KOTA-KOTA di Indonesia ternyata belum siap menghadapi banjir.
Terutama di bulan-bulan penghujan seperti sekarang. Sehingga
kebanyakan warga kota hanya pasrah, sambil bersiap-siap
mengangkat barang-barang ke bubungan rumah atau tempat yang
lebih tinggi lainnya.
Malahan akhir-akhir ini, banjir tak hanya menghantui kota-kota
yang telah bertahun-tahun menjadi langganannya -- seperti
Jakarta, Surabaya dan kota-kota di pantai utara Jawa Tengah.
Tapi belakangan ini, air bah mulai menelan beberapa kota yang
sebelumnya hampir tak mengenal istilah itu -- seperti Padang,
Bandung, Palembang dan bahkan Tanjungkarang yang hampir seluruh
bagian kotanya berbukit-bukit.
Untuk mencegah serbuan air rupanya pihak Pemda Kodya tak mampu
berbuat banyak -- setidak-tidaknya dalam waktu dekat ini. Kota
Tulungagung di Jawa Timur yang selama ini tersohor sebagai kota
banjir, misalnya, masih harus mengandalkan terowongan Neyama II
yang baru akan selesai 1985. Sementara terowongan Neyama I
memang sudah ada sejak zaman Jepang dan sekarang sudah tak mampu
menampung air lagi.
Kedua terowongan itu dibuat untuk menampung air bila dari
Rawa-rawa Gesikan dan Bening meluap. Selama ini dengan hanya
mengandalkan Neyama I, sedikit saja hujan turun, air sudah
meluap dan dengan cepat mencemaskan 800.000 warga Kota
Tulungagung.
Itu jika yang datang adalah banjir rutin, yang terjadi setiap
tahun di bulanbulan musim penghujan. Tapi akibatnya akan lebih
parah bila yang berkunjung banjir windon (8 tahun sekali). Ini
misalnya terjadi pada 1978 lalu yang sempat menelantarkan hampir
5000 jiwa warga kota, menyapu hampir 1000 tempat tinggal dan 173
ha sawah di pinggir kota.
Bila Neyama II selesai, memang diharapkan kota ini akan bebas
dari landaan air seperti tertulis pada sebilah papan di dekat
proyek itu: "Tahun 1985, Tulungagung bebas banjir." Tapi karena
saat yang ditunggu itu masih lama, maka menghadapi limpahan
hujan pada hari-hari sekarang ini, warga kota sudah pasrah. "Tak
ada persiapan apa-apa untuk menghadapi banjir, pokoknya kami
pasrah," kata seorang penduduk. Tahun lalu kota ini juga dilanda
banjir rutin. Akibatnya: selama empat hari kota menjadi danau.
Bandung
Di Bandung, keadaan hampir serupa. Walikota Bandung, H. Husen
Wangsaatmaja, memang menyebut beberapa proyek sebagai usaha
melawan air. Seperti proyek Dewi Sartika (perbaikan kampung),
pengerukan sungai-sungai dan meluruskan alur sungai-sungai itu.
Tapi Husen sehera mengakui, proyek proyek itu boleh dikatakan
terlambat karena baru dimulai sekarang.
Itupun belum menyelesaikan masalah. Sebab jika aliran
sungai-sungai di wilayah Kabupaten Bandung yang ada di bagian
selatan kota tak dibenahi, semua usaha akan sia-sia. "Sulitnya
lagi," tambah Walikota Husen, "banyak bendungan sawah di
Kabupaten Bandung justru terletak di wilayah Kodya Bandung." Dan
sebegitu jauh, Gubernur Jawa Barat, menurut Husen, baru
"menyanggupi untuk menyelesaikan masalah itu."
Karena itu tak heran jika warga Nyengseret, di tepi Kali Citepus
yang selalu jadi sasaran banjir itu, sejak beberapa minggu
belakangan ini mulai bersiap diri. Barang-barang atau alat rumah
tangga lainnya yang biasa tergeletak di lantai, sudah terkemas
rapi di atas balai-balai, bahkan loteng rumah. Pakaian maupun
bahan makanan telah terbungkus, tinggal ditenteng jika
sewaktu-waktu bah mendadak datang.
Kawasan Nyengseret di belahan selatan Kota Bandung memang bagian
paling lunak bagi banjir. Sebentar saja dicurahi hujan agak
deras, Kali Citepus begitu cepat memuntahkan air ke atas,
menggenangi bahkan menyapu rumah-rumah semi permanen yang ada di
kiri kanannya. Berbagai usaha penduduk setempat memang terlihat.
Misalnya, membentengi rumah mereka dengan karung-karung berisi
pasir. "Tapi semua percuma, kalau Citepus sendiri tidak
dikeruk," kata seorang warga di sana.
Padang
Banjir yang sempat menenggelamkan 2/3 Kota Padang akhir November
1980, ternyata bersumber dari Batang Arau. Sekitar 40 cm saja
air sungai itu naik, ancaman sudah ada di ambang pintu
rumah-rumah penduduk di sekitarnya. Lebih celaka lagi, karena
arus sungai itu cukup deras. Sehingga dalam waktu singkat mampu
menyapu rumah-rumah yang kebanyakan dari papan di sana.
Walikota Padang, Drs. Hasan Basri Durin, mengungkapkan berbagai
penyebab air cukup sering melayapi kotanya. Tapi yang terpenting
rupanya pendangkalan Batang Arau dan Batang Kurani yang
meliuk-liuk di tengah kota. Lumpur sudah cukup tinggi menimbun
dasar kedua sungai itu. Sehingga menurut penduduk Kampung Pasar
Gadang, di tepi Batang Arau, setiap kali selesai banjir,
pinggiran sungai itu semakin lebar. Dan ini berarti ancamannya
pun bertambah luas.
Pihak Pemda Kodya Padang rupanya belum mempunyai rencana untuk
mengatasi ancaman air dalam waktu dekat ini. Pengerukan Batang
Arau atau Kuranji? Juga belum. Di zaman Belanda memang pernah
dibuat banjir kanal untuk membuang luapan air Batang Arau. Tapi
dari dulu sampai sekarang kemampuannya hanya 60%. "Sebab jika
lebih dari itu pun akan bobol," kata seorang pejabat PU Kodya
Padang.
Jadi, warga kota itupun harus tetap tabah. Paling-paling mereka
yang tinggal di dekat aliran kedua sungai tadi berharap, agar
dalam waktu dekat ini mereka dipindahkan ke perumahan Perumnas.
"Kami memang mau pindah, tapi sampai sekarang tak ada tanggapan
dari pihak Pemda maupun Perumnas," tutur seorang Ketua RT di
Kampung Pasar Gadang. Atau penduduk kota harus terus mengurangi
tidur untuk berjagajaga jika awan di atas kota mulai mengental.
Di Jakarta?
Sejak awal abad ke-20 Jakarta sudah sering terserang banjir.
Untuk itu pada 1919/1920 dari Manggarai hingga Muara Angke
dibuat banjir kanal. Maksudnya agar aliran Sungai Ciliwung tidak
seluruhnya tumpah ke dalam kota yang waktu itu penduduknya
masih sekitar « juta jiwa.
Dan sampai sekarang, dengan penduduk 6,5 juta, Jakarta tetap
jadi langganan banjir. Terutama kawasan Kampung Melayu, Kebon
Nanas (keduanya Jakarta Timur), Mampang (Jakarta Selatan),
Plumpang (Jakarta Utara) dan Grogol (Jakarta Barat). Sedang di
kawasan Jakarta Pusat umumnya berbentuk genangan air -- karena
saluran yang mampet maupun daya serap tanah yang lambat akibat
banyaknya bangunan.
Pembangunan gedung-gedung yang pesat di Jakarta hampir tak
terimbangi oleh pembuatan saluran. Yang ada pun tak seluruhnya
berfungsi, karena lebih sering menelan sampah. Sehingga tiga
buah waduk, yaitu di Setiabudi, Grogol dan Pluit, harus pula
dilengkapi alat untuk mengangkat sampah yang selalu menumpuk.
Padahal waduk dimaksudkan untuk menampung air-air yang
seharusnya mengucur lancar dari berbagai saluran (drainase).
Masalah yang dihadapi Jakarta karena aliran Sungai Ciliwung tak
kalah berat pula. Selain dasarnya selalu mendangkal, juga
rumah-rumah yang ada di sekitarnya hampir rata, bahkan pada
bagian tertentu lebih rendah dari aliran sungai itu sendiri.
Rumah-rumah maupun bangunan-bangunan itu sedikit banyak
mengganggu kelancaran air.
Bagaimana membebaskan Jakarta dari air, genangan maupun banjir?
Pimpinan Proyek Pengendalian Banjir DKI, Ir. Martsanto D.S.
mengungkapkan: Harus dibangun beberapa waduk besar
sekurang-kurangnya enam buah. Misalnya di Pluit yang akan
menelan areal 80 ha. Di samping itu di wilayah Jakarta Barat
akan dibuat Drainase Cengkareng, dan di Jakarta Timur Drainase
Cakung -- masing-masing untuk menyerap banjir maupun genangan
air di kedua kawasan itu. Warga Jakarta harus sabar, sebab kedua
drainase besar itu baru akan selesai 1984 kelak.
Dari pihak lain, dalam rencana induk pengendalian banjir yang
disebabkan serbuan air dari luar Jakarta, disebutkan rencana
membuat banjir kanal timur. Maksudnya adalah untuk mengalirkan
air banjir dari bagian timur Jakarta di musim pnghujan dan
menjadi sumber air untuk penggelontoran jaringan drainase di
musim kemarau. "Sayang, rencana ini paling cepat dapat
dilaksanakan lima tahun lagi," tambah Martsanto.
Bagaimana sekarang? Rupanya masih akan terlihat pemandangan
seperti di musim hujan tahun-tahun lalu: begitu ada tanda banjir
kiriman akan menyerbu, penduduk disiagakan, diungsikan,
ditampung seperti pengungsi Vietnam dan seterusnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini