Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dulu Banjir, Kini Banjir

Usaha-usaha untuk pengendalian banjir di kota-kota seperti Tulung Agung, Bandung, Padang dan Jakarta. beberapa daerah masih belum siap menanggulangi banjir. (kt)

3 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOTA-KOTA di Indonesia ternyata belum siap menghadapi banjir. Terutama di bulan-bulan penghujan seperti sekarang. Sehingga kebanyakan warga kota hanya pasrah, sambil bersiap-siap mengangkat barang-barang ke bubungan rumah atau tempat yang lebih tinggi lainnya. Malahan akhir-akhir ini, banjir tak hanya menghantui kota-kota yang telah bertahun-tahun menjadi langganannya -- seperti Jakarta, Surabaya dan kota-kota di pantai utara Jawa Tengah. Tapi belakangan ini, air bah mulai menelan beberapa kota yang sebelumnya hampir tak mengenal istilah itu -- seperti Padang, Bandung, Palembang dan bahkan Tanjungkarang yang hampir seluruh bagian kotanya berbukit-bukit. Untuk mencegah serbuan air rupanya pihak Pemda Kodya tak mampu berbuat banyak -- setidak-tidaknya dalam waktu dekat ini. Kota Tulungagung di Jawa Timur yang selama ini tersohor sebagai kota banjir, misalnya, masih harus mengandalkan terowongan Neyama II yang baru akan selesai 1985. Sementara terowongan Neyama I memang sudah ada sejak zaman Jepang dan sekarang sudah tak mampu menampung air lagi. Kedua terowongan itu dibuat untuk menampung air bila dari Rawa-rawa Gesikan dan Bening meluap. Selama ini dengan hanya mengandalkan Neyama I, sedikit saja hujan turun, air sudah meluap dan dengan cepat mencemaskan 800.000 warga Kota Tulungagung. Itu jika yang datang adalah banjir rutin, yang terjadi setiap tahun di bulanbulan musim penghujan. Tapi akibatnya akan lebih parah bila yang berkunjung banjir windon (8 tahun sekali). Ini misalnya terjadi pada 1978 lalu yang sempat menelantarkan hampir 5000 jiwa warga kota, menyapu hampir 1000 tempat tinggal dan 173 ha sawah di pinggir kota. Bila Neyama II selesai, memang diharapkan kota ini akan bebas dari landaan air seperti tertulis pada sebilah papan di dekat proyek itu: "Tahun 1985, Tulungagung bebas banjir." Tapi karena saat yang ditunggu itu masih lama, maka menghadapi limpahan hujan pada hari-hari sekarang ini, warga kota sudah pasrah. "Tak ada persiapan apa-apa untuk menghadapi banjir, pokoknya kami pasrah," kata seorang penduduk. Tahun lalu kota ini juga dilanda banjir rutin. Akibatnya: selama empat hari kota menjadi danau. Bandung Di Bandung, keadaan hampir serupa. Walikota Bandung, H. Husen Wangsaatmaja, memang menyebut beberapa proyek sebagai usaha melawan air. Seperti proyek Dewi Sartika (perbaikan kampung), pengerukan sungai-sungai dan meluruskan alur sungai-sungai itu. Tapi Husen sehera mengakui, proyek proyek itu boleh dikatakan terlambat karena baru dimulai sekarang. Itupun belum menyelesaikan masalah. Sebab jika aliran sungai-sungai di wilayah Kabupaten Bandung yang ada di bagian selatan kota tak dibenahi, semua usaha akan sia-sia. "Sulitnya lagi," tambah Walikota Husen, "banyak bendungan sawah di Kabupaten Bandung justru terletak di wilayah Kodya Bandung." Dan sebegitu jauh, Gubernur Jawa Barat, menurut Husen, baru "menyanggupi untuk menyelesaikan masalah itu." Karena itu tak heran jika warga Nyengseret, di tepi Kali Citepus yang selalu jadi sasaran banjir itu, sejak beberapa minggu belakangan ini mulai bersiap diri. Barang-barang atau alat rumah tangga lainnya yang biasa tergeletak di lantai, sudah terkemas rapi di atas balai-balai, bahkan loteng rumah. Pakaian maupun bahan makanan telah terbungkus, tinggal ditenteng jika sewaktu-waktu bah mendadak datang. Kawasan Nyengseret di belahan selatan Kota Bandung memang bagian paling lunak bagi banjir. Sebentar saja dicurahi hujan agak deras, Kali Citepus begitu cepat memuntahkan air ke atas, menggenangi bahkan menyapu rumah-rumah semi permanen yang ada di kiri kanannya. Berbagai usaha penduduk setempat memang terlihat. Misalnya, membentengi rumah mereka dengan karung-karung berisi pasir. "Tapi semua percuma, kalau Citepus sendiri tidak dikeruk," kata seorang warga di sana. Padang Banjir yang sempat menenggelamkan 2/3 Kota Padang akhir November 1980, ternyata bersumber dari Batang Arau. Sekitar 40 cm saja air sungai itu naik, ancaman sudah ada di ambang pintu rumah-rumah penduduk di sekitarnya. Lebih celaka lagi, karena arus sungai itu cukup deras. Sehingga dalam waktu singkat mampu menyapu rumah-rumah yang kebanyakan dari papan di sana. Walikota Padang, Drs. Hasan Basri Durin, mengungkapkan berbagai penyebab air cukup sering melayapi kotanya. Tapi yang terpenting rupanya pendangkalan Batang Arau dan Batang Kurani yang meliuk-liuk di tengah kota. Lumpur sudah cukup tinggi menimbun dasar kedua sungai itu. Sehingga menurut penduduk Kampung Pasar Gadang, di tepi Batang Arau, setiap kali selesai banjir, pinggiran sungai itu semakin lebar. Dan ini berarti ancamannya pun bertambah luas. Pihak Pemda Kodya Padang rupanya belum mempunyai rencana untuk mengatasi ancaman air dalam waktu dekat ini. Pengerukan Batang Arau atau Kuranji? Juga belum. Di zaman Belanda memang pernah dibuat banjir kanal untuk membuang luapan air Batang Arau. Tapi dari dulu sampai sekarang kemampuannya hanya 60%. "Sebab jika lebih dari itu pun akan bobol," kata seorang pejabat PU Kodya Padang. Jadi, warga kota itupun harus tetap tabah. Paling-paling mereka yang tinggal di dekat aliran kedua sungai tadi berharap, agar dalam waktu dekat ini mereka dipindahkan ke perumahan Perumnas. "Kami memang mau pindah, tapi sampai sekarang tak ada tanggapan dari pihak Pemda maupun Perumnas," tutur seorang Ketua RT di Kampung Pasar Gadang. Atau penduduk kota harus terus mengurangi tidur untuk berjagajaga jika awan di atas kota mulai mengental. Di Jakarta? Sejak awal abad ke-20 Jakarta sudah sering terserang banjir. Untuk itu pada 1919/1920 dari Manggarai hingga Muara Angke dibuat banjir kanal. Maksudnya agar aliran Sungai Ciliwung tidak seluruhnya tumpah ke dalam kota yang waktu itu penduduknya masih sekitar « juta jiwa. Dan sampai sekarang, dengan penduduk 6,5 juta, Jakarta tetap jadi langganan banjir. Terutama kawasan Kampung Melayu, Kebon Nanas (keduanya Jakarta Timur), Mampang (Jakarta Selatan), Plumpang (Jakarta Utara) dan Grogol (Jakarta Barat). Sedang di kawasan Jakarta Pusat umumnya berbentuk genangan air -- karena saluran yang mampet maupun daya serap tanah yang lambat akibat banyaknya bangunan. Pembangunan gedung-gedung yang pesat di Jakarta hampir tak terimbangi oleh pembuatan saluran. Yang ada pun tak seluruhnya berfungsi, karena lebih sering menelan sampah. Sehingga tiga buah waduk, yaitu di Setiabudi, Grogol dan Pluit, harus pula dilengkapi alat untuk mengangkat sampah yang selalu menumpuk. Padahal waduk dimaksudkan untuk menampung air-air yang seharusnya mengucur lancar dari berbagai saluran (drainase). Masalah yang dihadapi Jakarta karena aliran Sungai Ciliwung tak kalah berat pula. Selain dasarnya selalu mendangkal, juga rumah-rumah yang ada di sekitarnya hampir rata, bahkan pada bagian tertentu lebih rendah dari aliran sungai itu sendiri. Rumah-rumah maupun bangunan-bangunan itu sedikit banyak mengganggu kelancaran air. Bagaimana membebaskan Jakarta dari air, genangan maupun banjir? Pimpinan Proyek Pengendalian Banjir DKI, Ir. Martsanto D.S. mengungkapkan: Harus dibangun beberapa waduk besar sekurang-kurangnya enam buah. Misalnya di Pluit yang akan menelan areal 80 ha. Di samping itu di wilayah Jakarta Barat akan dibuat Drainase Cengkareng, dan di Jakarta Timur Drainase Cakung -- masing-masing untuk menyerap banjir maupun genangan air di kedua kawasan itu. Warga Jakarta harus sabar, sebab kedua drainase besar itu baru akan selesai 1984 kelak. Dari pihak lain, dalam rencana induk pengendalian banjir yang disebabkan serbuan air dari luar Jakarta, disebutkan rencana membuat banjir kanal timur. Maksudnya adalah untuk mengalirkan air banjir dari bagian timur Jakarta di musim pnghujan dan menjadi sumber air untuk penggelontoran jaringan drainase di musim kemarau. "Sayang, rencana ini paling cepat dapat dilaksanakan lima tahun lagi," tambah Martsanto. Bagaimana sekarang? Rupanya masih akan terlihat pemandangan seperti di musim hujan tahun-tahun lalu: begitu ada tanda banjir kiriman akan menyerbu, penduduk disiagakan, diungsikan, ditampung seperti pengungsi Vietnam dan seterusnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus