Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bersedekah dan membayar zakat, bagi Rini Rahmawati, 51 tahun, sudah seperti kebutuhan. Selain menyisihkan 2,5 persen penghasilan bulanannya untuk zakat, ia memberikan sedekah alias sumbangan sukarela. Eksekutif di salah satu bank swasta nasional di Jakarta ini yakin kebiasaannya menggelontorkan sumbangan itulah yang membuat rezekinya semakin moncer.
"Saya ini sudah selesai dengan urusan duniawi. Sekarang, kalau punya rezeki, saya bagikan ke orang lain saja," ujar perempuan paruh baya yang tinggal di Cibubur, Jakarta Timur, ini. Semula ia enggan terbuka soal kebiasaannya bederma. "Saya enggak mau jadi ria atau pamer," katanya.
Dulu, pada awal 2000-an, Rini selalu menyambangi kantor lembaga zakat Dompet Dhuafa bila ingin menunaikan zakat atau bersedekah. Kini, dengan adanya layanan transfer antarbank sejak 2008, Rini cukup pergi ke anjungan tunai mandiri untuk menyetorkan uang ke rekening Dompet Dhuafa. Namun, pada Kamis siang pekan lalu, ia kebetulan melintas di depan kantor Dompet Dhuafa di Pejaten, Jakarta Selatan. Keinginan untuk bernostalgia-menyumbang langsung ke kantor pusat Dompet Dhuafa-pun muncul. "Sudah lama sekali saya tidak masuk ke kantor ini," kata Rini.
Jumlah orang seperti Rini, menurut Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Didin Hafidhuddin, memang meningkat dalam lima tahun belakangan ini. Hal itu terlihat dari semakin banyaknya filantropi dari kalangan kelas menengah muslim yang membiayai kegiatan panti asuhan, organisasi sosial keagamaan, dan bergabungnya mereka sebagai donatur dari lembaga zakat.
Hal itu bisa dilihat dari penerimaan zakat sejumlah amil zakat-termasuk Dompet Dhuafa-yang meningkat signifikan dalam lima tahun belakangan. Dari catatan Baznas, pada 2011 zakat terhimpun Rp 1,7 triliun. Jumlah itu meningkat menjadi Rp 2,2 triliun pada 2012 dan Rp 2,5 triliun tahun lalu. Adapun pendapatan yang tercatat di Dompet Dhuafa naik 10-20 persen tiap tahun sejak 2011. Tahun lalu pendapatan zakat yang diterima lembaga tersebut mencapai Rp 220 miliar. Dari jumlah itu, peningkatan sumbangan dari kalangan kelas menengah muslim mencapai 16-17 persen.
"Muslim kelas menengah ke atas, yakni kalangan eksekutif atau pengusaha berusia 40-an tahun, semakin meningkat kesadaran agamanya. Mereka berzakat dan bersedekah karena merasakan manfaatnya secara langsung," kata Didin.
Tren itu diperkirakan Direktur Dompet Dhuafa Nana Mintarti masih awet bahkan kian meningkat. Apalagi potensi zakat di Indonesia diperkirakan Rp 217 triliun. Artinya yang terkumpul selama ini baru seperseratusnya. "Kecenderungannya sekarang, orang semakin mampu, semakin ingin memberi dan berbagi. Di Dompet Dhuafa sendiri ada tren peningkatan yang menurut kami masih akan stabil pada tahun-tahun mendatang," ujarnya.
Geliat pertumbuhan zakat di kalangan kelas menengah muslim juga diungkapkan Yuswohady dalam bukunya, Marketing to the Middle-Class Moslem, yang terbit pertengahan tahun ini. Menurut dia, sumbangan zakat dari kelas menengah muslim Indonesia kini semakin subur. Kesimpulan itu diperoleh Yuswohady dari penelitian yang digarap oleh lembaga riset Inventure tahun lalu.
Menurut survei itu, kalangan kelas menengah muslim mengalokasikan 5,4 persen dari penghasilannya untuk zakat dan sumbangan. Persentase itu meningkat dari 2012 yang sebesar 4,1 persen. "Semakin makmur, orang dari kelas menengah muslim ternyata juga semakin religius. Itu bukti mereka menerapkan nilai-nilai Islam di masyarakat," ujarnya Jumat pekan lalu.
Yang menarik, kata Direktur Penggalangan Sumber Daya Dompet Dhuafa Thoriq Helmi, 90 persen dari kalangan menengah muslim itu menyetorkan zakat dan sumbangannya lewat saluran elektronik, seperti kartu debit, transfer rekening, SMS banking, membayar di kasir minimarket, juga menggunakan PayPal. Jumlahnya variatif, rata-rata Rp 250-400 ribu per bulan.
Cara pembayaran tersebut lebih disukai karena praktis. Sa'adah, 50 tahun, misalnya, lebih suka bersedekah lewat saluran elektronik dibanding menyetor langsung. Sejak 2007, ibu rumah tangga yang tinggal di Semarang itu bersedekah lewat lembaga Rumah Zakat dan PKPU. "Alhamdulillah, lembaga zakat yang saya titipi donasi amanah, sehingga saya nyaman saja menyetor lewat cara elektronik ini. Sedang berada di luar negeri pun saya tetap bisa melakukan donasi," ujarnya Kamis sore pekan lalu.
Kian gampangnya cara penyetoran zakat diakui Thoriq berpengaruh pada derasnya pemasukan donasi ke lembaganya. Kemudahan itu ditopang kerja sama Dompet Dhuafa dengan motivator muslim, seperti Jefri Al Bukcori alias Uje (almarhum). Saat menggandeng Uje beberapa tahun lalu, pendapatan zakat Dompet Dhuafa disebutkan Thoriq melejit 27 persen.
Pendapatan tersebut tergalang dari 22 ribu donator tetap, baik individu maupun perusahaan. Dari jumlah itu, kebanyakan adalah anggota kelas menengah muslim yang berkarakter praktis, kritis, dan non-partisan. Salah satu contoh sikap kritis donatur, jika menjelang akhir tahun saldo perusahaan masih banyak, mereka memprotes. Donatur bahkan bawel terhadap pemilihan brand ambassador dan teliti memeriksa laporan keuangan yang disampaikan rutin via e-mail, media massa, serta situs web, dan media internal perusahaan.
Nana menambahkan, sikap kritis donatur dari kalangan kelas menengah muslim itu membuat lembaganya mesti membuat program yang tidak biasa-biasa saja. Itulah mengapa program Dompet Dhuafa tak hanya berkutat di bidang pendidikan dan kesehatan, tapi juga pemberdayaan masyarakat kecil yang berkesinambungan.
Program pembangunan rumah sakit dan pemberian modal untuk usaha kecil, misalnya, disukai karena bersifat jangka panjang. "Donatur juga senang karena dengan menyumbang Rp 1-2 juta mereka sudah bisa terlibat mengurangi kemiskinan di Indonesia yang sifatnya struktural. Sedangkan nominal yang sama, jika mereka kelola sendiri, mungkin tak akan membuat banyak perubahan," ujar Nana.
Dompet Dhuafa juga menggandeng donatur untuk terlibat kegiatan mereka, misalnya dengan menjadi sukarelawan yang membantu di area bencana alam. Strategi lembaga zakat tersebut dinilai Yuswohady ampuh membuat donatur merasa diperhatikan dan tidak sia-sia mendonasikan sebagian hartanya. "Kalau tahu sedekah atau zakat mereka dipakai untuk apa, kan donatur seperti merasakan langsung pahala mereka. Rasanya sudah seperti naik surga saja itu," kata penulis buku Consumer 3000 ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo