Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Panorama Yang Tak Lengkap

Pameran besar senilukis indonesia ke iv, di taman ismail marzuki menampilkan sekitar 200 karya, tak semua golongan pelukis terwakili. tujuannya perlu ditinjau kembali. (sr)

3 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAMBAT tapi pasti, senilukis Indonesia tetap berkembang -- tulis Sanento Juliman dalam bukunya, Senilukis Indonesia Baru -- Sebuah Pengantar, terbit empat tahun lalu. Yang tak dijelaskan lebih lanjut, misalnya, indikator perkembangan itu. Bertambah banyaknya penulis, bertambah ragamnya gaya, atau adanya penemuan baru? Perkembangan senilukis di sini toh tak mirip dengan perkembangan di Barat. Di Barat, sejarah senilukis disusun secara sistematis dan memberi gambaran satu perkembangan linier. Macet atau majunya senilukis dengan begitu gampang dilacak. Di sini garis lurus perkembangan boleh dikata tiada. Praktis setiap pelukis seperti berkembang sendiri-sendiri tak membentuk satu ikatan hingga tiap kurun masa tertentu ditandai dengan ciri tertentu. Akibatnya, dengan sikap netral, terasa bahwa karya dekoratif Suhadi sama barunya dengan kolase logam karya Narsen. Paling tidak sampai hari ini. Dalam setiap pameran Besar Senilukis Indonesia, dua tahun sekali sejak 1974, hal itu selalu terasa. Juga kini -- dalam PBSI ke-4, 17 Desember sampai 16 Januari depan ini di Taman Ismail Marzuki. Tapi pameran berkala itu memang tak bisa dianggap berhasil -- walau mereka mencoba memberi gambaran -- mewakili ragam gaya senilukis Indonesia mutakhir sepenuhnya. Keterbatasan tempat (hanya ada dua ruang pameran di TIM), waktu, juga tenaga, mengakibatkan tak semua pelukis terwakili. Gamang Perkembangannya Dengan demikian kriteria seleksi menjadi penting. Dan pelukis Nashar, anggota Komite Senirupa DKJ yang diserahi menyelenggarakan PBSI kali ini, memang benar ketika mengatakan bahwa kriteria yang digunakannya bukan "kriteria mutu". Itu susah dirumuskan -- hanya kira-kira akan sangat tergantung pada panitia seleksi. Tapi, lalu apa? Sayang, Nashar tak bersedia menjawab. Mengapa, misalnya, beberapa pelukis tak diundang: Amri Yahya, Bagong Kussudiardjo -- untuk menyebut yang jelas. Yang tercermin dari PBSI ke ini tak heran satu panorama senilukis Indonesia yang tak lengkap. Membandingkannya dengan tiga PBSI yang lalu, yang kini memang terasa sepi. Sejak Seni Rupa Baru (SRB) nyaris tak bisa dicium. Kecuali pada Hardi, Narsen, Dede Eri Supria dan satu dua lagi. Memang, SRB yang muncul 1975, pertengahan tahun lalu telah membubarkan diri -- tapi benarkah hanya sebegitu senirupawan yang karyanya lebih kurang bisa digolongkan SRB? Juga karya nonfiguratif tak diwakili oleh para pelukis yang kuat. Fadjar Sidik, Handrio, Mochtar Apin, tak muncul. Kecuali para pelukis muda yang masih gamang perkembangannya: Nuzurlis Koto, Sulebar, Nunung, misalnya. Ini membuat kehadiran Achmad Sadali dengan tekstur dan warna beratnya, dan A.S. Budiono dengan komposisinya yang bersih, rapi dan meyakinkan, terasa dominan. Yang dekoratif pun tak semua hadir: Arief Sudarsono, Muljadi W. Yang menonjol kemudian Suhadi dari Yogya. Yang menyuguhkan karya figuratif sendiri, baik yang konvensional maupun yang hanya berbau surealistis ataupun yang sepenuhnya surealistis, juga tak banyak tampil. Tapi ini agak pantas: pelukis yang bergaya begitu agaknya memang tak banyak juga: M. Darjono, O.H. Supono, Mustika, Amang Rachman, adalah yang serta. Nonfiguratif Agak sayang, Wahdi yang naturalistis tak hadir. Pelukis naturalis yang trampil itu, yang tak sampai jatuh ke pelukisan berlebihan bak Basuki Abdullah, tetap memotret alam segar sementara orang berteriak tentang teknologi, penggundulan hutan dan polusi. Menarik sekali, tentu, melihat karyanya berdamping dengan karya-karya nonfiguratif misalnya. Walhasil cara penyelenggaraan, dan mungkin juga tujuan PBSI, memang perlu ditinjau kembali. Ambisi menyuguhkan panorama lengkap senilukis Indonesia -- tanpa persiapan matang -- kiranya hanya keinginan kebocah-bocahan. Dan kalau tak salah menilai, efek PBSI bagi perkembangan senirupa kita pun praktis tak nampak. Pemilihan karya terbaik dalam PBSI tak punya wibawa. Satu-satunya "hasil" yang nyata dari PBSI I adalah: munculnya aksi Desember Hitam oleh sejumlah senirupawan muda yang menanyakan kriteria pemilihan karya terbaik, empat tahun lalu. Dan pertanyaan mereka memang masih tetap relevan kini: bisakah sejumlah karya dengan sejumlah kecenderungan, diukur dengan satu bingkai?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus