Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PABRIK gula Colomadu kini bak gudang besi tua tak terurus. Mesin raksasa penggiling tebu tak lagi bekerja, sebagian komponennya bahkan sudah berpindah ke pabrik lain.
Dibangun pada 1861, kompleks ini dikelilingi gedung perkantoran, gudang, serta gedung pertemuan berarsitektur Eropa. Area bagian dalam, tempat deretan gedung itu berdiri, luasnya sekitar 13 hektare dan dilindungi benteng. Perumahan pejabat dan pegawai pabrik terletak di luarnya. Satu-satunya rumah di dalam benteng adalah rumah dinas administrator pabrik yang megah.
Meski secara geografis berada di tengah Sukoharjo, Kecamatan Colomadu menjadi istimewa karena dianggap sebagai bagian dari Mangkunegaran. Wilayah ini jadi semacam eksklave, yang dimasukkan ke administrasi Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Keistimewaan itu diperoleh lantaran pabrik yang luas totalnya 20-an hektare itu dibangun oleh Mangkunegara IV.
Pada masa jayanya, pabrik ini mampu memeras 1.200 ton tebu per hari. Namun, karena mesin menua dan tak ada peremajaan, pabrik Colomadu gulung tikar sejak 14 tahun silam. "Mesin tak efisien," kata Marwanto, pegawai administrasi pabrik, pekan lalu. Marwanto adalah satu dari 51 pegawai yang bertahan dengan mengolah lahan tebu.
Menganggurnya roda besi penggiling tebu itu bukan kisah pertama. Hampir seabad silam, mesin itu juga pernah mandek, tapi dengan penyebab berbeda. Selama 1918-1919, buruh pabrik berulang kali menggelar aksi mogok kerja, setelah dipengaruhi gerakan Insulinde yang diembuskan Ernest Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Mohammad Misbach.
Mogok kerja buruh pabrik Colomadu menjadi tonggak awal radikalisme Insulinde Surakarta melawan pemerintah Hindia-Belanda dan priayi pemilik modal. Sistem pajak baru, wajib kerja, dan upah yang tak kunjung naik dinilai Douwes Dekker makin mempersulit ekonomi rakyat.
Dia paham betul, kesulitan ekonomi dapat menjadi bahan bakar menghidupkan kembali api Indische Partij. Douwes Dekker, yang baru pulang pada Agustus 1918 dari pengasingan di Belanda, masih bersemangat membangkitkan partai nasionalis yang diberangus pemerintah pada 1913 itu. Melalui jabatannya sebagai Wakil Pemimpin Pusat Insulinde dan Pemimpin Redaksi De Beweging di Semarang, dia terus menggelorakan kemerdekaan Hindia.
Insulinde berdiri pada 1907 di Bandung dan menginspirasi lahirnya Indische Partij. Organisasi ini beranggotakan kalangan Indo dan pribumi ningrat, di antaranya Tjipto dan Soewardi Soerjaningrat. Ketika Indische Partij dilarang pemerintah, anggotanya kembali ke Insulinde.
Sejak Indische Partij dilarang, gagasan Douwes Dekker tentang kemerdekaan Hindia tak banyak digubris anggota Insulinde. Mereka tidak ingin Insulinde dicap terlarang oleh pemerintah. Takashi Shiraishi dalam bukunya, Zaman Bergerak, menuliskan apatisme kaum Indo karena kondisi ekonominya membaik pada 1918. "Meskipun setia terhadap Douwes Dekker, mereka tidak antusias mendengar gagasannya."
Tapi Insulinde Surakarta berbeda dengan cabang lain. Kehadiran Tjipto di kota itu setelah terusir dari Semarang membawa angin perubahan. Pengaruh mereka makin kuat dengan bergabungnya Mohammad Misbach pada Maret 1918, yang membawa rekan-rekannya dari Sarekat Islam, hingga kemudian diberi posisi sebagai wakil ketua.
Douwes Dekker putar otak agar gerakan Tjipto dan Misbach berjalan tapi Insulinde tetap solid. Dia mengeluarkan kebijakan khusus, yaitu memberi wewenang Insulinde Surakarta menjalankan aktivitas propaganda lepas dari kantor pusat. Douwes Dekker yakin Tjipto mampu mengubah Insulinde menjadi Indische Partij. "Insulinde Surakarta diharapkan menjadi pelopor," tulis Shiraishi.
Kunci mengubah Insulinde lebih progresif ialah dengan mengajak buruh dan petani bergabung. Tjipto memimpin penerbitan surat kabar Panggoegah. Misbach melalui media Islam Bergerak. Insulinde berkembang pesat dengan membuka dan mengaktifkan rantingnya, seperti Kartasura, Banyudono, Ponggok, dan Tegalgondo. Cara ini manjur. Anggota Insulinde membengkak dari 5.000 menjadi 10 ribu dalam waktu enam bulan, dan didominasi kaum pribumi.
Tjipto mengusulkan kenaikan upah buruh dan petani karena ekonomi makin sulit akibat Perang Dunia Pertama. Adapun Misbach mendorong aksi mogok buruh dan petani di pedesaan, seperti Colomadu, Tasikmadu, Pucangsawit, Pojok, serta Nglungge, sejak Agustus 2018.
Gerakan ini memicu permusuhan pemimpin Boedi Oetomo dengan Tjipto. Boedi Oetomo Surakarta, yang kebanyakan beranggotakan kalangan bangsawan keraton, tentu membela kepentingan keraton atas pabrik dan perkebunan yang dikuasainya.
Meski Tjipto menjadi aktor lapangan, Politieke Inlichtingen Dienst (PID) atau Dinas Rahasia Pemerintah lebih mencurigai Douwes Dekker sebagai aktor di balik layar. Terbukti, Tjipto masih dipercaya menjadi anggota parlemen Volksraad yang dibentuk pemerintah pada 16 Desember 1918. "Di mata Belanda, Douwes Dekker-lah yang harus disalahkan, sedangkan Tjipto tetap dihargai," Shiraishi menuliskan.
Pada 7 Mei 1919, Misbach ditangkap dengan tuduhan menghasut rakyat agar mogok kerja. Perintah penangkapan diteken oleh A.J.W. Harloff, Residen Surakarta. Tapi Tjipto tak ditangkap karena dia anggota Volksraad.
Sepekan setelah penangkapan Misbach, Douwes Dekker datang bersama L.J.P.J. Jeekel, penasihat hukum Insulinde dari Semarang, menemui Harloff. "Sayang, lobi Douwes Dekker ditolak," tulis Paul W. van der Veur dalam buku biografi Douwes Dekker, The Lion and the Gadfly.
Harloff makin represif dan mengawasi pemimpin Insulinde, termasuk Marie Vogel, istri Tjipto sekaligus Ketua Insulinde Surakarta. Kaum Indo anggota Insulinde di kota memprotes sikap pemimpin pusat yang membiarkan cabang Surakarta. "Mereka membentuk komite umum Insulinde," Van der Veur menulis.
Douwes Dekker berusaha menetralkan keadaan. Ia menulis di De Beweging bahwa pemogokan bukan karena propaganda Insulinde, melainkan akibat kondisi ekonomi yang mengimpit. "Kemampuan memprotes memiliki batasan," katanya.
Niat Douwes Dekker menghidupkan Indische Partij tak padam. Bersama Tjipto, ia mendorong Insulinde pusat menggelar Kongres Hindia di Semarang, 7-9 Juni 1919, untuk mendirikan Nationaal Indische Partij (NIP) atau Sarekat Hindia. Douwes Dekker berpidato menyerukan revolusi spiritual dan membentuk front persatuan yang bertujuan untuk kemerdekaan Hindia.
Dalam NIP, Douwes Dekker terpilih menjadi sekretaris komite sentral, Tjipto sebagai komisaris, dan ketuanya G.L. Topee. Pembentukan partai ini terkesan dipaksakan karena kaum Indo di Insulinde masih ketakutan jika dituduh sebagai pembangkang pemerintah. Namun tak satu pun dari mereka memprotes Douwes Dekker.
Seminggu setelah deklarasi, terjadi mogok lebih dari 600 buruh perkebunan tembakau di Polanharjo, Klaten. Harloff berang. Ia memerintahkan polisi membubarkan aksi. Harloff juga tidak mengizinkan NIP menggelar rapat akbar di Surakarta. Sang Residen menuding Douwes Dekker mengacaukan keamanan karena datang ke Polanharjo.
Itu pula yang jadi alasan untuk menjebloskan Douwes Dekker ke penjara pada Agustus, sebelum ia melarikan diri ke Bandung. Adapun Tjipto mendapat ancaman akan diasingkan ke daerah bukan berbahasa Jawa. NIP di kota-kota besar kocar-kacir. Hanya NIP Surakarta yang bertahan, lalu mengubah diri menjadi NIP Pusat. Ranting-ranting NIP di pedesaan berubah status menjadi cabang dan terus menggelorakan pemogokan.
Pada Oktober 1919, Douwes Dekker dibebaskan dewan kehakiman di Semarang. Misbach juga dibebaskan Dewan Pengadilan Pribumi Surakarta. Begitu pula Tjipto, yang bebas dari tuduhan penghasutan. Pada awal 1920, NIP dipimpin Soewardi yang baru pulang dari Belanda. Tjipto mengubah gagasan perlawanan NIP menjadi "serangan anti-raja", bukan lagi kepada pemerintah.
Namun Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum tak percaya perubahan itu. Pada 10 April 1923, pemerintah resmi melarang NIP. "Memberikan izin kepada NIP akan mengganggu kepentingan umum," tulis Balfas dalam bukunya, Dr. Cipto Mangunkusumo: Demokrat Sejati. Pelarangan itu membuat Douwes Dekker pindah ke Sukabumi dan menggeluti dunia pendidikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo