Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mencari Tuhan di Sinetron

Sinetron dan film islami membanjiri pasar dan laris manis. Kurang memberi peran bagi perempuan.

28 Juli 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pudjiastuti Suradi tak beranjak dari tempat duduknya setiap pukul 20.00. Perempuan paruh baya yang tinggal di Semarang ini menanti tayangan sinetron Catatan Hati Seorang Istri di stasiun televisi RCTI, yang dimulai pada jam tersebut. Sinetron yang diangkat dari buku karya Asma Nadia berjudul sama ini memang sedang hit.

"Jam-jam segitu ibuku tak mau menerima telepon. Bahkan, saat jeda iklan pun, dia tetap di tempat duduknya," kata Samira, putri Pudjiastuti, yang tinggal di Jakarta. Akibatnya, Samira selalu kesulitan menghubungi sang ibu pada jam tayang sinetron tersebut.

Sinetron ini ditayangkan pertama kali pada 9 Juni 2014, menjelang Ramadan. Asma Nadia mengatakan kisah dalam novelnya itu diambil dari berbagai curahan hati teman atau pembaca bukunya. "Curhat dan kisah mereka sangat menyentuh saya. Maka saya minta izin untuk dikisahkan pada novel saya," kata penulis Emak Ingin Naik Haji, yang sudah diangkat ke layar lebar dan versi sinetronnya juga "meledak", ini.

Sinetron itu dibintangi Dewi Sandra, Yasmine Wildblood, Intan Nuraini, Oka Antara, Ashraf Sinclair, dan Alexandra Gottardo. Tokoh Hana (yang diperankan Dewi Sandra) hidup bersama suaminya, Bram (Ashraf Sinclair), dan putrinya, Rosi. Keluarganya selalu terlihat harmonis, sehingga banyak teman perempuannya yang menceritakan masalah rumah tangga mereka kepada Hana. Hana selalu memberi nasihat kepada mereka agar sabar, tawakal, dan tetap tawadhu karena tugas berat seorang istri adalah menjaga keutuhan rumah tangga. Itulah salah satu hal yang dikatakan Hana ketika salah seorang temannya ingin bercerai dari suaminya.

Mata Pudjiastuti dan ribuan penonton lain pun tersedot saat seri sinetron Catatan Hati Seorang Istri itu diputar. Bahkan, atas permintaan penonton, tayangan produksi SinemArt itu diputar ulang di waktu sahur pada pukul 03.45.

Peringkat sinetron besutan sutradara Maruli Ara itu pun melonjak. Berdasarkan data kepemirsaan AGB Nielsen Media Research, pada 22 Juni 2014, 13 hari setelah ditayangkan, sinetron itu langsung meraih posisi pertama dengan rating 5,4 dan share 21. Rating menunjukkan persentase penonton suatu acara dibandingkan dengan semua acara serupa pada waktu tertentu. Adapun share merujuk pada persentase penonton TV tersebut di antara stasiun TV lain. Sinetron itu melampaui posisi Ganteng-ganteng Serigala, sinetron populer yang sejak ditayangkan pada 21 April 2014 selalu menduduki posisi pertama.

Tapi sinetron Catatan Hati Seorang Istri juga bermasalah. Tayangan itu pernah ditegur Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada 2 Juli lalu karena menampilkan adegan kekerasan. Adegan sayat tangan dilakukan Karin (Cut Meyriska) pada episode 10 Juni. Karin digambarkan menyayat tangannya menggunakan benda tajam hingga berdarah. KPI juga menemukan pelanggaran lain, yaitu adegan mencekik pada episode 20 Juni dan adegan Karin mencoba bunuh diri dengan melompat dari gedung tinggi pada 21 Juni. "Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap perlindungan kepada anak-anak dan remaja," kata Agatha Lily, anggota KPI Pusat.

Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome juga menggugat sinetron tersebut karena memaknai Down syndrome secara keliru. Di situ disebutkan bahwa Down syndrome terjadi karena dosa, kutukan, atau karma. Padahal Down syndrome muncul karena kelainan pada kromosom manusia.

Agatha Lily mengatakan teguran mereka berikan karena sinetron ini masih panjang ke depannya. Kini saja baru sekitar 80 episode yang diputar. "Sangat disayangkan bila mereka memasukkan unsur kekerasan atau hal-hal yang tidak semestinya. Apalagi ini kan bulan Ramadan. Semoga lebih banyak lagi hal positif yang dapat dimasukkan sebagai unsur pembelajaran," ujarnya.

Popularitas Catatan Hati Seorang Istri memperpanjang daftar "sinetron atau film religi atau islami" yang belakangan ini ramai diputar di televisi. Di masa Orde Baru, sangat jarang kita menemukan artis berhijab atau aktor bersorban di sinetron dan film, kecuali mereka memerankan tokoh haji atau ulama atau acara khusus di bulan Ramadan.

Tapi, setelah 1998, artis berhijab mulai bermunculan dan semakin ramai dalam lima tahun belakangan ini. Sinetron islami yang pertama kali muncul adalah Doaku Harapanku, pada bulan Ramadan, yang dibintangi Krisdayanti, Dicky Wahyudi, dan Lely Sagita.

Pada awalnya, Multivision Plus, rumah produksi yang membuatnya, ragu apakah pasar penonton muslim berminat terhadap sinetron jenis ini. Tapi nyatanya sinetron itu sukses dan ditayangkan lagi pada Ramadan berikutnya. Setelah itu, membanjirlah berbagai sinetron religi lain, seperti Doa Membawa Berkah, Kiamat Sudah Dekat, Doa & Anugerah, Rahasia Ilahi, dan Tukang Bubur Naik Haji. Acara itu pun tak hanya diputar di bulan Ramadan, tapi juga di hari-hari biasa.

Amrit Punjabi, pemilik Multivision Plus, rumah produksi yang kini rajin membuat sinetron religi, mengakui banjir sinetron religi ini memang sedang jadi tren. "Ada gula ada semut. Lumrah saja," katanya.

Masyarakat pun nyatanya antusias menerima sinetron religi ini. Tukang Bubur Naik Haji The Series produksi SinemArt, yang ditayangkan sejak 28 Mei 2012, hingga kini sudah mencapai 1.250 episode. Adapun sinetron Para Pencari Tuhan bertahan hingga jilid kedelapan.

Di ranah perfilman, gejala serupa terjadi ketika Ayat-ayat Cinta meledak pada 2008. Bahkan film itu diluncurkan justru bukan di bulan Ramadan dan ketika pasar sedang kebanjiran film horor. Film garapan Hanung Bramantyo itu menjadi film terlaris sepanjang sejarah perfilman Indonesia dengan 3,6 juta penonton. Setelah itu, berbagai film islami pun muncul dan laris di bioskop, seperti 3 Doa 3 Cinta, Perempuan Berkalung Sorban, Kiamat Sudah Dekat, dan 99 Cahaya di Langit Eropa.

Menurut Manoj Punjabi, Presiden Direktur MD Entertainment, pembuat film Ayat-ayat Cinta, sejak awal intuisinya memberitahukan bahwa film religi bakal diterima penonton muslim. "Populasi penduduk di Indonesia itu 80 persen muslim, jadi hampir seluruh masyarakat bisa menontonnya. Kalau menjadi sukses besar, kan, saya mendapat berkah dan didoakan orang banyak," ujar Manoj kepada Tempo.

Manoj tak pernah ragu bahwa penonton muslim akan berminat pada film religi. "Saya sangat yakin pada film Ayat-ayat Cinta karena formulanya tepat dari alur cerita dan nuansa Islamnya. Kontroversi tentang poligami pun ditampilkan tanpa harus ada keberpihakan. Semua diambil positifnya," katanya.

Kendati diklaim sebagai sinetron dan film islami, tayangan mereka sebenarnya lebih banyak menampilkan dunia Islam di permukaan saja, seperti artisnya yang mengenakan hijab serta kutipan-kutipan ayat Al-Quran dan hadis dalam dialog-dialognya. "Asal ada perempuan berhijab, pria berbaju koko, dan kutipan 'alhamdulillah' atau 'astagfirullah' sudah dianggap islami. Padahal Islam tak sebatas itu," ujar Deny Hamdani, pengajar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Nilai-nilai toleransi dan kemanusiaan, yang menjadi bagian dari inti ajaran Islam, tak banyak dieksplorasi.

Bahkan "sinetron islami" cenderung memojokkan posisi perempuan dengan menggambarkan peran perempuan sebagai ibu rumah tangga belaka. Roy Thaniago, peneliti kebudayaan yang pernah menempuh kuliah di Pascasarjana Institut Seni Indonesia Surakarta, menemukan kecenderungan itu saat meneliti Anak-anak Manusia (RCTI), Para Pencari Tuhan 7 (SCTV), dan Hanya Tuhanlah yang Tahu (Trans TV). Ketiganya dipilih karena menjadi tayangan andalan stasiun TV masing-masing.

Dalam penelitian yang dilakukan Remotivi, lembaga nonpemerintah yang memantau tayangan televisi, dan didukung Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan itu, Roy tak secara khusus mengkaji aspek keislaman dalam tayangan tersebut. Sebab, menurut dia, Anak-anak Manusia, misalnya, sebetulnya adalah tayangan yang bercorak sekuler tapi diputar pada musim Ramadan dan berias dengan kode-kode budaya Islam.

Yang memprihatinkan adalah penggambaran peran perempuan di ketiga sinetron itu. "Bagaimana perempuan diposisikan dalam urusan domestik. Islam dipakai sebagai pembenaran untuk diskriminasi. Sosok perempuan juga digambarkan secara stereotipe, seperti mudah dirayu atau dibelai," ujar Roy mengenai penelitiannya yang baru pada pertengahan Ramadan lalu dirilis itu.

Peran perempuan hanya sekadar mengantar minuman, menjaga anak, atau memasak. "Tidak pernah ada adegan perempuan mengambil keputusan. Bahkan, untuk sebuah keputusan pernikahan atau pemberian jatah uang, itu dilakukan lelaki," kata Roy.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus