TERAPUNG-APUNG di Teluk Jakarta, sekitar 3 km dari Pantai Ancol,
bekas kapal haji Cut Nyak Dien menampung pesta sampanye. Tepat
pukul 00.00 lampu padam sekejap. Peluit panjang dari cerobong
ditimpali bunyi terompet-terompet panjang yang terbuat dari
kartun. Topeng-topeng dibuka dan gelas-gelas sampanye pun
diangkat tinggi-tinggi: Puncak acara malam Tahun Baru 1981, di
geladak lantai ketiga Cut Nyak Dien, telah dilalui secara
meriah.
Lepas dari acara tersebut, sekitar 500 orang yang melepas Tahun
1980 dengan acara New Year's Eve On Board Tbe Ship dihadang
berbagai acara. Ada yang memilih duduk di teras, menikmati
acara santap tengah nalam, dalam acara Supper Time. Cukup
banyak pula yang menonton Peter O'Toole dan Barbara Harsey main
film Touch Danger.
Sebagian lagi dengan menentang kantuk, asyik menyaksikan
pertunjukan erotik yang disebut saja sebagai Modern Dance Show.
Tak kurang pula jumlahnya yang ikut berjoget-goyang disko. Nah,
yang tak biasa bergadang, rupanya lebih suka menunggu pagi di
kabin-kabin yang telah sedikit dipulas menyerupai kamar pada
kapal pesiar.
Acara pagi juga telah tersedia. Nasi goreng telur dan roti
dihidangkan setelah orang-orang yang mengantuk tersebut digigit
sinar matahari pertama 1981. Tentu saja tak ketinggalan musik
folksong menggiring pengunjung meninggalkan Cut Nyak Dien,
sekitar pukul 08.00, pada akhir pesta.
Itulah salah sebuah pesta Tahun baru di Jakarta, walaupun dengan
acara yang biasa-biasa saja, cukup memikat juga. Untuk
menghadirinya, dap peserta yang dipungut bayaran Rp 25 ribu,
harus ditambang dari Pantai Marina Ancol ke tengah laut dengan
perahu motor.
Oleh keunikannya itulah, acara yang diselenggarakan Marina Jaya
Ancol lebih dapat mengundang pengunjung, dibanding dengan acara
di berbagai hotel di Jakarta yang tak punya kesempatan bersaing.
Dengan tarif tak boleh lebih mahal dari Rp 25 ribu, seperti
ditentukan Gubernur DKI, manajemen hotel memang tak mungkin
berlomba-lomba menyelenggarakan acara mahal: kontrak-kontrak
mereka dengan pengisi acara dari luar negeri terpaksa
dibatalkan.
Ribuan Dollar
Oriental Disco di Hotel Hilton, misalnya, malam itu -- walaupun
semarak -- tak lebih dari acara biasa saja. Hilton sebelumnya
menjanjikan acara khusus dengan mengundang rombongan penyanyi
Brotherhood of Man dari Inggris dan penari Satin Bells dari Las
Vegas.
Acara yang sedianya akan diselenggarakan di Libra Ballroom,
dengan karcis Rp 70 ribu/orang (disediakan 40 meja @ 10 kursi),
terpaksa dibatalkan.
Rugi? Sudah pasti, "sampai ribuan dollar," kata Titi Samhani,
pejabat hotel tersebut. Ganti kerugian kepada artis asing yang
sudah dikontrak sejak enam bulan lalu, tentu saja, tidak kecil.
Belum lagi untuk seala macam keperluan publikasi. Sedangkan
untuk menggantinya dengan acara lain, kata Titi," nggak ada
waktu lagi."
Acara di Hotel Indonesia Sheraton, yaitu di ruang Nirwana dan
Ramayana, memang berlangsung seperti direncanakan. Tamunya,
sekitr 750-an, masing masing ditarik Rp 25 ribu. Mereka
disuguhi penampilan dan suara penyanyi lokal, Margie Segers,
ditambah sebuah grup dari Australia, Birchal & Co.
Semula, menurut pejabat penerangan hotel tersebut, Arifin
Pasaribu, pengunjung hendak ditarik Rp 50 ribu/orang. Oleh
peraturan gubernur, kata Arifin, tarif tersebut terpaksa
dikorting separuhnya. Hal itu mungkin, lanjutnya pula, karena
artis yang didatangkan dari luar negeri sesungguhnya bukan
spesial untuk menyambut tahun baru. Palingpaling, "keuntungan
dari acara tersebut menjadi tipis -- kami ikut prihatin dan
memantu pemerintah untuk tak bermewah-mewah."
Yellia S. Mangan, Humas Hotel Sari Pacific di Jalan Thamrin,
menyambut kerugian hotelnya yang sekitar Rp 5 juta, hanya dengan
tertawa. Penyajian Fourth Congregation dan Penthouse Seven, itu
grup nyanyi & tari dari Filipina, terpaksa dibatalkan. Padahal,
katanya, uang muka untuk artis yang dikontraknya dan untuk
segala macam persiapan telah telaniur dikeluarkan.
Pengunjung Flores Room di Hotel Borobudur, di Lapangan Banteng,
tidak kehilangan acara. Grup penyanyi dari Amerika, The
Platters, tampil seperti dijanjikan. Cuma, asal tahu saja,
dengan membayar separuh harga dari yang ditentukan semula (dari
Rp 60 ribu menjadi Rp 30 ribu), kesenangan para tamu tentu saja
jadi ikut terkorting: menu makanan berkurang -- setidaknya tanpa
sampanye gratis untuk toast pada pukul 00.00. Dan dengan menjual
karcisnya lebih tinggi dari yang ditentukan gubernur, menurut
Ratna H. Krisman, Asisten Direktur Pemasaran hotel tersebut,
Borobudur masih dapat pula menyisihkan hasil penjualannya untuk
amal.
Marina Jaya Ancol, penyelenggara pesta tahun baru di atas kapal,
agaknya pandai berkelit. Bukan saja atas nama amal untuk Yayasan
Pengembangan Pulau Seribu, tapi juga penurunan harga karcis
memang tak sampai mengurangi menu makanan maupun acara. Hanya
saja, di samping harga karcis yang harus dibayar setiap peserta,
penyelenggara membuka penawaran-penawaran lain yang meminta agar
pengunjung merogoh kantungnya lagi. Tambahan tersebut, yang tak
masuk biaya pesta, misalnya Rp 20 ribu untuk sewa kamar.
Toh, pengunjung bekas kapal haji itu tak banyak protes. Sehingga
bagi para penyelenggara seperti kata Ratna dari Borobudur: "the
show must go on ...."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini