Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA usianya yang ke-63—setahun di antaranya dihabiskan sebagai wakil presiden—apakah yang bisa kita katakan tentang Muhammad Jusuf Kalla? Setelah Mohammad Hatta, ia mungkin wakil presiden paling progresif sepanjang usia Republik. Ia mengukuhkan diri menjadi tak sekadar ban serep seorang presiden, sekaligus menunjukkan kepada kita makna generik dari kata ambisi—juga optimisme.
Syahdan, pada suatu malam, di rumah dinasnya di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, pada 2003 lalu, Kalla mengundang kerabat dekatnya makan bersama. Hadir juga beberapa wartawan. Ketika itu ia masih Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dalam kabinet Megawati Soekarnoputri. Usai bersantap berlauk udang, para undangan duduk bersama di ruang tamu. Di sana hadir, di antaranya, Mufidah Jusuf, sang istri, Halim dan Ahmad Kalla, keduanya adik Jusuf, serta beberapa kerabat lain.
Beberapa pekan sebelumnya, santer terdengar Kalla dipinang Megawati menjadi kandidat wakil presiden dalam Pemilu 2004. Baru pinangan informal, memang. Adalah suami Mega, Taufiq Kiemas, yang mengirim sinyal agar Kalla bersedia mendampingi sang istri dalam pemilu.
Kalla tak menolak. Ia tahu bola kini berada di tangannya. Sebagai calon presiden yang terutama mengandalkan sentimen pemilih kepada keluarga Bung Karno, Mega membutuhkan dia. Kalla datang dari timur, dan ia bisa mengatasi kelemahan Mega selama ini—pendiam dan bukan pekerja tangkas.
Aura calon wakil presiden itulah yang terasa dalam obrolan sehabis makan itu. Seseorang bercerita, anak kerabatnya ingin cepat-cepat melihat Jusuf jadi wakil presiden semata-mata supaya dalam resepsi perkawinannya kelak ada petugas pengamanan presiden yang memasang detektor metal. Jusuf menimpali, sopirnya ingin ia jadi wapres supaya nanti bisa memakai peci ketika duduk di belakang kemudi. Semua tertawa.
Setahun kemudian, ”bahan tertawaan” itu jadi kenyataan. Jusuf menjadi wakil presiden bersama Susilo Bambang Yudhoyono. Mega, yang bersanding dengan KH Hasyim Muzadi, terkulai dalam pemilu putaran kedua.
SETAHUN sudah persenyawaan JK dan SBY berlalu. Waktu mencatat, keduanya melalui masa itu dalam beragam riak gelombang. Berawal dari ”sengketa” penetapan kabinet, pembagian tugas antara presiden dan wakil presiden yang tak mulus, hingga soal gaya kepemimpinan yang bertolak belakang. Di sela itu, ada pula pernak-pernik seperti insiden telekonferensi sidang kabinet yang tak dihadiri Jusuf Kalla—sesuatu yang menegaskan ”asinkronisasi” kedua pemimpin.
Keduanya memang tak serupa: SBY seorang yang rapi-jali, mengutamakan citra, menjunjung tinggi prosedur. Kalla mengejar kecepatan dan terobosan: pukul dulu, urusan belakangan. Indonesianis R. William Liddle menganalogikan Susilo-Jusuf dengan Soekarno-Hatta, seraya menyebut pasangan SBY-JK sebagai duumvirate, dwitunggal, yang saling mengisi.
Susilo bermain di level kebijakan, Kalla mengimplementasinya di lapangan. Sambil memberi tekanan pada beberapa perbedaan SBY-JK dan Soekarno-Hatta, Liddle menaruh harapan: di tangan keduanya, nasib Indonesia ke depan dipertaruhkan.
Semulus itukah? Sejatinya Kalla—juga hubungannya dengan Susilo— berada pada titik yang bisa ditafsirkan dari dua sisi. Ini mirip sebuah benda yang dipajang di etalase: bisa dilihat dari luar toko, juga bisa dipandang dari dalamnya.
Satu yang terpenting adalah keputusan Kalla mengambil posisi Ketua Umum Golkar, Desember tahun lalu. Sebagai pemenang Pemilu 2004, Golkar memang menyimpan segala madu. Kursinya banyak di parlemen, strukturnya juga kuat hingga ke desa-desa. Sebagai bekas mesin politik Orde Baru, Golkar mengakar hingga ke pelosok.
Kalla memang orang Golkar—meski hanya anggota biasa. Di lain pihak, Susilo hanya punya Partai Demokrat, partai kecil dengan 7,5 persen suara pada Pemilu 2004. Untuk mengamankan kebijakan pemerintah, keinginan Kalla menguasai Golkar sangat masuk akal. Bukankah Abdurrahman Wahid dulu jatuh karena tak punya kursi yang cukup di Senayan?
Di lain pihak, kritik keras menyebut Kalla mengulangi lagi praktek Orde Baru. Ia menyatukan kekuasaan eksekutif dengan partai yang, notabene, mengendalikan anggota parlemen di Senayan. Lalu ada pula kritik lain—ini yang penting dan paling mengkhawatirkan—bahwa Kalla menyu-sun kekuatan untuk menaklukkan Susilo pada 2009, bahkan juga sebelumnya.
Kalla membantah tudingan itu. Masih sulit bagi orang Bugis untuk menjadi presiden di tengah mayoritas pemilih beretnis dan yang berada di Jawa, katanya. Ia juga berhitung, pada 2009 nanti usianya sudah 67 tahun.
Penjelasan itu tak penting betul, agaknya. Yang kini penting adalah kenyataan bahwa Kalla, dalam berhadapan dengan Susilo, memegang kartu truf. Keduanya tak semata presiden dan wakil presiden, tapi juga berada pada keadaan yang diametral. Hubungan Susilo dan Megawati, yang kini sedang dirintis untuk diperbaiki, kabarnya juga dilandasi semangat meredam dominasi Kalla.
Apalagi Kalla menyadari, ketika bersanding dengan Susilo di ajang pemilu lalu, ia tak cuma bermodal dengkul. ”Saya tak datang kepada SBY untuk menawarkan diri menjadi wakil presiden,” katanya dalam wawancara dengan Tempo, Mei tahun lalu. ”SBY yang mengontak dan mengharapkan saya menjadi wapresnya. SBY tahu saya tidak datang dengan nol.”
LAHIR di Watampone, Sulawesi Selatan, 15 Mei 1942, Kalla besar dalam tradisi pedagang. Ayahnya, Haji Kalla, adalah pemilik NV Hadji Kalla, perusahaan hasil bumi di Sulawesi Selatan. Kelak perusahaan itu berkembang, merambah ke bidang telekomunikasi dan konstruksi.
Sejak kecil Haji Kalla memicu anaknya agar jadi ”kepala” dan tidak puas hanya jadi ”ekor”. Ketika masih di sekolah dasar, Jusuf Kalla pernah bekerja paruh waktu menjadi penjaga di tempat penitipan sekolah. Mengetahui kegiatan anaknya, ayahnya marah, lalu menjemput ke tempat ia kerja. Sambil menyuruhnya pulang, Kalla senior mengatakan, ”Saya membesarkan kamu bukan untuk jadi pesuruh, tapi untuk jadi pemimpin.”
Kalla yunior besar dan menjadi pemimpin seperti yang diinginkan ayahnya. Tapi ia bukan Mohammad Hatta. Ia bukan pemikir yang bergulat dengan ide-ide besar. Ia mencari strategi dan terobosan memanfaatkan peluang. Karena itu, ia pragmatis. Tapi justru dengan pragmatisme itu ia ”selamat”.
Pernah ada cerita. Pada masa kampanye dulu, Jusuf pernah mengatakan mendukung syariat Islam. Pernyataan itu dilansir koran-koran. Warga non-muslim menggerutu. Seorang anggota tim suksesnya gemetar. Katanya, pasangan SBY-Kalla bisa kehilangan 20 persen suara pemilih non-Islam. Jusuf malah tertawa. ”Bukankah dengan demikian kita mendapat suara dari yang 80 persen?” katanya.
Politik memang permainan. Jusuf Kalla menyadari itu. Pada kali yang lain, ia pernah berkata, ”Berpolitik itu seperti bermain pingpong. Kita dapat poin akibat kesalahan lawan.” Adakah prinsip itu yang akan dipakainya ”mengendalikan” SBY, juga kekuasaan, hingga 2009? Tak ada yang bisa menjawab. Apa pun, Kalla dan SBY bukan lagi dwitunggal, melainkan dua yang tak selalu tunggal.
”Hatta dan aku tak pernah berada dalam getaran gelombang yang sama,” kata Bung Karno dalam Penyambung Lidah Rakjat, 1965, ketika menggambarkan hubungan buruknya dengan wakil presiden. Kita tak ingin ucapan itu ditiru SBY di usia pertama kekuasaannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo