LAMBAT tapi pasti, senilukis Indonesia tetap berkembang -- tulis
Sanento Juliman dalam bukunya, Senilukis Indonesia Baru --
Sebuah Pengantar, terbit empat tahun lalu.
Yang tak dijelaskan lebih lanjut, misalnya, indikator
perkembangan itu. Bertambah banyaknya penulis, bertambah
ragamnya gaya, atau adanya penemuan baru? Perkembangan senilukis
di sini toh tak mirip dengan perkembangan di Barat.
Di Barat, sejarah senilukis disusun secara sistematis dan
memberi gambaran satu perkembangan linier. Macet atau majunya
senilukis dengan begitu gampang dilacak.
Di sini garis lurus perkembangan boleh dikata tiada. Praktis
setiap pelukis seperti berkembang sendiri-sendiri tak membentuk
satu ikatan hingga tiap kurun masa tertentu ditandai dengan ciri
tertentu. Akibatnya, dengan sikap netral, terasa bahwa karya
dekoratif Suhadi sama barunya dengan kolase logam karya Narsen.
Paling tidak sampai hari ini.
Dalam setiap pameran Besar Senilukis Indonesia, dua tahun sekali
sejak 1974, hal itu selalu terasa. Juga kini -- dalam PBSI ke-4,
17 Desember sampai 16 Januari depan ini di Taman Ismail Marzuki.
Tapi pameran berkala itu memang tak bisa dianggap berhasil --
walau mereka mencoba memberi gambaran -- mewakili ragam gaya
senilukis Indonesia mutakhir sepenuhnya. Keterbatasan tempat
(hanya ada dua ruang pameran di TIM), waktu, juga tenaga,
mengakibatkan tak semua pelukis terwakili.
Gamang Perkembangannya
Dengan demikian kriteria seleksi menjadi penting. Dan pelukis
Nashar, anggota Komite Senirupa DKJ yang diserahi
menyelenggarakan PBSI kali ini, memang benar ketika mengatakan
bahwa kriteria yang digunakannya bukan "kriteria mutu". Itu
susah dirumuskan -- hanya kira-kira akan sangat tergantung pada
panitia seleksi. Tapi, lalu apa?
Sayang, Nashar tak bersedia menjawab. Mengapa, misalnya,
beberapa pelukis tak diundang: Amri Yahya, Bagong Kussudiardjo
-- untuk menyebut yang jelas.
Yang tercermin dari PBSI ke ini tak heran satu panorama
senilukis Indonesia yang tak lengkap. Membandingkannya dengan
tiga PBSI yang lalu, yang kini memang terasa sepi. Sejak Seni
Rupa Baru (SRB) nyaris tak bisa dicium. Kecuali pada Hardi,
Narsen, Dede Eri Supria dan satu dua lagi. Memang, SRB yang
muncul 1975, pertengahan tahun lalu telah membubarkan diri --
tapi benarkah hanya sebegitu senirupawan yang karyanya lebih
kurang bisa digolongkan SRB?
Juga karya nonfiguratif tak diwakili oleh para pelukis yang
kuat. Fadjar Sidik, Handrio, Mochtar Apin, tak muncul. Kecuali
para pelukis muda yang masih gamang perkembangannya: Nuzurlis
Koto, Sulebar, Nunung, misalnya. Ini membuat kehadiran Achmad
Sadali dengan tekstur dan warna beratnya, dan A.S. Budiono
dengan komposisinya yang bersih, rapi dan meyakinkan, terasa
dominan.
Yang dekoratif pun tak semua hadir: Arief Sudarsono, Muljadi W.
Yang menonjol kemudian Suhadi dari Yogya.
Yang menyuguhkan karya figuratif sendiri, baik yang konvensional
maupun yang hanya berbau surealistis ataupun yang sepenuhnya
surealistis, juga tak banyak tampil. Tapi ini agak pantas:
pelukis yang bergaya begitu agaknya memang tak banyak juga: M.
Darjono, O.H. Supono, Mustika, Amang Rachman, adalah yang serta.
Nonfiguratif
Agak sayang, Wahdi yang naturalistis tak hadir. Pelukis
naturalis yang trampil itu, yang tak sampai jatuh ke pelukisan
berlebihan bak Basuki Abdullah, tetap memotret alam segar
sementara orang berteriak tentang teknologi, penggundulan hutan
dan polusi. Menarik sekali, tentu, melihat karyanya berdamping
dengan karya-karya nonfiguratif misalnya.
Walhasil cara penyelenggaraan, dan mungkin juga tujuan PBSI,
memang perlu ditinjau kembali. Ambisi menyuguhkan panorama
lengkap senilukis Indonesia -- tanpa persiapan matang -- kiranya
hanya keinginan kebocah-bocahan. Dan kalau tak salah menilai,
efek PBSI bagi perkembangan senirupa kita pun praktis tak
nampak. Pemilihan karya terbaik dalam PBSI tak punya wibawa.
Satu-satunya "hasil" yang nyata dari PBSI I adalah: munculnya
aksi Desember Hitam oleh sejumlah senirupawan muda yang
menanyakan kriteria pemilihan karya terbaik, empat tahun lalu.
Dan pertanyaan mereka memang masih tetap relevan kini: bisakah
sejumlah karya dengan sejumlah kecenderungan, diukur dengan satu
bingkai?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini