Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Achmad Zen Umar Purba
SAYANG rasanya jika isu Rasa Sayange dibiarkan berlalu hanya karena marah kita mungkin sudah lenyap termakan waktu. Selain isu hak cipta yang posisi kita cukup kuat, paling kurang ada dua hal yang masih perlu kita camkan.
Pertama, soal memelihara atau menurut istilah Tempo ”merawat” khazanah kebudayaan sendiri. Betul, jangan kata lagu yang jarang didendangkan seperti Rasa Sayange, bahkan terhadap lagu lama tapi masih populer pun kita terkesan kurang peduli. Misalnya, kita acap mendengar lagu Hari Lebaran dengan lirik bait pertama dan refrein yang terus diulang-ulang. Padahal lagu yang mulai tersiar di tahun sekitar 1950/60-an itu terdiri dari beberapa bait penuh dengan sindiran yang memikat.
”Dari segala penjuru mengalir ke kota/Rakyat berpakaian baru serba indah/ Sekali setahun naik trem listrik prei/” dan bagaimana ”Cara orang kota berlebaran lain lagi” yang ”Sehari semalam main ceki mabuk brendi/ Pulang sempoyongan kalah main pukul isteri”. Bahkan pada bagian refrein dilantunkan sindiran yang masih kontekstual saat ini: ”… korupsi jangan kerjain.” Nah, kalau nanti Malaysia, siapa tahu, bisa muncul dengan bait dan lirik yang utuh, mungkin kita heboh lagi!
Sampai di sini relevan imbauan Menteri Hukum Andi Mattalata agar para pencipta beramai-ramai mendaftarkan ciptaannya. Walaupun hak cipta tak lahir karena pendaftaran, tindakan hukum ini penting untuk keperluan pembuktian. Namun, lebih dari itu, pemerintah juga kudu aktif mendata lagu lama yang anonim sebagai upaya pemeliharaan. Perlu dicatat upaya Provinsi Banten yang melakukan langkah pemeliharaan ini berkaitan dengan karya seni dan budaya dari daerahnya.
Ada lagi yang jauh lebih dalam dari isu Rasa Sayange, yang bukan saja jauh dari agenda pemeliharaan, melainkan juga jarang dibicarakan orang. Yaitu ekspresi folklor (expression of folklore), yang lingkup dan nilainya untuk negara sebesar Indonesia tak terbilang. Ekspresi folklor juga berkaitan dengan pengetahuan tradisional (traditional knowledge), bahkan juga sumber-sumber genetik (genetic resources). Aset ini, yang secara bersama-sama galib disebut GRTKF (genetic resources, traditional knowledge of folklore), atau diindonesiakan SGPTF, banyak tersebar di persada negara-negara berkembang.
Bagaimana duduk perkaranya?
SGPTF selama ini banyak dieksploitasi secara komersial oleh pihak asing—tentu yang dimaksud negara maju—tanpa memberikan manfaat bagi pemiliknya. Perbuatan yang dikenal sebagai biopiracy ini dikutuk negara berkembang, yang menuntut bukan saja ada skema bagi-manfaat (benefit sharing), melainkan juga agar SGPTF bisa diakomodasi dalam sistem hak kekayaan intelektual. Bahkan seorang pemeriksa paten terkenal United States Patent Office, Jean R. Homere, dalam satu tulisan pada 2004 mencap biopiracy ini sebagai bastardized commercialization. Sekarang ini masalah SGPTF terus digodok di World Intellectual Property Organization, yang khusus membentuk Intergovernmental Committee, yang sekarang sedang diketuai Indonesia.
Tapi, terlepas dari upaya internasional, semua terpulang pada kita juga. Umpamanya dalam kasus Shiseido, yang beberapa patennya dibatalkan oleh kantor paten Jepang. Alasannya, kantor paten tidak tahu abc pembuatan produk yang diklaim sebagai sesuatu yang baru oleh Shiseido. Padahal produk ini dibuat dari ramuan yang sudah dipergunakan sehari-hari dan berdasarkan keterampilan yang sudah lama berakar di Indonesia. Bukankah ini artinya kita belum memelihara barang kita sendiri sehingga dunia tak tahu.
Pemerintah seyogianya dari sekarang proaktif melakukan paling kurang tiga langkah: penelitian, inventarisasi, dan publikasi seperlunya. Upaya Pemerintah Daerah Banten di atas dapat diartikan ke arah permulaan langkah penjagaan aset ini.
KEDUA, ihwal serumpun. Duta besar Malaysia di Indonesia menyatakan digunakannya Rasa Sayange dalam jingle kegiatan promosi Malaysia adalah karena lagu itu ”merupakan khazanah budaya rumpun Melayu di Nusantara”. Perihal rumpun Melayu ini, Duta Besar tidak salah. Ambil contoh beberapa istilah. Orang di Medan dan Riau paham bahwa di negara jiran itu kata ”malap” berarti cahaya lampu yang hampir padam, seperti ”katil” bagi tempat tidur, juga ”batu” buat kilometer. Kedua negara, sewaktu masih akrab pada 1970-an, pernah membentuk komisi bersama di bidang bahasa.
Tapi tamsilan Duta Besar untuk Rasa Sayange itulah yang kurang tepat dan membuat banyak dari kita gemas, karena terasa ada semacam klaim dari Malaysia atas lagu itu. Agar kasus semacam ini tak terulang, kenapa tidak kita manfaatkan keserumpunan itu—tentu kalau temperatur sudah dingin dan Malaysia, seperti dikatakan Anwar Ibrahim, tidak arogan lagi.
Bisa dibentuk semacam komisi kerja sama pendataan lagu dan karya budaya yang sudah merakyat dan anonim setelah kasus Rasa Sayange. Komisi ini akan menginventarisasi lagu apa punya siapa. Lebih penting adalah pendataan lagu yang sudah membumi di lintas batas, yang jumlahnya diperkirakan akan cukup banyak. Inventarisasi terhadap lagu atau jenis lagu ini akan sangat berfaedah sehingga kedua negara akan dengan bebas menyiarkan karya seni itu untuk rakyat masing-masing, tentu tanpa klaim.
Para warga usia lanjut (atau ”warga emas” bak kata orang Malaysia) ingat ketika penyanyi Malaysia Anneke Gronloh pernah mendendangkan Burung Kakatua dengan bersemangat—tanpa klaim bahwa itu lagu dari negaranya. Keserumpunan pada hakikatnya adalah jembatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo