu rohani untuk pemujaan kepada leluhur). Kali ini mereka melantunkan Kandayu Mayarah Sungku Tambak Raja (kidung pujian kepada Tuhan). Upacara dilanjutkan dengan pembacaan Panaturan, kitab suci umat Kaharingan, kemudian ceramah agama (pandehen).
Ceramah—disampaikan dalam bahasa Indonesia dan Dayak Ngaju—menganjurkan cinta kasih kepada Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan. "Tuhan itu mengajarkan penyang hinje simpei (kerukunan terhadap sesama umat manusia dan siapa pun)," ucap Lubis.
Beberapa orang datang terlambat. Sebelum bergabung, mereka memasukkan uang ke sangkuk. Uang nantinya akan dihitung saat upacara usai, kemudian dimasukkan ke kas balai. Sore itu jumlah sumbangan warga Rp 200 ribu. Ritual agama Kaharingan ini diakhiri dengan menyantap kudapan sederhana: kue kering, teh, dan kopi.
Butiran beras, dupa, rokok, bunga, dan bulu ekor burung enggang di dalam sangkuk adalah perlambang. Beras melambangkan jiwa manusia yang hidup. Bulu ekor burung enggang memiliki tiga warna: putih melambangkan manusia yang suci saat di alam Sangiang (alam Tuhan), menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya suci; hitam menunjukkan bahwa ia telah berdosa dan dibuang ke bumi; dan warna putih kedua melambangkan manusia kembali suci setelah mati.
Ahsanul Khalikin, peneliti Kaharingan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama, mengatakan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah sudah mengakomodasi umat Kaharingan. Mereka menyediakan anggaran khusus, juga membolehkan tata cara Kaharingan untuk pengambilan sumpah pejabat.
Menurut Nuhrison M. Nuh, rekan Ahsanul di lembaga yang sama, di Kalimantan penganut Kaharingan terbanyak di Kalimantan Tengah—sekitar 300 ribu. "Jumlah penganutnya terbanyak di Kabupaten Kapuas dan Waringin Timur, masing-masing sekitar 50 ribu," ujarnya. Di Palangkaraya, banyak penganut Kaharingan telah menempati eselon puncak di pemerintahan.
Ketika dilantik menjadi pejabat di lingkungan Pemerintah Kota Palangkaraya, mereka menggunakan kitab suci Panaturan dan rohaniwan Kaharingan. Suel, Ketua Majelis Agama Kaharingan Indonesia Palangkaraya, membenarkan hal ini. Namun ia kecewa melihat agama Kaharingan masih disebut Hindu Kaharingan.
"Padahal saya katakan agama saya Kaharingan. Dalam pelantikan, mereka tetap menyebut, 'Saya dilantik menggunakan agama Hindu Kaharingan'," ujar Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Kota Palangkaraya ini.
Kaharingan diintegrasikan ke Hindu pada 1980, menyusul penataan administrasi kependudukan melalui pengisian agama di kartu tanda penduduk. Murni Djinu, Kepala Bagian Perencanaan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu, bercerita, awal Januari 1980, Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia bersurat ke Parisada Hindu Dharma pusat memohon diterima bergabung dengan Hindu.
Parisada tidak serta-merta menerima. Di Bali kemudian diselenggarakan pertemuan pengurus inti dan tokoh dipimpin Ida Bagus Mantra untuk menelaah apakah Kaharingan bisa diterima. Kesimpulannya: Kaharingan banyak memiliki kesamaan dengan ajaran Hindu berdasarkan kitab suci Weda. Kepada umat Kaharingan waktu itu tidak dilakukan upacara sudi wedani, yang dilaksanakan buat orang di luar untuk masuk ke agama Hindu. "Kesimpulannya, umat Kaharingan menganut Hindu," kata Murni.
Maka Direktur Jenderal Bimas Hindu memperkuat integrasi dengan mengeluarkan Surat Keputusan Dirjen Nomor 37 Tahun 1980, yang mengukuhkan integrasi dengan membentuk Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan di Palangkaraya. "Proses ini jelas tidak ada paksaan dari Parisada atau tokoh Hindu Bali," ujarnya. Murni orang pertama Kaharingan yang dikirim ke luar untuk melanjutkan pendidikan S-1 di Bali.
Proses integrasi itu dibenarkan Lewis K.D.R., Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan Â(MB-AHK). Kaharingan dan Hindu memiliki kemiripan: sama-sama menggunakan dupa dan memiliki dewa. Pada awal pembentukan MB-AHK, ia pergi ke Bali untuk berdiskusi dengan tokoh Hindu, Ida Bagus Mantra, yang juga mantan Gubernur Bali. "Setelah lima jam berdiskusi, akhirnya beliau memeluk saya dan mengakui bahwa Kaharingan adalah Hindu tertua di Indonesia," ucap mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Tengah dari Partai Golkar ini.
Memasuki era reformasi, timbul perpecahan di antara umat Hindu Kaharingan. Sebagian ingin tetap bergabung dengan Hindu, sebagian lagi ingin berdiri sendiri. Suel dan Lubis menolak penggabungan, sedangkan Lewis mendukung integrasi. Karena penolakan itu pula Suel bersama 80 orang mendatangi Kementerian Agama pada 28 Januari lalu, menuntut agar agama Kaharingan bisa ditulis/diketik dalam aplikasi KTP elektronik (e-KTP) dan akta kelahiran.
"Saat kami ke Jakarta kemarin, saya dengar katanya pada kolom agama bisa dikosongkan dan KTP tetap bisa diterbitkan. Ini berbeda dengan yang dulu," ujarnya. Tapi, menurut Suel, lebih baik dikosongkan daripada harus dipaksakan Hindu Kaharingan. Meski begitu, ia khawatir pemerintah menuding penganut Kaharingan sebagai orang tak beragama.
Kepada Kementerian Agama, mereka meminta pelayanan dan pembinaan untuk penganut agama Kaharingan diberikan melalui Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama.
Suel tetap menganggap Kaharingan berbeda dengan Hindu, terutama dalam tata upacara dan ritual keagamaan. Upacara ngaben di Hindu Dharma dengan tiwah di Kaharingan berbeda. Dalam ngaben, begitu mayat dibakar, abunya dibuang ke laut supaya bisa kembali ke Sungai Gangga. Hal ini tak terjadi dalam upacara tiwah di agama Kaharingan.
Rohaniwan Hindu, yang disebut pedanda, juga tidak pernah bisa melaksanakan ritual upacara agama Kaharingan, begitu pun sebaliknya. Sementara Hindu Dharma memiliki Weda sebagai kitab suci, Kaharingan mempunyai Panaturan. Kemudian tempat ibadah Hindu bernama pura, sementara pada Kaharingan namanya balai.
Bergabungnya Kaharingan dengan Hindu Dharma, menurut Suel, berawal dari tidak diakuinya Kaharingan di Indonesia. Padahal Kaharingan merupakan agama tertua yang disebut sebagai agama helu (dulu dalam bahasa Dayak Ngaju). "Arti Kaharingan itu tumbuh dan berkembang sendiri dari nenek moyang dulu," katanya.
Setelah Kaharingan digabungkan dengan Hindu, berdasarkan surat Menteri Agama, nama agamanya adalah Hindu saja dan Kaharingan hilang. Hal itu diperkuat lagi dengan Surat Dirjen Bimas Hindu dan Buddha (2000-2006) I Wayan Suarjaya, yang menyatakan agama Hindu Kaharingan tidak ada. Kalaupun ada, itu menyalahi ketentuan.
"Nah, kalau sudah ditolak, buat apa bergabung dengan Hindu? Kalau dulu agama saya Kaharingan dan kemudian dibina Hindu atau dana untuk Kaharingan disalurkan lewat Hindu, kami tak ada masalah. Tapi, kalau dikatakan agama kami adalah Hindu saja, jelas kami menolak," ujarnya.
Ia menambahkan, selama lembaganya ikut dalam Bimas Hindu, dana bagi umat Kaharingan hampir tidak ada. Untuk operasionalnya, mereka mendapat bantuan dari pemerintah Kalimantan Tengah dan Pemerintah Kota Palangkaraya.
Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang menegaskan, selama ini pemerintah provinsi menemui kendala dalam memberikan bantuan kepada umat Kaharingan. Karena beberapa kelompok ingin berpisah dari Hindu, sejumlah pos bantuan untuk umat Kaharingan belum dapat disalurkan dengan baik.
Banyak kegiatan Kaharingan, seperti upacara tiwah, pertemuan, ataupun kongres, tidak bisa dilakukan karena terbentur aturan. "Selain itu, bila nanti ketika salah satu kelompok mendapat bantuan dan lainnya tidak, akan menimbulkan protes. Karena itu, saya berpandangan sebaiknya Kaharingan bisa berdiri sendiri," ucapnya.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah memandang Kaharingan perlu dibantu. Karena itu, diharapkan ada kejelasan mengenai hal ini sehingga anggaran bisa masuk dari pos tersendiri. "Ini berkaitan dengan kemudahan anggaran, sehingga pemerintah jelas dalam penganggarannya," katanya.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Kementerian Agama Ida Bagus Gde Yudha Triguna mempersilakan jika ada sebagian warga Kaharingan yang berjuang tidak mau masuk agama Hindu. Di matanya, masalah Kaharingan bukan kewenangannya. "Itulah mengapa setiap proposal yang membawa agama Kaharingan tidak bisa saya bantu. BPK akan mempersoalkan kenapa Hindu bantu Kaharingan. Di luar nomenklatur," ujarnya.
Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama Mubarok mengatakan sebetulnya tidak ada masalah dengan Kaharingan dalam perundang-undangan. Sebab, Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan setiap orang berhak memeluk agama dan melaksanakan ajaran agamanya.
Namun, kata dia, Undang-Undang PNPS Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama menyatakan ada enam agama di Indonesia yang dilindungi dan mendapat bantuan, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. "Kami kesulitan juga kalau di peraturan tidak tercantum," ujarnya.
Erwin Zachri, Karana Wijaya Wardana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo