Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Struktur Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional tak kunjung terbentuk.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia diduga menahan peraturan presiden soal struktur BRIN.
Perseteruan juga terjadi antara Menteri Riset dan Teknologi dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara.
HAMPIR 16 bulan setelah dilantik pada 23 Oktober 2019, Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro tak kunjung rampung menyelesaikan struktur organisasi di Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Seperti tertulis dalam situsnya, hanya ada dua kedeputian di lembaga tersebut, yaitu Deputi Penguatan Inovasi serta Deputi Penguatan Riset dan Pengembangan. Dua posisi itu dipegang oleh pelaksana tugas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepada Tempo pada Jumat, 12 Februari lalu, Bambang bercerita, pangkal masalah terletak pada belum terbitnya peraturan presiden tentang pembentukan BRIN. “Karena dasar hukum dan struktur BRIN belum terbentuk, selama ini saya hanya dibantu oleh pelaksana tugas,” kata mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembentukan BRIN mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Undang-undang yang disahkan pada 13 Agustus 2019 itu menjadi dasar Presiden Joko Widodo merumuskan wajah baru Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Pada formasi Kabinet Indonesia Maju 2019-2024, urusan pendidikan tinggi dikembalikan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan Kementerian Riset menggawangi BRIN.
BRIN akan mengintegrasikan semua kegiatan riset dan pengembangan yang tersebar di berbagai kementerian dan lembaga pemerintah. Institusi itu juga akan memegang kendali atas sejumlah lembaga riset, seperti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, serta Badan Tenaga Nuklir Nasional. Dengan penambahan tugas itu, anggaran Kementerian Riset yang setiap tahun hanya Rp 2,7 triliun bakal meroket menjadi sekitar Rp 30 triliun per tahun. Jumlah itu merupakan akumulasi dari anggaran riset di semua kementerian dan lembaga.
Menurut Bambang, Presiden Jokowi sebenarnya telah menandatangani peraturan presiden soal pembentukan BRIN pada Maret 2020. Namun draf itu masih tertahan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan belum dicatat dalam lembaran negara. Jika tidak tercatat dalam lembaran negara—otoritas ini dipegang oleh Kementerian Hukum—peraturan presiden itu tidak bisa diterapkan. Saat bertemu dengan Menteri Hukum Yasonna Hamonangan Laoly pada pekan pertama Februari 2020, Bambang pun tak mendapat kepastian soal nasib kementeriannya. “Intinya beliau mengatakan kita harus mencari solusi terbaik,” ujar Bambang.
Menteri Yasonna enggan berkomentar soal peraturan presiden yang tak kunjung diundangkan. Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Kementerian Hukum dan HAM Tubagus Erif Faturahman membantah jika lembaganya disebut menggantung nasib peraturan presiden soal pembentukan BRIN. Efif menjelaskan, Sekretariat Negara telah menyampaikan surat permohonan pengundangan peraturan presiden tentang pembentukan BRIN. Namun, setelah dilakukan pemeriksaan, perlu perbaikan terhadap peraturan tersebut. Peraturan presiden itu pun dikembalikan ke Sekretariat Negara untuk diperbaiki.
Setelah itu, Setneg kembali mengirimkan peraturan presiden tersebut. “Setelah dicek ulang, ternyata tidak ada perubahan atau perbaikan seperti yang disarankan,” kata Erif. Menurut Erif, setelah peraturan presiden itu dikirim kembali, Sekretariat Negara belum menyerahkan draf baru ke Kementerian Hukum. Erif tak mengetahui persis substansi yang harus diperbaiki dalam peraturan tersebut.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno belum bisa dimintai tanggapan. Hingga Sabtu, 13 Februari lalu, dia tak merespons panggilan telepon dan pesan yang dikirim Tempo. Deputi Bidang Hukum dan Perundang-undangan Kementerian Sekretaris Negara Lidya Silvanna Djaman juga tak menanggapi permintaan wawancara Tempo.
•••
DUA pekan setelah dilantik sebagai Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, Bambang Brodjonegoro menyambangi rumah Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat. Ia datang bersama dua koleganya yang berasal dari partai banteng, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo.
Menurut Bambang, pertemuan itu merupakan kunjungan kehormatan. “Ibu Megawati itu memberi perhatian terhadap riset, terutama botani,” ucapnya. Megawati memang menjadi Ketua Yayasan Kebun Raya Indonesia. Selain itu, kata Bambang, PDI Perjuangan memberi perhatian saat pembahasan Rancangan Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Dewan Perwakilan Rakyat.
Sumber yang mengetahui isi pertemuan itu bercerita, Megawati membagikan cerita soal ayahnya yang juga presiden pertama, Sukarno, membentuk Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pertemuan itu juga membahas kemungkinan adanya dewan penasihat atau dewan pengarah di BRIN yang akan memberikan masukan dan pertimbangan kepada Kepala BRIN. PDI Perjuangan disebut-sebut ingin menempatkan Megawati di posisi dewan pengarah tersebut.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Tjahjo Kumolo saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Oktober 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis
Namun Bambang membantah ada kesepakatan untuk menjadikan Megawati sebagai ketua dewan pengarah. Apalagi saat itu struktur organisasi Kementerian Riset dan Teknologi/BRIN belum terbentuk. “Tidak ada deal apa pun. Saya saat itu masih menyusun organisasi,” tutur Bambang.
Pembahasan soal BRIN pun berlanjut antara Menteri Bambang Brodjonegoro dan Menteri Tjahjo Kumolo. Belakangan, hubungan keduanya dikabarkan memanas karena urusan ini. Bambang menyatakan saat itu Tjahjo ingin BRIN memiliki dewan penasihat. Namun Bambang tak sepakat karena kementeriannya tak mungkin membentuk dewan penasihat. Jika dewan itu diharuskan ada, kata Bambang, BRIN harus dipisahkan dari Kementerian Riset. “Saya diberi mandat sebagai Menristek/Kepala BRIN. Kalau BRIN mau dilepas, harus ada reshuffle kabinet,” ujar Bambang.
Karena persoalan itu, Presiden Jokowi sampai memanggil Menteri Bambang Brodjonegoro dan Menteri Tjahjo Kumolo pada Desember 2019. Menurut Bambang, Presiden memutuskan BRIN tetap menyatu dengan Kementerian Riset dan Teknologi. Namun, kata Bambang, Jokowi juga meminta dia menyesuaikan jumlah kedeputian sesuai dengan rekomendasi Kementerian Aparatur Negara. Jumlah kedeputian pun disepakati berkurang dari sembilan menjadi tujuh.
Dimintai tanggapan soal perdebatan dengan Bambang Brodjonegoro, Menteri Tjahjo Kumolo memilih irit bicara. Begitu pula dengan pertemuan di rumah Megawati Soekarnoputri. Lewat pesan WhatsApp, ia menjawab sejumlah pertanyaan dengan dua kalimat. “Silakan dengan Menristek saja, terima kasih,” tulis Tjahjo. Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pun enggan menanggapi soal pertemuan di Teuku Umar. Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto tak membalas pertanyaan yang dilayangkan Tempo. Begitu pula Wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Arief Wibowo tak merespons hingga Sabtu, 13 Februari lalu.
Belakangan, setelah draf peraturan presiden dilayangkan Menteri Bambang Brodjonegoro ke Sekretariat Negara, situasi kembali memanas. Menurut seorang narasumber yang mengetahui proses penyusunan draf tersebut, langkah Bambang yang tak memasukkan dewan pengarah dianggap mencederai pertemuan di rumah Megawati. Mulailah berkembang gagasan memisahkan BRIN dari Kementerian Riset dan Teknologi. Hingga kini, nasib BRIN pun tak kunjung terang.
Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Laksana Tri Handoko mengaku telah memberikan masukan kepada Kementerian Ristek terkait dengan mekanisme transisi lembaga penelitian di bawah BRIN. Usul itu ia sampaikan agar rencana penyatuan lembaga riset tak merugikan para aparatur sipil negara yang selama ini tersebar di sejumlah kementerian dan lembaga. Ia tak menampik anggapan bahwa kelembagaan BRIN masih memicu kontroversi. Sebagian beranggapan BRIN menyatukan semua lembaga riset, ada pula yang beranggapan sebaliknya. “Sebagai ASN, kami ikut keputusan pemerintah,” tuturnya.
Menurut Handoko, persoalan BRIN perlu segera dibereskan. Apalagi keberadaan lembaga riset sangat strategis di tengah upaya penanggulangan pandemi Covid-19. Lembaga itu bisa mengakselerasi berbagai aktivitas penelitian untuk mencegah, mengobati, dan mengatasi pandemi.
Mantan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara, Asman Abnur, menjelaskan, konsep kelembagaan BRIN dirancang ketika ia masih menjabat pada 2016-2018. Gagasan penyatuan lembaga riset bertujuan agar kegiatan penelitian yang selama ini tersebar di sejumlah kementerian dan lembaga bisa berjalan efektif dan efisien. Selama ini, kata Asman, banyak hasil penelitian tidak sesuai dengan kebutuhan, baik untuk keperluan industri maupun pendidikan. “Gagasan BRIN itu sebenarnya sudah jelas, memberi komando dan mewadahi seluruh kegiatan riset,” ucapnya.
Asman mengatakan penyatuan lembaga riset memang berpotensi memantik resistansi dari sejumlah pejabat di berbagai lembaga. Ada banyak jabatan eselon I dan II yang bakal dirombak dengan peleburan tersebut. Sangat mungkin pula ada pejabat yang kehilangan posisinya. Anggota DPR dari Partai Amanat Nasional itu meminta pemerintah menjamin perubahan organisasi tersebut tidak menghilangkan jenjang karier birokrat.
RIKY FERDIANTO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo