Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dua Wajah Islam dalam Pergumulan Lautan Jilbab

28 Juli 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Abdul Munir Mulkhan

Empat puluh tahun lalu tidak banyak orang Indonesia yang bisa baca Al-Quran. Masa itu terasa aneh jika seorang pejabat naik haji. Kini Islam menjadi gaya hidup, menyentuh semua lapisan, terutama kelas menengah muslim, dari desa hingga pusat Kota Jakarta. Ceramah keagamaan bertebaran di semua stasiun televisi dengan peserta dari berbagai kelompok yang berpakaian serba modis.

Dalam beberapa dekade terakhir ini warga muslim memasuki dunia modern melalui pendidikan dengan kehidupan sosial-ekonomi yang semakin makmur. Pada masa lalu, kaum perempuan paling banter mengenakan kerudung, selembar kain penutup rambut. Kini mereka mengenakan jilbab berbahan kain dengan lebar berlipat dibanding kerudung. Kelas menengah baru ini bukan hanya berpendidikan lebih baik, juga dengan kognisi syariah yang lebih tinggi dibanding warga bangsa negeri muslim di dunia.

Perluasan dakwah Islam yang masif sejak Orde Baru terus mengalir di pusat perkantoran, pasar, desa, dan lorong-lorong kampung, tidak terbatas sekitar masjid dan pesantren. Waktu tayang dakwah di televisi tidak terbatas pada hari dan jam kerja, bisa bakda subuh, lohor, asar, magrib, atau isya.

Di alam reformasi, pemeluk Islam leluasa menerapkan ajaran syariah secara lebih ekspresif di semua lini kehidupan. Dari perbankan syariah, sertifikasi halal beragam jenis makanan, hotel syariah, hingga kosmetik halal, terus meluas merasuk ke jantung komunitas muslim. Secara kreatif berkembanglah gaya hidup syar'i, termasuk jilbab bagi perempuan, yang pada masa Orde Baru sempat dilarang.

Berbagai ritual syariah dikemas memenuhi selera kelas menengah mengiringi fenomena "lautan jilbab" sebagai gaya hidup. Haji dan umrah dikemas sebagai wisata ibadah. Andai swasta berhak mengelola secara penuh, perjalanan haji akan penuh warna, seperti paket umrah via Paris, Mesir, atau Yerusalem, bahkan Vatikan dan berbagai kota di Eropa.

Ironisnya, kesadaran penerapan syariah yang tinggi itu harus berhadapan dengan fakta kehidupan global yang tidak seluruhnya cocok. Ajaran syariah hasil pemikiran ulama salaf itu sezaman dengan penyebaran Islam di kawasan Nusantara masa itu.

Namun hal itu tidak pas dengan gaya hidup kelas menengah. Itu sempat saya paparkan dalam "Bonus Ganda Pertumbuhan Majlis Taklim dalam Historisitas Kesalehan dan Bonus Demografi", yang disampaikan dalam focus group discussion pembuatan buku Memperkuat Posisi Indonesia dalam Dunia yang Sedang Berubah: Kajian Perkembangan 2014-2019 yang diselenggarakan Dewan Analisis Strategis Badan Intelijen Negara pada November 2013 di Jakarta.

Nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti menyantuni mereka yang menderita dan memberi kebahagiaan kepada semua orang (rahmatan lil alamin), berlaku hanya bagi sesama muslim dan sealiran. Kognisi syariah tinggi tidak paralel dengan empati penderitaan orang lain beda agama atau aliran, seperti jemaat gereja yang kepanasan saat beribadah akibat izin pendiriannya dicabut serta pengikut Syiah dan Ahmadiyah yang terusir dari kampung halamannya.

Pada saat yang sama, alam demokrasi menghadirkan sosok pejabat daerah yang bersih, jujur, adil, suka menolong sesama, dan bukan muslim. Fakta ini sulit diterima komunitas muslim tertentu. Mereka bergumam bahwa "sang pejabat itu orang baik, sayang bukan muslim".

n n n

Bila kita tengok sejarah, fenomena "lautan jilbab" dan syariah sebagai gaya hidup adalah kemasan baru umat Islam yang mulai menyentuh negeri ini. Fenomena "lautan jilbab" sebagai gaya hidup modern mengindikasikan "koreksi" atas tafsir ulama salaf. Muncul dua wajah Islam: yang hidup berbasis syariah harfiah dan yang berjilbab ke kafe dan mal. Satu wajah tumbuh dari rasa terancam saat doktrin syariah bertabrakan dengan gaya hidup modern atau tak kuasa menolak hajat hidup modern dalam bungkus syariah.

Sebagian generasi muda muslim simbolis (skriptural) menghindari gaya hidup modern dengan membangun kelompok eksklusif, seperti dicatat R. William Liddle dalam "Skripturalisme Media Dakwah: Satu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam Masa Orde Baru" dalam jurnal Ulumul Qur'an Nomor 3, Volume IV, Tahun 1993. Bagi mereka, perbedaan dengan paham mainstream syariah berarti menyimpang dari Islam dan bahkan wajib dilibas.

Ajaran kemanusiaan dan toleransi hanya berlaku internal. Tiada toleransi bagi yang berbeda paham, apalagi berbeda kepemelukan. Toleransi dipandang sebagai bagian dari pendangkalan akidah yang harus ditolak. Aksi-aksi kemanusiaan hanya berlaku bagi mereka yang sepaham dan seiman dengan konstruksi "positivisme Comtian" alias letter lux-bahwa syariah yang benar adalah sesuai dengan yang ditulis beberapa abad lampau.

Wajah lain, di tengah kegalauan tersebut muncul genre baru paham Islam, yang secara peyoratif sering disebut Islam liberal, dalam konteks berbeda disebut "substansialis". Seiring dengan itu muncul Islam politik genre baru, nasionalis genre baru, dan sekuler genre baru, yang mengiringi fenomena "lautan jilbab" sebagai suatu spiritualisme baru. Mereka semakin religius dan spiritual, tapi tidak seluruhnya pas dengan formula syariah klasik. Ini adalah suatu simbiosis baru nilai Islami, nasionalis, sekaligus sekuler.

Di sinilah makna kehadiran Presiden Joko Widodo dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Keduanya mewakili genre baru nasionalis yang lahir dari keluarga nonaktivis gerakan Islam tapi mempunyai komitmen atas nilai-nilai universal Islam. Jokowi diusung PDI Perjuangan, didukung genre baru aktivis gerakan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, dan berlatar belakang keluarga Masyumi, yang pada masa lalu mustahil terjadi. Adapun generasi aktivis Islam simbolis umumnya lebih mendukung Koalisi Merah Putih pimpinan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Tampaknya diperlukan tafsir baru syariah hasil pemikiran ulama salaf, termasuk ilmu tauhid dan fikih, agar Islam bukan sekadar gaya hidup, tapi berakar pada kesadaran makrifat. Melalui tafsir baru itu, komunitas muslim bisa bekerja sama dengan pejabat profesional lintas agama tanpa merasa terancam. Dari sini generasi muda muslim bisa terlibat aktif dalam berbagai aksi kemanusiaan universal tanpa memandang latar belakang agamanya.

Guru Besar Filsafat Pendidikan Islam dan Ketua Senat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus