Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMBERIAN gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa) dianggap terlalu mudah oleh beberapa akademikus. Sejumlah penerima juga dinilai tak layak mendapat gelar itu. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang dulu turut menyetujui pemberian gelar itu, terlihat belum berupaya menyelesaikan persoalan ini. Melalui pesan tertulis pada Kamis dan Jumat, 11 dan 12 Februari lalu, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nizam menjawab sejumlah pertanyaan Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalangan dosen dan guru besar menilai pemberian gelar doctor honoris causa terlalu diobral oleh kampusnya. Bagaimana tanggapan Anda?
Pada dasarnya, doktor kehormatan adalah penghargaan dari masyarakat akademik atas prestasi seseorang non-akademikus yang luar biasa bagi kemanusiaan dan ilmu pengetahuan atau teknologi. Berdasarkan pemantauan kami di sedikit kampus, atau kurang dari 0,2 persen, terlihat ada peningkatan pemberian doctor honoris causa. Kalau berpikir positif, mungkin peningkatan itu karena makin banyak individu yang memiliki prestasi luar biasa dan layak mendapat doktor kehormatan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak bisa mencegah pemberian gelar yang tidak memenuhi syarat?
Dulu gelar itu memang harus disetujui pemerintah. Tapi, setelah keluar Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 65 Tahun 2016, pemberian gelar doktor kehormatan diserahkan kepada tiap perguruan tinggi. Ini sejalan dengan semangat otonomi perguruan tinggi. Jadi pemberian gelar itu merupakan hak dan tanggung jawab dari universitas yang memiliki akreditasi unggul.
Bagaimana peran Kementerian Pendidikan untuk menjaga marwah kampus dalam pemberian gelar doktor kehormatan?
Biasanya kami melakukan pendalaman kalau ada aduan dari masyarakat yang disampaikan ke Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Kami lalu melakukan klarifikasi dan pendalaman untuk melihat ada atau tidak norma yang dilanggar. Bila ditemukan penyalahgunaan kewenangan tersebut, Menteri Pendidikan dapat menganulir atau mencabut gelar doctor honoris causa.
Sudah berapa gelar doctor honoris causa yang dicabut?
Sejauh yang saya tahu belum pernah ada. Dibandingkan dengan laporan tentang berbagai persoalan kampus yang masuk ke kami, hampir tidak ada laporan tentang doktor kehormatan. Biasanya perguruan tinggi baru melaporkan kalau ada masalah.
Universitas Negeri Semarang memberikan gelar doktor kehormatan kepada Nurdin Halid pada Kamis, 11 Februari lalu. Terjadi penolakan cukup besar di kampus tersebut. Bagaimana sikap Anda?
Kami sudah mengirimkan surat ke Rektor Unnes untuk mendapatkan klarifikasi tentang pemberian gelar tersebut. Kami masih menunggu jawabannya.
Sebelumnya, pada 2020, Unnes memberikan gelar yang sama kepada Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Saat itu juga muncul keraguan terhadap kelayakan Airlangga.
Menurut informasi yang kami peroleh, pemberian gelar doctor HC untuk Pak Airlangga merupakan pengakuan beliau dalam memimpin organisasi olahraga wushu. Kita tahu cabang olahraga ini termasuk baru, tapi prestasinya di tingkat dunia cukup membanggakan.
Ada tudingan bahwa terjadi barter dalam pemberian gelar itu. Penerima gelar memberikan duit atau perlindungan terhadap petinggi kampus.
Agenda atau kepentingan di balik pemberian gelar doktor itu sifatnya masih spekulatif. Selama pemberian gelar itu sesuai dengan prestasi atau pencapaian obyektif, hemat saya tidak ada masalah. Termasuk jika penerimanya masih menjadi pejabat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo