Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tanda-Tanda Budaya Maling

11 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KLEPTOSIGNS
Pameran seni rupa
Karya:Asmudjo Irianto
Tempat: Galeri Barak, Bandung
TANDA budaya maling dalam masyarakat kita ternyata bukan cuma korupsi, kolusi, dan nepotisme di sektor ekonomi. Ada pencurian yang terjadi di- sektor budaya yang semakin menegaskan kenyataan budaya maling kita. Pencurian ini memang tidak lazim disebut pencurian, biasanya disangkal sebagai pencurian, dan bahkan disahkan sebagai bukan pencurian. Namun, pencurian ini boleh jadi mencerminkan mental maling yang lebih parah dari mental korupsi karena pencurian ini kompulsif, tidak disadari, dan bahkan dirayakan masyarakat. Di dunia kesenian, terjadi pencurian-pencurian ide yang ternyata menghasilkan karya-karya unggulan. Di lingkungan pemikiran, terjadi pencurian pemikiran—untuk gagah-gagahan dan bukan untuk mengkaji kenyataan—yang malah mengundang rasa kagum dan rasa minder pendengarnya.

Kesimpulan "garis keras" itu adalah refleksi Asmudjo Irianto yang diungkapkan melalui pameran bertema Kleptosigns di Galeri Barak, Bandung, awal Juni lalu—pameran ini akan digelar di Galeri Lontar, Jakarta, awal Juli mendatang. Dalam pameran ini, Asmudjo memperagakan pencurian ide perupa lain dari dalam dan luar negeri secara gila-gilaan. Dalam pembukaan pameran, Arief Yudhi dari Galeri Barak (galeri alternatif baru di Bandung) menjuluki Asmudjo sebagai "si Raja Maling".

Refleksi seperti yang saya kemukakan tadi tidak dilontarkan terang-terangan. Refleksi ini malah nyaris tak terbaca karena Asmudjo berkesan secara sengaja menyesatkan publik—ia memang dikenal sebagai perupa yang suka bergurau secara berlebihan. Pamerannya yang terkategori konseptual ini memperlihatkan pendekatan alegoris, kecenderungan seni rupa postmodern yang sengaja menggunakan hasil karya lain untuk membuat sebuah karya.

Kecenderungan ini bertujuan menisbikan hubungan kenyataan dengan representasi (upaya mengangkat suatu kenyataan menjadi fenomena). Dasarnya, keyakinan yang melihat representasi tidak lain hanya simulasi yang menggunakan tanda-tanda yang sudah beredar di masyarakat.

Bagi saya, pendekatan alegoris itu cukup jelas. Karena itu, pada mulanya saya merasa istilah kleptosigns tidak tepat. Menurut saya, istilah ini harusnya stolen signs bila kecenderungan alegoris mau dilihat sebagai pencurian tanda-tanda. Asmudjo tidak membenarkan dan tidak juga menyalahkan komentar saya. Ini membuat saya meninjau kembali istilah bikin-bikinan-nya.

Baru belakangan saya menyadari—dan ia membenarkan—"tanda-tanda" (signs) pada istilah kleptosigns yang rancu dalam menunjuk "tanda-tanda" pada teori simulasi lebih bisa dibaca sebagai "tanda-tanda" kleptomania (kelainan jiwa yang simtomnya dorongan mencuri yang kompulsif). Pemahaman tahap dua yang menerobos pemahaman tahap satu yang menyesatkan ini mengubah seluruh konteks pameran Asmudjo. Ia berkesan hanya main-main dalam mempersoalkan simulasi. Karya-karyanya yang bersungguh-sungguh—terlihat dikerjakan dengan cermat—justru menampilkan representasi (refleksi) berdasarkan kenyataan di Tanah Air.

Refleksi (pengungkapan pengalaman personal yang menyertakan pengujian pengalaman dalam masyarakat) tergambar jelas pada pamerannya. Tujuh dari 13 karyanya menampilkan potret diri dalam bentuk lukisan, serigrafi, dan foto. Ini menandakan kritik sosial yang dilontarkannya adalah juga kritik diri—ia merasa bagian dari masyarakat.

Kritik tajam tecermin pada kesengajaan Asmudjo mencuri gambaran karya perupa-perupa asing yang tidak dikenal di Tanah Air, di antaranya Damien Hirst, Barbara Kruger, Panamarenko (perupa Belgia), dan Enzo Cuchi (perupa Italia). Melalui karya-karya ini, ia menertawai kaum intelektual yang mempelajari pikiran-pikiran kaum postmodernis dan poststrukturalis dengan begitu rinci. Ketika teori-teori ini dilontarkan ke publik yang tidak mengenal nama-nama pemikir asing ini, apalagi teori mereka serba rumit, terjadi kejanggalan. Karya berjudul Super Olympia memperlihatkan kejanggalan semacam ini.

Karya itu berkaitan dengan lukisan terkenal Edouard Manet berjudul Olympia yang dilukis pada 1863. Lukisan ini menampilkan perempuan telanjang rebahan di atas ranjang. Namun, bukan lukisan ini yang dicuri Asmudjo. Karya yang dicurinya karya perupa Jepang Yasumasa Morimura dan karya inilah yang "mencuri" Olympia. Pada karya digital ini, Morimura yang laki-laki biseks itu mengganti tubuh perempuan telanjang pada Olympia Manet dengan tubuhnya yang juga telanjang.

Pada Super Olympia, Asmudjo mengganti wajah Morimura dengan wajahnya. Teknik digital yang cermat membuat wajahnya dan tubuh telanjang Morimura menyatu yang menimbulkan sensasi. Hampir semua pengunjung pameran mengira Asmudjo sedang memperagakan tubuhnya pada Super Olympia. Penyebabnya sederhana, Morimura tidak dikenal di Tanah Air. Kalaupun ada pengunjung yang pernah mendengar nama perupa Jepang ini, kecil kemungkinan ia pernah melihat karya digital Morimura yang "mencuri" Olympia. Asmudjo, yang lebih banyak tutup mulut ketika pamerannya berlangsung, tidak berusaha memberikan penjelasan. Ia "menikmati" kejanggalan yang terjadi.

Karya berjudul Ronggowarsito Bertemu Ikan Hiu Macan Tutul mengkritik pencurian yang lebih konyol. Karya instalasi ini menampilkan ikan hiu logam yang dirakit dengan teknik las dan digantung di hadapan sosok logam tapi berkepala keramik. Kedua komponen instalasi ini dipasang pada posisi konfrontasi. Dari mulut ikan hiu yang menganga, terdapat api yang menyembur ke arah kepala keramik di hadapannya—menerpa tulang hidung dan membuat kepala keramik ini membara.

Ikan hiu yang tubuhnya digambari bunga-bunga berwarna kuning itu menyontek karya perupa Inggris Damien Hirst (bangkai ikan hiu yang diformalin) berjudul The Physical Impossibility of Death in the Mind of Someone Living. Kepala keramik dengan tubuh "kaleng" di hadapan hiu ini parodi karya seorang perupa Indonesia yang tidak perlu saya sebut namanya. Perupa ini menjadikan ide dan teknik "curian" sebagai orisinalitas karya-karyanya. Ia hanya mengulang-ulang ide dan teknik "curian" ini melalui variasi bentuk. Namun, karya-karyanya dikagumi. Selain para pengamat seni rupa tidak tahu ia mencuri, ia fasih berbicara soal mistisisme, pencarian esensi, sublimasi, dan ketimuran.

Ada beberapa klasifikasi pencurian dalam refleksi Asmudjo. Pada karya-karya Super Estetik, Super Fire, dan Super Lengket, ia memperagakan pencurian terang-terangan. Di sini ia mencuri antara lain karya Joan Miro, Andy Warhol, Piet Mondrian, Roy Lichtenstein, dan Sunaryo—perupa-perupa yang cukup dikenal. Pada Super Olympia dan Yah Masa Sih Saya Morimura, pencuriannya terkategori gelap karena publik tidak tahu siapa Morimura. Pada karya ikan hiu berbunga-bunga, pencurian berlatar main-main untuk membuat parodi.

Masih ada modus pencurian lain. Ini terlihat pada karya-karya berjudul Super Devil, Broken Angels, dan Journey to the Center of…. Ini pencurian dengan pertimbangan artistik yang menghasilkan karya-karya menarik. Karya Super Devil, misalnya, mengopi struktur karya perupa Jepang Katsura Funakoshi. Karya-karya Funakoshi, patung-patung kayu manusia setengah badan, dikenal memperlihatkan persepsi realis pematungnya yang aneh. Karya-karya ini membangun gambaran kehidupan yang mati karena Funakoshi selalu menggunakan mata sintetis (protese penyandang cacat mata) sehingga mata patungnya—pada tubuh separuh yang kaku—berkesan vital.

Pada Super Devil, Asmudjo mengganti tubuh kayu Funakoshi dengan tubuh besi yang dikerjakan dengan teknik las, sementara bagian kepala dibuatnya dengan material keramik. Pada bagian dalam Super Devil, ia memasang burner gas—seperti yang dipasangnya pada patung ikan hiu—yang menyemburkan api melalui dua lubang di kepala patung ini. Semburan api dan lelehan glasir pada kepala keramik ini membuat Super Devil membangun kesan menakutkan. Inilah karya dengan pendekatan alegoris. Super Devil adalah simulacrum karya Funakoshi (kopi yang memperlihatkan penyimpangan) dan simulacrum ini memang menampilkan makna yang lain, bukan lagi "kehidupan yang mati", melainkan "kehidupan sesudah kematian".

Karya itu menunjukkan ternyata ada kesungguhan pada Asmudjo untuk mencoba pendekatan alegoris di tengah kecenderungannya main-main dengan postmodernisme. Gambaran iblis pada Super Devil yang mengulang wajahnya dengan kostum iblis pada karya-karya Super Estetik dan Super Fire seperti mengungkapkan rasa marah. Pesan ini terlalu bersungguh-sungguh di tengah pameran yang berkesan bergurau. Namun, gejala-gejala paradoksal ini memperlihatkan sikap Asmudjo yang berlapis-lapis. Saya kira justru sikap semacam inilah—tidak melihat kenyataan sebagai gejala absolut—yang membuat ia bisa mempersoalkan budaya maling tanpa rasa frustrasi.

Jim Supangkat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum