Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sikrek gaphan, saboh keureunda
(Hidup bersama, mati bersama satu kain kafan, satu keranda)
Kalimat bahasa Aceh itu tertoreh di surat-surat Hasan Tiro sebagai salam penutup. Surat kepada kerabat dan pengikutnya, juga dalam siaran pers tentang pelbagai hal menyangkut Aceh dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), organisasi yang dipimpinnya. Kalimat itu menyimpan heroisme. Ungkapan yang mengingatkan orang pada kesetiaan, kebersamaan, dan prinsip saling menolong.
Tapi sejarah berjalan dan Tiro ternyata tidak selalu berhasil menjaga agar pengikutnya ”hidup dan mati bersama”. Gerakan Aceh Merdeka pecah sebelum cita-cita menjadikan Aceh yang bebas dari belenggu ”penjajah” terwujud.
Saat ini paling tidak ada dua faksi GAM. Gerakan Aceh Merdeka yang dipimpin Hasan Tiro dan Majelis Pemerintahan GAM (MP-GAM) yang dikomandani Husaini Hasan. Kedua-duanya, dalam porsi yang berbeda, mempunyai pengikut. Kedua-duanya dikoordinasikan dari Swedia, sebuah negeri yang jauh.
Adalah Husaini Hasan, 55 tahun, bekas menteri pendidikan dalam pemerintahan Hasan Tiro, yang mendirikan MP-GAM pada 1999. Banyak yang menduga perbedaan antara GAM dan MP-GAM tidak menghasilkan pertentangan yang serius. Tapi tewasnya Sekretaris Jenderal MP-GAM, Don Zulfahri, di Malaysia tiga pekan lalu, mengingatkan orang bahwa pertentangan itu sudah sampai pada taraf yang menyulitkan. Meski polisi Malaysia belum memastikan bahwa Don dibunuh oleh lawan politiknya, banyak yang percaya bahwa Don tewas karena sikap kerasnya menentang Hasan Tiro dan orang di sekelilingnya.
Kisah perpecahan itu berawal ketika Husaini Hasan dipecat dari GAM pada 1985 (menurut Husaini ia tidak dipecat melainkan mengundurkan diri). Ketika itu Hasan Tiro baru saja sakit. Husaini mendesak agar didirikan badan eksekutif GAM, yang fungsinya menggantikan peran administrasi pemerintahan GAM sehari-hari, sementara menunggu kepulihan Tiro. Ia juga mengusulkan agar didirikan sekretariat bersama GAM. ”Selain itu, kalau Tengku (Hasan Tiro) tidak aktif lagi, kita perlu reshuflle kabinet. Tetapi itu tidak dilakukan,” kata Husaini.
Ide Husaini ini kemudian dicurigai pengikut Hasan Tiro lainnya, seperti Zaini Abdullah, sebagai upaya mendongkel kepemimpinan Tiro. Dari sana terbitlah ketidakserasian itu, sampai akhirnya Husaini benar-benar bercerai dari GAM pada 1985. Setelah itu memang tidak ada konflik terbuka di antara keduanya. Bahkan kepada publik berkali-kali Don Zulfahri menyangkal perpecahan antara Tiro dan Husaini.
Perpecahan itu ternyata berkembang. Setelah Aceh kembali mendapat sorotan dan GAM mendapat momentum menyusul jatuhnya Soeharto, Husaini memproklamasikan berdirinya MP-GAM. Beberapa aktivis GAM belakangan juga bergabung. Tokoh legendaris seperti bekas panglima perang GAM pada 1970-an, Daud Paneuk, dan anaknya Yusuf Daud ikut serta. Selain itu ada juga Tengku Jalil, Syahbuddin Abdulrauf, juga Don Zulfahri. Khusus untuk Eropa, Husaini juga mendirikan Markas Besar GAM (MB-GAM) dengan dirinya sebagai ketua dan Yusuf Daud sebagai sekretaris jenderal.
Sesederhana itukah akar perpecahan antara keduanya? Rasanya tidak. Husaini mengaku memang telah lama menjadi oposisi dalam pemerintahan Tiro. Ia juga mengkritik kekuasaan Tiro yang aristokrat dan mempersoalkan kalangan dekat Tiro yang kerap memberikan informasi yang salah tentang Husaini dan kawan-kawan. Dua nama yang sering menjadi sasaran kritik MP-GAM adalah Menteri Kesehatan Zaini Abdullah dan Menteri Negara Malik Mahmud. Keduanya memang dikenal sebagai orang kepercayaan Tiro.
Menurut Isa Sulaiman, sejarawan Universitas Syiah Kuala yang pernah menulis disertasi tentang Gerakan Aceh Merdeka, akar konflik internal GAM sesungguhnya berasal dari sistem sosial yang dibangun berdasarkan asas kekerabatan. Zaini selama ini memang dikenal sebagai keponakan Tiro, sementara Husaini adalah orang yang dikenal Tiro belakangan, yakni ketika keduanya bersama-sama masuk hutan pada 1976-1979. ”Hubungan ini mempengaruhi persaingan elite politik di jajaran Tiro,” kata Sulaiman. Karena itu, Sulaiman meragukan bahwa pertentangan ini telah merembet ke akar rumput.
Di lapisan bawah, penetrasi MP-GAM memang lemah. Tentara GAM hampir sepenuhnya berada dalam kendali faksi Hasan Tiro. Meski Yusuf Daud memperkirakan ada 20 persen tentara yang berpihak pada kelompoknya, sampai saat ini klaim itu masih sulit dibuktikan. ”Itu bagian yang gelap dari sejarah GAM,” kata Otto Syamsuddin Ishak, sosilog Universitas Syiah Kuala.
Faksi akhirnya memang tidak bisa dihindari dalam sebuah perjuangan politik yang memakan waktu yang panjang. Tapi waktu yang panjang pula yang membuktikan bahwa Hasan Tiro ternyata gagal dalam menyatukan pengikutnya. Ungkapan ”Hidup bersama, mati bersama” ternyata tak mudah terwujud.
Arif Zulkifli (Stockholm), J. Kamal Farza (Banda-aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo