Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Main Obral Doktor Humoris

Sejumlah kampus mengobral gelar doktor kehormatan kepada para politikus dan pejabat. Seleksi pemberian gelar tersebut dinilai tak transparan. Diduga ada motif politik di balik penganugerahan titel itu. Sejumlah pejabat juga gencar berburu gelar profesor tidak tetap ke kampus-kampus.

13 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Nurdin Halid (kanan) saat menerima gelar Honoris Clausa dari Rektor UNNES Fathur Rokhman, di Semarang, Jawa Tengah, 11 Februari 2021. unnes.ac.id

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemberian gelar doctor honoris causa untuk Nurdin Halid dipenuhi kejanggalan.

  • Gelar doctor honoris causa untuk Menteri Desa diduga terkait dengan rekomendasi calon Bupati Gunungkidul, Yogyakarta.

  • Mantan Kepala Kepolisian RI, Tito Karnavian, melobi supaya dijadikan profesor tidak tetap.

PULUHAN karangan bunga untuk bekas Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), Nurdin Halid, berjejer di teras auditorium Universitas Negeri Semarang (Unnes) pada Kamis, 11 Februari lalu. Siang itu, Nurdin dikukuhkan sebagai doktor kehormatan (doctor honoris causa) di bidang industri olahraga. Di antara buket itu, Airlangga Hartarto tampak mengirimkan dua karangan bunga, atas nama Menteri Koordinator Perekonomian dan Ketua Umum Partai Golongan Karya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak jauh dari barisan kembang papan itu, belasan mahasiswa Unnes berunjuk rasa menentang pemberian gelar kepada Nurdin. Mengenakan jaket almamater berwarna kuning, mereka membentangkan spanduk bernada protes seperti “Tegakkan Integritas Kampus, Jangan Obral kepada Tikus”. Seorang mahasiswa berkaus bola mengacung-acungkan kartu merah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Wahyu Suryono Pratama, yang ikut dalam demonstrasi itu, mengatakan Nurdin tak layak memperoleh gelar doctor honoris causa dari kampusnya. “Rekam jejak Nurdin sangat kelam,” kata Wahyu. Nurdin adalah mantan narapidana kasus korupsi dana distribusi minyak goreng Bulog.

BEM KM Unnes berunjuk rasa menolak pemberian gelar doktor kehormatan bidang industri olahraga untuk Nurdin Halid, di kampus UNNES, Semarang, Jawa Tengah, 11 Februari. TEMPO/Jamal A. Nashr

Kejanggalan pemberian gelar doktor kehormatan terhadap Nurdin terendus sekitar enam bulan sebelum acara pengukuhan gelar. Rektor Universitas Negeri Semarang Fathur Rokhman—pernah tersangkut kasus plagiarisme jurnal ilmiah dan disertasi—membentuk tim untuk mengkaji pemberian gelar doktor kehormatan kepada Nurdin dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Dalam warkat bertanggal 23 Juli 2020, Fathur menugasi dirinya sendiri sebagai anggota tim promotor pemberian gelar.

Dalam surat itu, Fathur juga menunjuk sejumlah dosen sebagai anggota tim pengkaji. Dosen-dosen itu berasal dari Fakultas Ekonomi dan Fakultas Ilmu Keolahragaan—dua bidang terkait dengan gelar doktor industri dan manajemen olahraga yang akan diberikan kepada Nurdin dan Airlangga. Fathur juga memasukkan Walid, satu-satunya anggota tim dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Walid pernah menjadi Ketua Umum Koperasi Pegawai Republik Indonesia Handayani Universitas Negeri Semarang periode 2012-2015 dan aktif dalam sejumlah organisasi koperasi. Adapun Nurdin juga berkecimpung di sektor koperasi dan kini memimpin Dewan Koperasi Indonesia.

Dua dosen Universitas Negeri Semarang yang mengetahui pencalonan doktor kehormatan Nurdin Halid menyebutkan Walid yang memperkenalkan Nurdin kepada Fathur Rokhman. Walid ditengarai pernah menemani Fathur berkunjung ke kantor Airlangga dan Nurdin, sekitar pekan ketiga Oktober 2020. Foto-foto pertemuan itu diunggah di akun Instagram pribadi Fathur, @fathur_rokhman_.

Fathur tak membantah pernah berjumpa dengan Nurdin dan Airlangga di Jakarta beberapa bulan sebelum penganugerahan gelar. “Pertemuan dengan siapa pun sah-sah saja,” tutur Fathur. Menurut dia, Nurdin direkomendasikan mendapatkan gelar doktor dari sejumlah pihak. Salah satunya Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia. Sedangkan Walid tak menanggapi pertanyaan, lalu memblokir nomor WhatsApp Tempo.

Pidato Nurdin Halid saat menghadiri pemberian Doktor Honoris Causa oleh Universitas Negeri Semarang karena jasanya dalam bidang olahraga, di Semarang, Jawa Tengah, 12 Februari 2021. Youtube/UNNES

Pelaksana tugas Sekretaris Jenderal PSSI, Yunus Nusi, mengatakan beberapa bulan lalu Nurdin menemui pengurus PSSI dan mengutarakan niat mengambil gelar doktor dengan disertasi bertema industri olahraga dan koperasi. Disertasi biasanya ditulis mahasiswa yang mengambil program doktoral secara penuh, bukan yang meraih gelar doktor kehormatan. “Beliau serius mengurus dan menyelesaikannya sehingga PSSI merespons dengan memberi rekomendasi,” kata Yunus.

Lima dosen Universitas Negeri Semarang yang diwawancarai secara terpisah mengatakan pihak rektorat tak pernah menggelar uji publik terhadap kemampuan akademis Nurdin. Adapun tiga guru besar menyatakan tak ada makalah ilmiah Nurdin yang diedarkan di Majelis Profesor—kumpulan guru besar Unnes. Seorang pengajar di Program Doktor Pendidikan Olahraga Unnes, fakultas pemberi gelar untuk Nurdin, menyebutkan tak pernah ada pembahasan dan sidang akademik untuk membedah karya ilmiah yang ditulis politikus Golkar tersebut. Menurut dia, Nurdin juga tak pernah dihadirkan di hadapan para guru besar Fakultas Pendidikan Olahraga.

Penolakan terhadap pengukuhan Nurdin datang dari sejumlah dosen. Salah satunya Bambang Budi Raharjo, guru besar kesehatan masyarakat. Dia mengunggah foto Nurdin dan mempertanyakan kelayakannya diberi gelar doktor kehormatan di grup WhatsApp “Majelis Profesor Unnes” pada 10 Februari lalu. Pada hari pelantikan Nurdin, Bambang kembali mengirim tangkapan layar Facebook yang berisi kekecewaan alumnus Universitas Negeri Semarang. Fathur, yang juga berada di grup itu, langsung mengeluarkan Bambang dari grup pada Jumat, 12 Februari lalu. “Saya cuma mempertanyakan apakah orang itu layak mendapat medali. Yang pas ya gelar ‘humoris causa’,” ujar Bambang.

Nurdin mengklaim gelar doctor honoris causa yang diberikan Universitas Negeri Semarang merupakan hasil jerih payahnya membangun sepak bola Indonesia. Dia mengaku sudah menulis beberapa judul buku dan publikasi ilmiah di jurnal internasional. “Unnes tak sembarangan memberi gelar,” kata Nurdin. Menelusuri mesin pencari Google Scholar, tiga judul karya ilmiah Nurdin yang ditulis dalam bahasa Inggris tak dapat ditemukan.

Universitas Negeri Semarang juga memberikan gelar doktor kehormatan kepada Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Muhammad Luthfi Ali Yahya. Sejumlah guru besar Unnes mengatakan tak pernah ada forum ilmiah terbuka untuk menguji kemampuan akademik keduanya.

Fathur Rokhman mengklaim pemberian titel doctor honoris causa di kampusnya dilakukan lewat mekanisme yang ketat. Baik Nurdin, Airlangga, maupun Luthfi dinilai telah memberikan kontribusi kepada sektor masing-masing. “Sumbangsih mereka bagi pengetahuan sangat besar,” ucap Fathur.

Obral gelar doktor kehormatan tak hanya terjadi di Universitas Negeri Semarang. Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ditengarai melakukan praktik yang sama kepada sejumlah politikus dan pejabat. Salah satunya Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar.

Sejumlah dosen UNY menolak pemberian gelar untuk Halim. Dosen Fakultas Ilmu Sosial, Samsuri, yang aktif memprotes penganugerahan titel kepada politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu, mengatakan banyak dosen terkejut mendengar Halim akan dianugerahi gelar doctor honoris causa. Apalagi tak pernah ada sosialisasi dan sidang akademik terbuka untuk membahas kontribusi Halim bagi kampus. “Kampus terkesan mengobral gelar,” kata Samsuri.

Sekretaris Senat Akademik Universitas Negeri Yogyakarta Nasiwan membantah kabar bahwa gelar untuk Halim diberikan secara tiba-tiba. Menurut dia, pemberian gelar itu telah melewati proses pengajuan sesuai dengan aturan. Proses pengajuan gelar doktor kehormatan untuk Halim disebut memakan waktu sampai enam bulan hingga disetujui dalam rapat senat pada 24 Februari 2020.

Tiga orang yang mengetahui proses pemberian gelar kepada Halim mengatakan Rektor UNY Sutrisna Wibawa memberikan titel doctor honoris causa karena berancang-ancang berlaga dalam pemilihan kepala daerah Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Setelah menyetujui pemberian gelar, Sutrisna menemani kunjungan kerja Halim ke beberapa lokasi di Gunungkidul. Dua pekan sebelum penganugerahan gelar, Sutrisna seharian berada di samping Halim saat mengunjungi gedung baru kampus UNY di Desa Pacarejo, Kecamatan Semanu, Gunungkidul. Sutrisna juga mendampingi Halim meresmikan badan usaha milik desa di Gua Pindul, yang mendapat kucuran dana Rp 1,5 miliar dari Kementerian Desa.

Kepada Tempo, Halim mengaku hanya menjalankan profesinya sejak lulus sarjana dari UNY hingga terpilih menjadi Menteri Desa. “Saya selalu berusaha sekuat tenaga menjalankan amanah yang dibebankan,” tutur Halim melalui pesan WhatsApp pada Jumat, 12 Februari lalu. Dalam jawaban tertulisnya, Halim juga melampirkan empat dokumen pengukuhan doctor honoris causa. Salah satunya berita acara rapat senat Universitas Negeri Yogyakarta bertarikh 24 Februari 2020. Rapat itu sedikitnya dihadiri 40 dari 52 anggota senat dan secara aklamasi menyetujui pemberian gelar kepada Halim.

Pada 11 Juli 2020, Universitas Negeri Yogyakarta resmi menganugerahkan gelar doktor kehormatan bidang manajemen pemberdayaan masyarakat kepada Halim. Kakak kandung Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar itu menyampaikan orasi ilmiah bertema pemberdayaan masyarakat desa, meskipun penghargaan untuk Halim diusulkan oleh Program Pascasarjana Manajemen Pendidikan—yang terakreditasi A sejak 2017.

Halim juga membantah pemberian gelar itu terkait dengan keinginan Sutrisna menyabet rekomendasi PKB dalam pemilihan Bupati Gunungkidul. Menurut dia, rekomendasi PKB justru jatuh kepada Sunaryanta—rival Sutrisna. Adapun Sutrisna mengatakan Halim sudah memenuhi semua persyaratan dan dianggap berkontribusi bagi pengembangan masyarakat desa. Dia membantah jika pemberian gelar itu disebut terkait dengan rencananya menjadi calon Bupati Gunungkidul. “Saya muncul di pilkada baru Agustus, sedangkan usul doctor honoris causa berjalan enam bulan sebelumnya,” kata Sutrisna.

Namun Ketua PKB Kabupaten Gunungkidul Sutiyo menyebutkan Sutrisna mulai menjajaki dukungan partainya sejak Juni 2020—sekitar sebulan sebelum upacara pengukuhan Halim. Sutiyo pernah tiga kali bertemu dengan Sutrisna untuk mendengarkan visi dan misi sebagai calon bupati. “Beliau aktif menemui tim PKB,” ujarnya.

•••

BUKAN hanya gelar doktor kehormatan, titel profesor tidak tetap pun diburu banyak pejabat. Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifuddin disebut-sebut pernah melobi pejabat Fakultas Hukum Universitas Indonesia agar dikukuhkan sebagai profesor tidak tetap di Kampus Kuning itu. Namun permintaan itu ditolak oleh UI.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Edmon Makarim menolak dikaitkan dengan lobi Syarifuddin ke kampusnya. Mengutip sejumlah aturan perundang-undangan, Edmon mengungkapkan bahwa syarat menjadi guru besar tidak tetap cukup sulit. Penerima gelar memiliki kewajiban mengajar, menulis buku, dan membimbing mahasiswa tingkat doktoral.

Ditengarai mentok di UI, Syarifuddin kemudian menjadi kandidat guru besar tidak tetap di Universitas Diponegoro (Undip), Semarang. Dia mengikuti presentasi ilmiah di depan Dewan Profesor dan Senat Akademik Undip pada 12 Januari lalu. Dekan Fakultas Hukum Undip Retno Saraswati menyebutkan Syarifuddin memang diusulkan fakultasnya untuk menjadi guru besar tidak tetap. Syarifuddin dianggap memiliki dua karya yang diakui di sektor peradilan. Salah satunya pedoman pemidanaan bagi para hakim. Syarifuddin akhirnya dinobatkan sebagai profesor di Universitas Diponegoro pada Kamis, 11 Februari lalu.

Juru bicara Mahkamah Agung, Andi Samsan Nganro, membantah kabar bahwa Syarifuddin pernah mendekati pimpinan Fakultas Hukum Universitas Indonesia untuk memperoleh titel profesor. Menurut dia, gelar guru besar yang akhirnya diberikan Universitas Diponegoro merupakan pengakuan atas kemampuan Syarifuddin di bidang hukum. “Pak Syarifuddin meraih gelar profesor secara terhormat dan sesuai dengan etika perguruan tinggi,” kata Andi.

Menteri Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskanda (kanan) saat menerima gelar Honoris Causa dari Universitas Negeri Yogyakarta, di Yogyakarta, Juli 2020. Dokumentasi UNY/Official Facebook UNY

Di Yogyakarta, Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto mengaku pernah dilobi Tito Karnavian, sekitar pekan ketiga September 2017. Tito, kala itu menjabat Kepala Kepolisian Republik Indonesia, menugasi ajudannya untuk meminta Sigit memberi rekomendasi pengukuhan guru besar. Sigit bercerita, saat ia menghadiri konferensi ilmiah internasional di Kathmandu, Nepal, ajudan Tito berpangkat komisaris besar meneleponnya dan menyebutkan bahwa Tito sudah mengantongi dukungan dari sejumlah dosen di beberapa kampus untuk menjadi guru besar. Utusan Tito itu berharap Sigit juga bersedia memberi rekomendasi.

Sigit langsung menolak permintaan itu. Dia beralasan tak ingin merusak mutu pendidikan tinggi dengan memberikan gelar kepada tokoh yang tak punya hubungan dengan pengembangan pengetahuan. “Saya bilang saja sedang berada di luar negeri sehingga tak bisa memberi rekomendasi,” ujarnya.

Tak lama setelah menolak utusan Tito, Sigit mengaku ditelepon Rektor UGM Panut Mulyono. Kepada Sigit, Panut juga meminta agar Tito diberi rekomendasi. Lagi-lagi Sigit beralasan sedang mengikuti seminar internasional di Nepal sehingga belum punya waktu menimbang permintaan itu. Pada 26 Oktober 2017, sekitar satu setengah bulan setelah gagal memperoleh rekomendasi dari Sigit, Tito menjadi guru besar bidang studi strategis kontraterorisme di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta.

Panut tak menjawab pesan dan panggilan telepon Tempo hingga Sabtu, 13 Februari lalu. Adapun Tito, kini Menteri Dalam Negeri, juga tak menanggapi pertanyaan yang dikirimkan melalui anggota staf khususnya, Kastorius Sinaga, serta Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Benni Irwan. Kastorius hanya membaca pesan WhatsApp, sedangkan Benni mengaku sudah menyampaikan pesan kepada Tito, tapi belum mendapat respons.

Muhammad Syarifuddin (kanan) saat menerima pengukuhuan sebagai Guru Besar Tidak Tetap Universitas Diponegoro, di Semarang, Jawa Tengah, 11 Februari 2021. Dokumentasi HUMAS MA

Tak sekali saja Sigit mendapat lamaran dari pejabat yang ingin menjadi profesor. Pada 2018, seorang direktur utama badan usaha milik negara mengirim pesan melalui WhatsApp dan meminta Sigit memberi pidato dalam acara peluncuran buku. Beberapa waktu seusai acara, bos BUMN tersebut datang ke kantor Sigit dengan membawa buku dan dokumen pendukung. Ia melamar untuk menjadi guru besar di Fakultas Hukum UGM. Namun Sigit menolak.

Yang terbaru, Sigit dikontak seorang hakim agung yang ingin menjadi profesor pada akhir Januari lalu. Dia meminta Sigit memberi rekomendasi agar dapat ditahbiskan menjadi guru besar di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Meyakinkan Sigit, hakim agung itu mengklaim telah mengantongi surat dukungan dari beberapa guru besar di kampus lain.

Kepada hakim agung itu, Sigit membalas dengan sebuah pesan yang sudah tersimpan di telepon selulernya. Pesan itu selalu dikirim setiap kali ada pejabat yang berburu gelar dan rekomendasi dari fakultasnya. Dalam pesan itu, Sigit mula-mula menyebutkan bahwa dia tersanjung punya kesempatan memberikan rekomendasi kepada petinggi pemerintahan, polisi, dan pejabat BUMN. Menutup surat balasannya kepada para pejabat, Sigit menulis, “Rekomendasi dari saya bukan hal yang relevan dan lebih besar mudaratnya ketimbang manfaatnya.”

RAYMUNDUS RIKANG, HUSSEIN ABRI DONGORAN (JAKARTA), SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), JAMAL A. NASHR (SEMARANG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Raymundus Rikang

Raymundus Rikang

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014 dan kini sebagai redaktur di Desk Nasional majalah Tempo. Bagian dari tim penulis artikel “Hanya Api Semata Api” yang meraih penghargaan Adinegoro 2020. Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta bidang kajian media dan jurnalisme. Mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) "Edward R. Murrow Program for Journalists" dari US Department of State pada 2018 di Amerika Serikat untuk belajar soal demokrasi dan kebebasan informasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus