Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Masa Berubah, Hubungan Berganti

Sepanjang sejarah bangsa Indonesia, beragam jenis hubungan presiden dan wakilnya telah tercatat. Mulai dari Soekarno-Hatta hingga Yudhoyono-Kalla.

13 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hubungan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Muhammad Jusuf Kalla banyak disorot belakangan ini. Perangai dan latar belakang kedua sosok yang berbeda membuat orang khawatir masa bulan madu pasangan ini berumur pendek dan masa sulit menggantikannya.

Kecemasan itu bukan tanpa alasan. Simaklah apa yang terjadi pada pasangan presiden dan wakil presiden pertama negeri ini, Soekarno-Hatta, yang dilantik pada 1945. Awalnya mereka sangat kompak sehingga disebut dwitunggal. ”Bung Karno hanya akan meneken surat keputusan jika sudah diparaf Bung Hatta, bahkan teks pidato resmi Bung Karno selalu dibaca dulu oleh Bung Hatta,” kata Wangsa Widjaya, sekretaris Bung Hatta sejak 1945.

Bung Hatta dikenal teliti, tegas, dan terkesan kaku. Ini sikap yang berlawanan dengan Bung Karno. Awal keretakan mulai terlihat sejak 1953—meski berkali-kali dibantah oleh Bung Karno. Dua tahun kemudian Bung Hatta mengaku hal ini secara terbuka. Ia menyatakan akan mengundurkan diri bila parlemen dan konstituante dukungan rakyat sudah terbentuk. Negarawan yang dikenal bersahaja ini berpendapat, dalam sebuah negara dengan kabinet parlementer yang dibentuk berdasarkan UUD 1950, kepala negara hanyalah lambang dan wakil presiden tak dibutuhkan. Pada 31 November 1955, parlemen akhirnya menerima permohonan pengunduran diri tersebut. Setelah itu, selama 17 tahun, jabatan wakil presiden dibiarkan kosong kendati jabatan presiden kemudian berganti.

Posisi ini baru mulai terisi kembali ketika Sultan Hamengku Buwono IX dipilih MPR pada 24 Maret 1973. Selama menjabat, Sultan terkesan lebih banyak diam dan kegiatannya lebih terkonsentrasi pada masalah ekonomi. Khalayak luas umumnya mengira hubungan Presiden Soeharto dengan wakilnya berjalan baik. Namun, sebuah kejutan muncul. Sultan tiba-tiba menyatakan tidak bersedia dicalonkan lagi pada 21 Januari 1978, tanpa menyebutkan alasan yang jelas.

Adam Malik, yang bersama Soeharto dan Sultan Hamengku Buwono IX dikenal sebagai anggota triumvirat Orde Baru, kemudian dipilih menjadi wakil presiden ketiga di Republik Indonesia. Wartawan kawakan ini dikenal dekat dengan kalangan rakyat. Sebagai wakil presiden, ia menjadi juru bicara pemerintah yang lincah dan bersemangat tinggi. Tokoh yang dikenal dengan julukan ”si kancil” ini pandai bergaul dan menyenangkan lawan bicaranya sekaligus memiliki naluri politik yang tajam. ”Saya tidak pernah berbeda pendapat dengan Pak Harto. Secara konstitusional, tugas wapres sebetulnya sangat sederhana: membantu presiden dan mewakilinya jika presiden berhalangan. Jadi, tidak ada tanggung jawab langsung,” kata Adam Malik di ujung akhir masa jabatannya. Ketika ditanyakan apakah itu berarti wakil presiden berfungsi sebagai ”ban serep” atau jabatan ”kartu mati”, Adam Malik menjawabnya tangkas. ”Agar kartu kita tidak mati, ya, kita harus menghidupkannya dengan mengikuti semua kegiatan presiden,” katanya.

Kepiawaian Adam Malik berbicara kepada publik tampaknya tak menyenangkan semua orang. Setidaknya ia tak lagi dijagokan di periode berikutnya. Presiden Soeharto justru memilih didampingi seorang pejabat yang dikenal jarang berkomentar kepada publik. Jenderal Umar Wirahadikusumah, yang sebelumnya menjabat Kepala BPK, diangkat MPR sebagai wakil presiden, 1983. Jabatan baru itu tak mengubah perangai jenderal yang dikenal bersahaja ini. Selama lima tahun mendampingi presiden, suaranya tetap ”nyaris tak terdengar”. Jenderal Umar memang selalu menjauh dari kontroversi.

Kontroversi justru meruap dalam pencalonan wakil presiden berikutnya. Pemilihan Sudharmono sebagai pendamping Presiden Soeharto sempat diwarnai perlawanan John Naro. Keberanian Ketua Partai Persatuan Pembangunan ini untuk maju agaknya dikarenakan pencalonan Sudharmono dinilainya tidak didukung semua pembantu dekat Presiden Soeharto. Setidaknya Jenderal Benny Moerdani dan kelompok pendukungnya diketahui melakukan berbagai manuver untuk menjegal pencalonan sosok yang sedang menjadi Menteri Sekretaris Negara itu.

Ganjalan itu ternyata tak mampu membatalkan naiknya Sudharmono menjadi wakil presiden, yang saat itu juga sedang menjabat Ketua Umum Golkar. Namun, penentangan itu membuat Sudharmono hanya menjabat selama satu periode dan digantikan oleh Jenderal Try Sutrisno yang didukung lawan-lawan politiknya. Keadaan ini berulang pada Jenderal Try ketika masa jabatannya berakhir. Ia digantikan oleh Habibie, yang dikenal mempunyai hubungan dekat dengan kelompok Sudharmono.

Habibie adalah wakil presiden pertama yang menjadi presiden karena pejabat yang diwakilinya menyatakan berhenti. Ia menduduki posisi yang ditinggalkan Presiden Soeharto ini hanya setahun karena tekanan politik reformasi yang begitu kuat dan laporan pertanggungjawabannya ditolak MPR. Di luar dugaan, Abdurrahman Wahid terpilih menjadi presiden, menyisihkan Megawati yang sebelumnya dijagokan karena menjadi ketua umum partai pemenang pemilu. Megawati akhirnya harus puas dengan posisi sebagai wakil presiden.

Pada awalnya hubungan dekat Abdurrahman Wahid dengan Megawati, yang sempat terkoyak oleh persaingan menjadi presiden itu, sempat kembali akrab. Megawati diberi wewenang mengelola bidang ekonomi. Namun, belakangan hubungan ini semakin renggang dan skandal Bulog lalu digunakan para pendukung Megawati untuk menekan Presiden Abdurrahman Wahid agar memberikan wewenang lebih banyak kepada wakilnya. Akibatnya, berdasarkan sebuah keputusan presiden, wewenang yang digenggam Megawati menjadi begitu kuat. Ia memimpin rapat kabinet dan berhak menandatangani keputusan presiden. Namun, bagi pendukung Megawati, pelimpahan kekuasaan ini dianggap belum memadai dan akhirnya berujung pada pemakzulan Abdurrahman Wahid sebagai presiden, dan Megawati menjadi wakil presiden kedua yang naik takhta mengisi jabatan yang ditinggalkan orang yang diwakilinya. MPR juga mengangkat Hamzah Haz sebagai wakil presiden.

Hamzah Haz, yang berpengalaman luas di Komisi IX DPR, mendapat tugas membantu presiden di bidang ekonomi. Kendati demikian, politisi kawakan ini tak merasa sungkan untuk memberi pernyataan di bidang non-ekonomi. Ia, misalnya, kerap memberikan pernyataan politik yang berseberangan dengan Megawati dalam soal penanganan terorisme.

Jusuf Kalla kini menjadi wakil presiden. Saudagar yang dikenal cepat mengambil keputusan ini mempunyai perangai berbeda dengan Susilo Bambang Yudhoyono, seorang jenderal yang penuh perhitungan. Akankah perbedaan ini menimbulkan keretakan politik? Jusuf Kalla menampiknya. ”Kita justru bersyukur terhadap perbedaan itu,” katanya. ”Bayangkan kalau kami sama-sama cepat mengambil keputusan, bisa rusak negeri ini,” ujarnya lagi. Ia menganggap kecemasan yang disuarakan atas keharmonisan hubungan presiden dengan wakilnya adalah berlebihan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus