Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persidangan itu dibuka pada awal Mei 1920. Hari itu, sekitar tiga puluh orang, termasuk dua tokoh Insulinde Surakarta, Tjipto Mangoenkoesoemo—Ketua Insulinde cabang Surakarta—dan Mohammad Misbach, berdiri di depan pintu ruang sidang Pengadilan Semarang. Keberadaan mereka mencolok karena mengenakan atribut Partai Insulinde.
Selang tak berapa lama, Ernest Douwes Dekker, yang mereka tunggu, muncul. Dia menghampiri pendukungnya dan memeluk beberapa di antaranya dengan hangat. Sekitar setengah jam dia diberi waktu berbincang-bincang dengan mereka.
Paul W. van der Veur, dalam bukunya The Lion and The Gadfly, Dutch Colonialism and the Spirit of E.F.E. Douwes Dekker, menggambarkan jalannya persidangan tersebut. Douwes Dekker tak didampingi pengacara. Satu-satunya pengacara yang disiapkan Partai, L.J.P.J. Jeekel, tidak bisa hadir karena dikenai hukuman penalti tiga bulan—tidak diperkenankan muncul di persidangan— oleh pengadilan lain.
Suasana sidang tegang ketika dakwaan terhadap Douwes Dekker dibacakan. Dia didakwa menghasut petani di perkebunan tembakau di Polanharjo, Delanggu, Klaten, Jawa Tengah, untuk terus mogok. "Kwee sekarang soedah mogo, ja mogo, troes mogo," kata panitera membacakan pidato Douwes Dekker, seperti ditulis Veur. Artinya, "Kamu sekarang sudah mogok, ya mogok, terus saja mogok."
Douwes Dekker menolak tuduhan tersebut. Ia menyatakan ke sana justru diutus menenangkan situasi. Nyonya Vogel, istri Tjipto, memberikan kesaksian. Menurut dia, Douwes Dekker memang diutus ke Polanharjo untuk menenangkan massa. Menurut Vogel, dia bukan tak membakar semangat pemogokan, hanya memberi pilihan kepada petani. Mogok atau tidak mogok tetap ada konsekuensinya. Demikian ujar Vogel, mengutip pidato Douwes ÂDekker.
Pengadilan menghadirkan Moedio Wignjosoetomo, komisaris Insulinde Surakarta dan redaktur Panggoegah. Menurut Moedio, Douwes Dekker memang menyebut kata mogok. Dia menyatakan keterangan Moedio tak bisa dipakai karena ia yakin Moedio telah ditekan polisi.
Pembelaan untuk Douwes Dekker datang juga dari seorang penduduk. Dia menyatakan peristiwa Polanharjo tak disebabkan oleh hasutan politikus mana pun. Pengadilan akhirnya membebaskan Douwes Dekker. Dia dinyatakan bebas dari segala tuntutan.
Bibit peristiwa "geger Polanharjo", demikian peristiwa itu dikenal, tetap tak terpisahkan dari dua tokoh Insulinde, yakni Mohammad Misbach, mubalig yang juga anggota Sarekat Islam, dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Tjipto, yang juga anggota Volksraad atau Dewan Rakyat, saat itu dikenal dengan tulisannya di surat kabar Panggoegah, yang kerap dengan tajam mengkritik pemerintah Belanda, kesultanan, dan pemilik perkebunan. Tjipto adalah intelektual dengan pena tajam yang memiliki pergaulan luas di kalangan priayi.
Misbach lebih progresif dibanding Tjipto. Dia propagandais ulung. Takashi Shiraishi, dalam bukunya, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, menulis bagaimana sebuah poster karya Misbah, yang menggambarkan posisi buruh dalam sistem kapitalisme dan dimuat dalam Islam Bergerak edisi 20 April 1918, demikian bisa mendidihkan darah para buruh. Dalam poster itu tertulis, "Kamoe pegang jang keras!!! Bijar kami moedah mengisepnja." Poster itu menunjukkan persekongkolan pemerintah Belanda, kesultanan, dan pemilik kebun sebagai kaum kapitalis. Ketiganya dituding Misbach berkomplot untuk mengisap tenaga para petani, agar bisa dipekerjakan lebih keras dengan gaji rendah.
Duet Misbach dan Tjipto itulah yang membuat semakin banyak penduduk bergabung dengan Insulinde. Pada 1919, jumlah anggota Insulinde Surakarta diperkirakan tak kurang dari sepuluh ribu, sebagian besar adalah buruh dan petani. Otomatis, basis Insulinde petani dan buruh, yang setiap wilayahnya dibagi dengan istilah "kring". Sebelum didominasi massa petani, anggota Insulinde kebanyakan orang Indo, Tionghoa, atau priayi. Komposisi Insulinde di Surakarta ini sebenarnya yang dicita-citakan Douwes Dekker. Persatuan Hindia tanpa memandang strata, ras, dan agama.
Pesatnya perkembangan Insulinde cabang Surakarta ini pula yang kemudian menyeret Douwes Dekker ke meja hijau. Itu karena terjadinya aksi pemogokan yang dilakukan oleh hampir semua petani di kantong-kantong Insulinde.
Pemogokan itu berpangkal pada persoalan upah di perkebunan tembakau Polanharjo. Mereka menuntut upah glidig—bekerja sebagai buruh perkebunan—dinaikkan dari yang sebelumnya empat gulden. Tuntutan itu tak dikabulkan, pemogokan pun terjadi, dan puncaknya terjadi pada 17 Juni 1919. Pabrik dan perkebunan lumpuh total. Pemerintah Belanda kalang-kabut.
Tjipto sendiri sudah turun untuk menyelesaikan persoalan itu. Dia, misalnya, mengusulkan dibentuknya komisi untuk menjembatani tuntutan petani. Dia juga berencana menggelar pertemuan Insulinde di Surakarta untuk membicarakan persoalan itu. Tapi rencana pertemuan ditentang Residen Surakarta Harloff.
Berita larangan pertemuan itu rupanya tak sampai ke petani. Pada 22 Juni 1919, hari yang direncanakan, sekitar 1.500 petani berbondong-bondong masuk SurakarÂta dengan berjalan kaki. Tapi, di gerbang barat kota, mereka dicegat polisi. Baku hantam pun terjadi. Sekitar seratus petani dan buruh ditangkap, termasuk delapan pemimpin kring, seperti Kartosoediro dan H. Tajib.
Penangkapan para pemimpin itu membuat semangat pemogokan petani anjlok. Dari 600 buruh perkebunan yang mogok pada 17 Juni 1919, jumlah itu terus berkurang. Maka, pada 3 Juli 1919, sekitar separuh dari petani itu sudah bekerja kembali.
Tjipto kemudian mengontak Insulinde Pusat, meminta dikirim seseorang secepatnya ke Surakarta. Maka, pada 3 Juli 1919, datanglah Douwes Dekker dan Van der Kasteele. Oleh Moedio dan Vogel, keduanya dengan mobil berbendera Insulinde diantar ke rumah Kartosoediro, salah seorang pemimpin kring yang ditangkap, di Polanharjo. Di sana sudah menunggu sekitar 50 petani yang masih melancarkan aksi mogok.
Di depan para petani, Douwes Dekker berpidato dalam bahasa Melayu, yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Jawa oleh Moedio. Inti pidatonya, dia meminta petani tidak membuat kerusuhan, dan mereka harus bertanggung jawab atas akibat pemogokan yang mereka mulai sendiri.
Versi lain dari pidato Douwes Dekker dikemukakan oleh sejarawan Rushdy Hoesein. Menurut dia, pidato Douwes Dekker justru memprovokasi petani. "Intinya, dia bilang jangan tanggung-tanggung." Douwes Dekker, menurut Rushdy, memang pandai berpidato. "Dan itu juga dengan kemampuan bahasanya yang bagus seperti Sukarno," ujarnya.
Selain berpidato tentang pemogokan, Douwes Dekker mengusulkan untuk menaikkan upah glidig. Jika dinaikkan, ia berjanji membujuk petani bekerja kembali. Tawaran ini diterima para pengelola lahan. Dari Polanharjo, ia pergi ke Bintaran. Di daerah ini ia menyampaikan hal yang sama, termasuk tawaran kenaikan upah glidig. Setelah melakukan kunjungan singkat di daerah Surakarta itu, Douwes Dekker dan Van der Kasteeler kembali ke Semarang dengan kereta api. Douwes Dekker tak mengira perjalanannya ke Delanggu itu berbuntut diseretnya ia ke meja hijau. Pada 1919, dia ditahan dengan tuduhan menghasut petani Polanharjo.
Tiga pekan lalu Tempo menyusuri desa-desa di daerah Polanharjo. Jalan-jalan desa itu mulus dengan sawah membentang di kiri-kanan. Gapura-gapura berdiri megah di mulut desa. Di Desa Ponggok, pusat pemogokan para anggota Insulinde sekitar 90 tahun silam itu, kebanyakan penduduk menggantungkan hidup dari bertani dan memelihara ikan.
Hampir semua warga menggeleng ketika ditanya peristiwa "geger Polanharjo" itu, atau adanya perkebunan tembakau di wilayah mereka dulu. "Setahu saya, sejak dulu masyarakat di sini hidup dari menanam padi dan memelihara ikan," kata Suryono, salah seorang warga Ponggok yang ditemui Tempo. Geger Polanharjo memang tak berbekas lagi di daerah ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo