Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Penumpang Gelap Kebebasan Pers

Puluhan ribu situs media abal-abal mendompleng kebebasan pers di era reformasi. Menyebarkan berita bohong lewat media sosial.

20 Mei 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penumpang Gelap Kebebasan Pers

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AFIANTO tak menyangka tulisan di akun Facebooknya pertengahan Februari lalu memancing kemarahan orang lain. Ia mengunggah tulisan tersebut untuk meluruskan simpang-siur informasi maraknya penyerangan oleh orang gila dalam dua pekan terakhir. Alih-alih mendapatkan tanggapan positif, aktivis Masyarakat Anti Fitnah Indonesia itu malah dirisak banyak orang di media sosial. "Saya dituding kafir dan pendukung komunis," kata Afianto, awal Mei lalu, menceritakan kembali kejadian tersebut kepada Tempo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika itu, media sosial memang riuh oleh berita penyerangan sejumlah kiai, terutama di Jawa Barat. Pelakunya disebut orang gila atau orang yang menampilkan perilaku seperti terganggu ingatan ketika tertangkap. Apalagi, seperti biasa, media sosial lebih aktif membakar situasi. Di Facebook dan Twitter berseliweran video dan foto dengan keterangan sepotong atau sengaja dipotong dengan hanya menampilkan keterangan ala kadarnya sehingga pembaca makin menduga-duga apa yang terjadi sebenarnya. Di media sosial bahkan berkembang kecurigaan bahwa serangkaian kejadian itu didesain untuk kepentingan politik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam pantauan tim Drone Emprit yang digagas pakar teknologi informasi Ismail Fahmi, selama 8-15 Februari 2018, ada 7.750 percakapan di Twitter yang terkait dengan rumor penyerangan oleh orang bertingkah gila. Mereka yang mencuit lebih banyak merujuk pada percakapan akun lain di Twitter ketimbang pemberitaan, dengan 69 persen berbanding 31 persen.

Karena di media sosial informasinya simpang-siur, Afianto dan tim lantas turun ke lapangan untuk mengecek kejadian sebenarnya. Dari penelusuran mereka, percakapan di media sosial banyak merujuk pada sumber media abal-abal yang tak jelas. Afianto mencontohkan, ada satu media abal-abal yang mengaitkan pembunuhan kiai dengan kebangkitan Partai Komunis Indonesia. Informasi ini dibagikan sampai tiga kali di Facebook.

Setelah menelusuri ke lapangan, menurut Afianto, memang ada ulama di beberapa daerah di Jawa Barat yang menjadi korban penyerangan oleh orang gila. Namun, kata dia, kejadian itu murni kriminal. Si pelaku pun masih bertetangga dengan korban. Beberapa media ternama juga memberitakan fakta ini dari keterangan polisi. Temuan inilah yang ia bagikan di akun Facebooknya. "Tapi masyarakat lebih percaya situs media abal-abal karena beritanya bombastis dan sesuai dengan yang mereka suka," ujarnya.

Setelah 20 tahun reformasi dengan kebebasan persnya, media abal-abal tumbuh bak cendawan di musim hujan. Dewan Pers mengkategorikan media aba-abal ini, antara lain, tak berbadan hukum, alamat dan struktur redaksi tidak jelas, serta isinya cenderung tendensius atau memfitnah orang lain.

Menurut Ketua Badan Pengurus Aliansi Jurnalis Independen Asia-Pasifik (Southeast Asian Press Alliance/SEAPA) Eko Maryadi, media abal-abal merupakan penumpang gelap di era reformasi. "Mereka membajak agenda reformasi untuk kepentingan politik atau apa pun," katanya.

Tahun lalu saja Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat ada 43 ribu situs abal-abal. Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Semuel Abrijani, mengatakan media abal-abal ini banyak digunakan untuk memeras dan menyebarkan berita bohong atau hoaks. Awal 2017, Masyarakat Telematika Indonesia merilis temuan 34,9 persen dari 1.116 responden memperoleh kabar bohong dari situs berita abal-abal.

Salah satu yang pernah menyita perhatian masyarakat adalah ketika tim Direktorat Kejahatan Siber membongkar kelompok penyebar kabar bohong. Perkara ujaran kebencian kelompok Saracen terungkap pada Agustus 2017. Salah satu media yang mereka gunakan adalah situs saracen(dot)com. Portal ini ditengarai menyebarkan berita-berita bombastis.

Polisi menyatakan kelompok Saracen diduga menjual jasa penyebaran ujaran kebencian di media sosial melalui 200 akun mereka yang terhubung dengan 800-an ribu akun lain. Mereka menyodorkan proposal ke sejumlah pihak untuk mencari klien dengan tujuan politik atau pemenangan kampanye. Bahkan Saracen disinyalir memasang tarif Rp 75-100 juta per pesanan.

Awal April lalu, majelis hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru memvonis ketua sindikat penyebar ujaran kebencian Saracen, Jasriadi, dengan hukuman 10 bulan penjara. Jasriadi akan mengajukan permohonan banding atas putusan itu. Ia membantah jika disebut memproduksi berita bohong. "Saya juga tidak pernah mencari uang dengan membuat hoaks," ucapnya.

Contoh lain terjadi pada awal 2017, ketika marak beredar isu serbuan pekerja asal Cina ke Indonesia. Salah satu yang aktif menggoreng isu ini adalah portal posmetro.co. Portal ini metamorfosis dari posmetro.info, singkatan dari Posting Mahasiswa Elektro, pada 2015. Pemiliknya, Abdul Hamdi Mustafa, adalah mahasiswa Teknik Elektro Universitas Negeri Padang angkatan 2010. Ia awalnya membuat blog itu karena suka menulis.

Untuk membuat satu berita, Hamdi tinggal menyalin konten dari media lain. "Kami copy-paste saja," ujarnya ketika diwawancarai Tempo pada awal tahun lalu. Sebelum menayangkan berita milik media lain itu, Hamdi dan empat temannya memodifikasi judulnya sehingga menarik perhatian pembaca.

Hamdi mengaku terinspirasi pkspiyungan.org, yang acap mengkritik pemerintah dan disukai penghuni media sosial. Kunjungan terbanyak ke posmetro.co terjadi saat demonstrasi 4 November 2016. Pada Oktober-November 2016, Hamdi mendapat Rp 30 juta per bulan dari Google AdSense. Portal dia masuk indeks pertama dengan jumlah kunjungan 1 juta dan pageviewer mencapai 300 ribu untuk 50-70 berita "salin-tempel" dalam sehari.

Pemuda 25 tahun asal Padang ini menolak tudingan menyebarkan sentimen anti-Cina dengan berita-berita pelintiran di situsnya. Tapi ia mengakui banyak memuat komentar tokoh yang mengkritik hegemoni etnis Cina dalam bidang ekonomi.

Pendiri Masyarakat Anti Fitnah Indonesia, Harry Sufehmi, mengatakan salah satu faktor yang juga menyebabkan berita bohong di situs abal-abal mudah menyebar adalah lemahnya filter dari media sosial. Facebook, misalnya, kata Harry, tidak memiliki sistem algoritma untuk mendeteksi berita yang memuat ujaran kebencian atau konten bohong alias hoaks. "Makanya mereka meminta komunitas dan media bergabung," ujar Harry. "Untuk menyaring konten yang bersifat hoaks."

Kementerian Komunikasi dan Informatika mengancam akan memblokir Facebook jika terbukti menjadi media penyebaran berita kabar kibul. "Pemerintah tidak ragu menutup Facebook jika digunakan untuk menyebarkan hoaks," kata Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, awal April lalu. Berdasarkan data We Are Social, Indonesia menjadi negara pengguna Facebook keempat terbesar sedunia dengan 130 juta akun.

Kepala Kebijakan Publik Facebook Indonesia Ruben Hattari mengatakan pihaknya membutuhkan bantuan komunitas dan media untuk memerangi berita palsu. "Inisiatif integrasi komunitas ini dilakukan menjelang pemilihan umum di Indonesia," ujar Ruben. "Sebagai bagian strategi literasi digital untuk melawan hoaks."

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus