Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kresna dan Arjuna berhadap-hadapan di atas lembaran kuning emas. Kresna, yang berdiri di sebelah kiri, dan Arjuna masing-masing mengangkat tameng lonjong. Di sekeliling tameng tertera tulisan: rawe-rawe rantas, malang-malang poetoeng, artinya hancur semua yang menjadi penghalang. Seekor burung garuda dengan dua bilah keris bertengger di atas dua tokoh wayang. Keris yang berliku sebagai peninggalan Majapahit dan yang lurus sebagai warisan Mataram.
Inilah lambang Indische Partij, partai politik pertama di Hindia yang menyerukan "Hindia untuk orang Hindia". Tak sekadar sebagai simbol, lambang ini memiliki arti pengaruh Gerakan Teosofi dalam tubuh Indische Partij, yang didirikan oleh Ernest Douwes Dekker pada 1912.
Kresna dan Arjuna adalah tokoh wayang yang paling sering digunakan Gerakan Teosofi pada masa itu. "Logo itu memperlihatkan roh dari pengaruh kuat teosofi yang dicoba direalisasi lewat kerja yang lebih politis," kata Iskandar Nugraha, peneliti sejarah Teosofi di Indonesia, kepada Tempo.
Kedua tokoh wayang ini telah lama menjadi idola priayi Jawa. Dalam tokoh pewayangan, Kresna dikenal sangat sakti. Dia memiliki kemampuan meramal, berubah bentuk menjadi raksasa, dan dapat menghidupkan orang mati. Sedangkan Arjuna memiliki sifat cerdik dan pandai, pendiam, teliti, sopan dan santun, serta berani dan suka melindungi yang lemah.
Gerakan Teosofi kerap menggunakan kedua tokoh wayang itu dalam menyampaikan pesan mereka. Dalam Kongres Teosofi yang pertama di Indonesia pada 18-19 April 1908, acara puncak menggelar wayang kulit semalam suntuk dengan dalang R. Martahardjana dari Solo. Lakon yang ditayangkan Kresna Gugat, yang memiliki makna kebangkitan kesadaran dalam diri. "Hampir setiap kongres menyelenggarakan wayang dengan tema yang berganti-ganti," kata Andrini Martono, 82 tahun, mantan Sekretaris Persatuan Warga Teosofi Indonesia (Perwathin).
Menurut Iskandar, yang telah meneliti Gerakan Teosofi di Tanah Air sejak 1980-an, propaganda gencar lewat wayang membuat banyak priayi Jawa yang tertarik ikut. Tokoh Teosofi, Radjiman Wedyodiningrat, sering berbicara tentang wayang dalam setiap pertemuan dan ceramah. "Dia selalu menyampaikan ajaran-ajaran teosofi lewat simbol wayang dan menekankan teosofi yang bercorak Hindu-Buddha tidak berbeda dengan kebudayaan Jawa," kata Iskandar dalam buku Teosofi, Nasionalisme, dan ÂElite Modern Indonesia.
Gerakan Teosofi didirikan oleh Helena Petrovna Blavatsky dan H.S. Olcott pada 1875 di New York. Blavatsky menghidupkan ajaran kuno yang tidak hanya berhubungan dengan ketuhanan, tapi juga kearifan, kebatinan, dan alam gaib. Teosofi mengakui adanya kesamaan inti ajaran dari berbagai agama.
Kelompok ini mengajarkan semangat pluralis yang ingin membentuk inti persaudaraan universal yang tak memandang ras, keyakinan, dan gender. Gerakan ini mengajak mempelajari perbandingan agama-agama, filsafat dan ilmu pengetahuan, serta menyelidiki hukum-hukum alam yang belum dapat diterangkan.
Menurut Profesor David Reeve, peneliti Universitas New South Wales, Australia, dalam kurun 1880-an hingga akhir 1920-an, Gerakan Teosofi menjadi bagian penting dalam kehidupan intelektual dan sosial di Eropa, Amerika, Australia, dan Asia, terutama di negara-negara kolonial. Meskipun Gerakan Teosofi bukan organisasi dominan, idenya memiliki kekuatan yang patut diperhitungkan. Dalam stratifikasi masyarakat kolonial, ide gerakan memberi tempat pertemuan penting antara Eropa dan pribumi. Persamaan hak antar-lapisan masyarakat ini pulalah yang menjadi sumbu aksi politik Douwes Dekker.
Menurut Iskandar, Gerakan Teosofi di Hindia-Belanda pertama kali ditandai dengan pembangunan loji di Pekalongan, Jawa Tengah, pada 1883. Pada 15 April 1912, berdiri Nederlandsch Indische Theosofische Vereeniging (NITV), yang diakui secara sah sebagai cabang Teosofi ke-20, dengan presidennya Dirk van Hinloopen Labberton. Pada 1915, dalam Kongres Teosofi di Yogyakarta, jumlah anggotanya mencapai 830 orang dengan mayoritas orang Eropa.
Beberapa tokoh pergerakan nasional pada masa itu terdokumentasi resmi sebagai anggota Gerakan Teosofi, di antaranya Tjipto Mangoenkoesomo, Gunawan Mangoenkoesomo, Muhammad Yamin, dan Agus Salim. Hubungan Gerakan Teosofi dengan para tokoh pergerakan terlihat dari Labberton, yang mendapat julukan kiai santri di antara orang-orang Jawa.
Menurut Akira Nagazumi, Labberton dikenal luas di Hindia dan sebagai guru bahasa Jawa pada Gymnasium Koning Willem III di Batavia, yang sudah berhubungan dengan para murid STOVIA sebelum berdirinya Boedi Oetomo. Dia pernah memberikan ceramah dalam pertemuan Boedi Oetomo atas nama Himpunan Teosofi Hindia-Belanda. Sebanyak 300 orang hadir mendengarkan Labberton pada 16 Januari 1909. Saat itu dia berbicara mengenai agama, tujuan perhimpunan, dan hubungannya dengan bangsa Jawa.
Tak semua tokoh yang dekat atau aktif dalam gerakan ini terdokumentasi dalam catatan organisasi. Douwes Dekker adalah salah satunya. Menurut Parwati Supangat, 80 tahun, pengurus Perwathin, dokumentasi kelembagaan banyak yang tercecer saat pemerintah mengambil alih markas besar mereka, Loji Blavatsky, pada 1963. Pemerintah melarang keorganisasian yang berafiliasi dengan lembaga luar negeri.
Buku di perpustakaan loji yang hampir berjumlah 5.000 hanya dapat diselamatkan sekitar 2.000 buah. "Pengurus lama bahkan sempat membeli buku-buku dan dokumen yang dijual di Pasar Kwitang, Jakarta Pusat," kata Andrini.
Keterkaitan lain antara Gerakan Teosofi dan pemikiran Douwes Dekker terlihat pada semangatnya menggerakkan pendidikan untuk pribumi. Menurut Iskandar, sekolah merupakan penanda penting pengaruh nilai teosofi di Hindia secara tidak langsung, bahkan sesudah Indonesia merdeka.
Gerakan Teosofi mendirikan De Nederlancsch Indische Theosofische Bond voor Opvoeding en Onderwijs atau Perkumpulan Teosofi Hindia-Belanda untuk Pendidikan dan Pengajaran pada 2 April 1920 di Surakarta. Lembaga ini mendirikan Sekolah Arjuna yang tersebar luas di Pulau Jawa. Lainnya, Sekolah Guru Goenoeng Sari (cikal-bakal Universitas Pendidikan Bandung) dan Institut Teknologi Bandung. Pengaruh pendidikan Gerakan Teosofi dapat terlihat dari Taman Siswa bentukan Soewardi dan Institut Ksatrian yang didirikan Douwes Dekker di Bandung pada 1924. "Saya melihat ada benang merahnya dengan sekolah yang didirikan Douwes Dekker," kata Iskandar.
Sejarawan Rushdy Hoesein tak mempercayai keanggotaan Douwes Dekker dalam Gerakan Teosofi. Aktivitas politik yang dilakukannya berbeda dengan ajaran Teosofi. "Dia lebih dekat dengan gerakan tokoh-tokoh kiri yang revolusioner daripada Teosofi, yang mendukung politik etis Belanda," kata Rushdy.
Labberton, yang juga anggota Volksraad (Dewan Rakyat Hindia-Belanda), mengusung politik asosiasi yang memiliki ruang kerja sama dengan pihak kolonial. Dalam surat terbuka di Theosofisch Maandblad voor Nederlandsch-Indië pada 6 September 1913, Labberton mengkritik Tiga Serangkai, yakni Tjipto, Soewardi Soerjaningrat, dan Douwes Dekker, yang dibuang ke Belanda. Menurut Labberton, mereka pemberani, tapi tak paham arti kemerdekaan, dengan huruf kapital dia menulis: Jawa dan Nederland harus satu.
Perbedaan politik inilah yang mengÂakhiri kedekatan Douwes Dekker dengan Gerakan Teosofi. "Meski berbeda politik, Douwes Dekker tak meninggalkan sisi kultural dari Gerakan Teosofi," kata Iskandar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo