Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menunggu Bima Pulang Paskah

REFORMASI sempat memunculkan gairah baru untuk mendorong penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di masa lalu.

20 Mei 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Menunggu Bima Pulang Paskah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

REFORMASI sempat memunculkan gairah baru untuk mendorong penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di masa lalu. Meski tidak disebut secara spesifik, isu pelanggaran HAM telah bergaung dalam sejumlah aksi mahasiswa sepanjang 1998-1999.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Ada beberapa unjuk rasa skala kecil di dalam kampus, sebelum dan setelah Soeharto lengser, untuk menuntut penuntasan kasus-kasus HAM masa lalu," kata Henry Basel, bekas Ketua Senat Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Henry mengatakan salah satu kasus yang diangkat oleh gerakan mahasiswa di kampusnya saat itu adalah penculikan dan penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998. Selama periode itu, 23 aktivis prodemokrasi dan warga sipil yang dianggap terlibat dalam gerakan untuk menurunkan Presiden Soeharto menjadi korban penculikan oleh Tim Mawar.

Sembilan orang telah pulang, seorang meninggal, dan sisanya masih menghilang sampai sekarang. Salah satu korban yang tidak ketahuan rimbanya itu adalah Petrus Bima Anugrah alias Bimo Petrus atau Bimpet. Bima lenyap tanpa kabar sejak 30 April 1998.

"Dia janji pulang Paskah, yang waktu itu jatuh pada April 1998," ujar ibunda Bima, Genoneva Misiatini, 74 tahun, saat ditemui di rumahnya di Malang, Jawa Timur, Rabu pekan lalu. Hingga kini, sudah 20 kali ia dan suaminya, Dionysius Utomo Rahardjo, 73 tahun, merayakan Paskah tanpa kehadiran Bima.

Orde Baru melahirkan sejumlah kasus pelanggaran hak asasi berat yang penyelesaiannya mandek hingga sekarang. Kasus itu antara lain pembunuhan massal 1965-1966, penembakan misterius (petrus), tragedi Tanjung Priok (1984), tragedi Talangsari di Lampung (1989), pembunuhan Marsinah (1993), serta penghilangan paksa dan penculikan aktivis prodemokrasi sepanjang 1997-1998.

Penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu merupakan amanat reformasi, yang dituangkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor V Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Salah satu bagiannya tentang penegakan supremasi hukum dan perundang-undangan secara konsisten dan bertanggung jawab serta menjamin dan menghormati hak asasi manusia.

Aktivis reformasi 1998, Mohamad Syafi' Ali, mengatakan tuntutan penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu memang baru mencuat setelah rezim Soeharto tumbang. "Sebelum itu, kami berfokus menurunkan Soeharto. Nurunin Soeharto saja susah," ucapnya.

Menurut pria yang akrab disapa Savic ini, gerakan mahasiswa belum mengusung persoalan pelanggaran HAM sejak awal reformasi karena isu itu sangat eksklusif dan hanya bisa dipahami sekelompok kecil orang. Berbeda dengan, misalnya, isu kenaikan harga bahan pokok. "Tuntutan menurunkan harga adalah isu yang sangat populis karena dirasakan banyak orang," katanya.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Choirul Anam, mengatakan upaya penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi berat memang seharusnya tidak hanya dilakukan untuk kasus-kasus pada periode 1998-1999, seperti Trisakti, Semanggi I-II, dan kerusuhan Mei, tapi juga sebelumnya. "Kasus-kasus sebelum itu bagian dari rezim Orde Baru yang ditumbangkan reformasi," ucapnya.

Komisi telah meminta Kejaksaan Agung segera menindaklanjuti laporan penyelidikan tentang sembilan kasus HAM masa lalu yang telah diserahkan, termasuk kasus penghilangan paksa. "Putusan politik seharusnya dari pemerintah, karena Kejaksaan Agung yang seharusnya bergerak," kata Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Eksternal, Sandrayati Moniaga, akhir Februari lalu.

Hingga kini, penyelesaian kasus-kasus itu masih menggantung. Tapi Utomo Rahardjo dan Misiatini terus mencari putra mereka. Lebih dari 100 kali Utomo bolak-balik Malang-Jakarta untuk mencari Bima. Dia berulang kali menyambangi Komnas HAM, Dewan Perwakilan Rakyat, Kementerian Hukum dan HAM, serta Markas Besar Tentara Nasional Indonesia, termasuk melapor ke markas Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa, Swiss. Tak ada kabar tentang Bima, tapi Utomo masih terus mencarinya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus