Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dinilai tidak layak mendapatkan gelar doctor honoris causa.
Ada tim yang memuluskan Muhaimin mendapatkan gelar doktor kehormatan.
Dato Sri Tahir memberikan dana riset Rp 5 miliar kepada Universitas Andalas, Padang.
DISAMPAIKAN dalam forum diskusi terbatas di Ruang Adi Sukadana Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, pada September 2017, presentasi Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar menuai kritik. Hotman Siahaan, guru besar yang hadir dalam pertemuan itu, mempertanyakan teori yang digunakan Muhaimin dalam pemaparannya. “Saya bilang teori yang dia jelaskan itu salah,” kata Hotman menceritakan ulang peristiwa tersebut, Kamis, 11 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, Muhaimin, kini Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, tak bisa memberikan jawaban memuaskan. Ia lalu meminta Muhaimin membaca buku karya J. Nasikun, guru besar sosiologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Dosen hubungan internasional Unair, Mochamad Yunus, membenarkan banyaknya kritik dalam diskusi yang menjadi bagian dari penganugerahan gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa) bidang sosiologi politik itu. Ia sempat mempertanyakan kontribusi Muhaimin dalam bidang pendidikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mochamad bercerita, seminar itu digelar secara mendadak. Ia baru mendapat pemberitahuan satu hari sebelum pertemuan. Seusai acara itu, para dosen yang hadir mendapat “uang lelah” Rp 500 ribu. “Itu tidak lazim. Duitnya saya pakai untuk traktir mahasiswa,” ujarnya.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unair, Airlangga Pribadi Kusman, mengatakan sejumlah guru besar dan dosen di kampus itu mempertanyakan pemberian gelar untuk Muhaimin. Mereka menilai proses pemberian gelar itu tak transparan. Biasanya, fakultas mengusulkan calon penerima gelar kepada rektor. Atau, sebaliknya, fakultas diajak berdiskusi untuk menunjuk orang yang mendapatkan gelar kehormatan tersebut. “Dari departemen politik dan sosiologi tidak ada yang tahu prosesnya,” kata Airlangga saat dihubungi Selasa, 9 Februari lalu.
Dalam suatu pertemuan, sejumlah pemimpin dan dosen dari dua departemen itu menilai proses pemberian gelar tersebut berjalan kilat. Mereka pun menilai Muhaimin tak memenuhi syarat sebagai individu yang berjasa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi atau kemanusiaan. Airlangga mencontohkan, saat penyerangan terhadap pemeluk Syiah terjadi di Madura pada 2012, Muhaimin tak terlihat berupaya menyelesaikan persoalan itu.
Selain itu, para dosen menilai Muhaimin tak memenuhi syarat dalam Peraturan Rektor Universitas Airlangga Nomor 22 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pemberian Gelar Penghargaan Doktor Kehormatan, yakni calon penerima gelar berkontribusi positif untuk pengembangan Unair. Meski ada penolakan, Muhaimin tetap mendapatkan gelar doctor honoris causa pada 3 Oktober 2017. Tak lama setelah pengukuhan Muhaimin, aturan rektor direvisi dengan dihilangkannya syarat kontribusi untuk kampus.
Rektor Universitas Airlangga Mohammad Nasih enggan berkomentar soal penolakan atas pemberian gelar tersebut. “Itu sudah lampau,” ujarnya, Jumat, 12 Februari lalu. Sebelumnya, Mohammad mengatakan pemberian gelar untuk Muhaimin sudah sesuai dengan prosedur. Menteri Pendidikan Tinggi saat itu, Mohamad Nasir, yang hadir dalam pemberian gelar, mengatakan hal senada. “Tidak ada jual-beli dalam pemberian gelar doktor kehormatan,” tutur kakak ipar Muhaimin itu.
Seorang politikus PKB bercerita, Muhaimin semula direncanakan mendapatkan gelar doctor honoris causa dari satu kampus negeri di Semarang. Namun, di tengah jalan, Universitas Airlangga memproses pengajuan gelar tersebut lebih cepat. Politikus PKB itu dan seorang dosen Unair bercerita, Muhaimin sempat bertemu dengan dosen yang menolak pemberian gelar di Kafe Anomali, Senopati, Jakarta Selatan. Dalam pertemuan tersebut, kata dua narasumber itu, Muhaimin meminta sang dosen tidak terlalu galak.
Sumber yang sama menyebutkan, Muhaimin dibantu tim khusus yang mempersiapkan presentasi dan pidatonya. Tim itu antara lain berisi peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Lili Romli; Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Kholid Saerozi; politikus PKB, Lukmanul Hakim; dan guru besar ilmu politik Universitas Airlangga, Kacung Marijan. “Saya bersama yang lain memberikan pendapat,” ujar Lili, Jumat, 12 Februari lalu. Adapun Kholid menampik jika disebut ikut membantu Muhaimin. Sedangkan Lukmanul tak merespons pesan dan panggilan telepon Tempo.
Kacung Marijan juga mengaku menjadi wakil pembimbing Muhaimin yang bertugas membimbing penyusunan naskah pidato. “Meski honoris causa, kan tidak boleh asal-asalan naskahnya,” ucap Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama periode 2010-2015 ini. Ketua pembimbing Muhaimin, guru besar sosiologi Universitas Airlangga, Mustain, mengatakan proses bimbingan sering berlangsung di Jakarta dan Surabaya ataupun melalui telepon. “Ini tugas, dan saya tak tahu munculnya nama Muhaimin karena hasil lobi atau tidak,” ujarnya.
Muhaimin belum bisa dimintai tanggapan. Pesan dan panggilan telepon dari Tempo tak berbalas. Sekretaris Jenderal PKB Muhammad Hasanudin Wahid mengatakan Muhaimin mendapatkan gelar doktor kehormatan karena mengikuti aturan di Universitas Airlangga. Ia menyatakan Muhaimin tak mau sembarangan menerima gelar doctor honoris causa.
Dato Sri Tahir (ketiga dari kiri) saat menerima gelar doctor honoris causa dari Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Juli 2018. Dokumentasi UNAND/unand.ac.id
Bimbingan terhadap penerima gelar juga disiapkan oleh Universitas Andalas, Padang, menjelang penganugerahan doktor kehormatan untuk bos Bank Mayapada, Dato Sri Tahir. Dekan Fakultas Hukum Universitas Andalas Busyra Azheri bercerita, dia dan sejumlah pengajar di fakultas datang ke kantor Tahir pada akhir 2017. “Beliau bertanya apa saja masalah yang dihadapi kampus,” kata Busyra. Dia pun menjelaskan soal minimnya dana riset di Universitas Andalas.
Menurut Busyra, kampusnya berniat memberikan gelar doktor kehormatan kepada Tahir. Dia menilai Tahir memiliki peran besar dalam kemanusiaan. Fakultas lalu membentuk tim untuk menentukan bidang doktor kehormatan buat Tahir. Yang dianggap sesuai adalah hukum internasional, yang membahas juga soal kemanusiaan. Usul itu kemudian diajukan ke Senat Universitas Andalas dan disetujui rektor. Setelah itu, Tahir diminta mempersiapkan sejumlah tulisan dan makalah serta kuliah umum soal filantropi. Pada 16 Maret 2018, ia mendapatkan gelar doktor kehormatan di bidang hukum dan kemanusiaan.
Menurut Busyra, belakangan Universitas Andalas memperoleh bantuan untuk riset sebesar Rp 5 miliar dari Yayasan Tahir. Dana itu juga dipakai untuk studi banding dosen dan mahasiswa. Dengan adanya bantuan itu, Busyra melanjutkan, kampusnya bisa menambah tiga guru besar. “Ini bukan jual-beli. Kami memberikan gelar secara obyektif dan tidak meminta apa-apa,” tuturnya. Adapun Tahir irit komentar soal pemberian gelar doctor honoris causa. “Saya lulus doktor di Universitas Gadjah Mada dengan indeks prestasi kumulatif 3,8. Jadi jangan ngarang,” ujar Tahir, yang mengantongi gelar doktor kehormatan dari sejumlah kampus.
HUSSEIN ABRI DONGORAN, RAYMUNDUS RIKANG, KUKUH S. WIBOWO (SURABAYA), SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo