Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita ini negara agama, negara hukum, negara beragama," salah seorang anggota Lembaga Sensor Film (LSF) bersuara lantang. Dia baru saja menyebut alasan mengapa lembaga itu menolak memberi izin tayang film Babi Buta yang Ingin Terbang di bioskop komersial dalam audiensi yang digelar pada medio 2014.
LSF waktu itu menggelar audiensi dengan Meiske Taurisia, produser film Babi Buta. LSF memberi catatan akan menyensor enam adegan dalam film tersebut. Salah satunya adegan kerusuhan Mei 1998, yang dianggap membuka luka lama negeri ini. Meiske berargumentasi bahwa filmnya bertema tentang rekonsiliasi kaum Tionghoa di Indonesia, yang selama zaman Orde Baru banyak mengalami diskriminasi dan kekerasan. Di akhir rapat, anggota LSF tetap berkukuh dengan keputusan awalnya: enam adegan itu harus dipotong. Walhasil, tim memutuskan tidak memutar film produksi 2008 itu di bioskop komersial.
Secuplik peristiwa itu merupakan adegan klimaks film dokumenter bertajuk Potongan, yang dirilis dua pekan lalu di Goethe Institut, Jakarta. Film dokumenter produksi Lab Laba Laba dan Babibutafilm itu membongkar praktek-praktek perizinan tayang dan penyensoran oleh lembaga yang tahun ini genap berusia 100 tahun tersebut.
Wajah para peserta dalam rekaman audiensi itu jauh dari jelas. Sebab, kamera merekam audiensi itu dari pantulan kaca lemari ruang rapat. "Kami sudah mendapatkan izin tertulis untuk merekam semua proses pendaftaran sensor film hingga audiensi. Tapi, menjelang rapat, kami khawatir mereka membatalkan izin," kata Meiske Taurisia, yang juga produser film Potongan.
Seperti judulnya, film ini menampilkan potongan-potongan rekaman yang disusun layaknya kolase. Selain proses pendaftaran sensor itu, ada rekaman YouTube, infotainment, potongan adegan-adegan yang disensor, wawancara sejumlah narasumber, dan rapat-rapat terbuka ataupun terbatas. Semuanya merupakan kritik terhadap lembaga yang lahir dengan nama Ordonansi Film itu.
Lewat perjalanan Meiske dan tim produksi dari satu ruangan ke ruangan lain di LSF, penonton akan melihat persoalan administrasi yang jauh dari praktis: staf yang tak ada di tempat karena jam istirahat bebas; penjelasan anggota staf yang menyebutkan adanya formulir yang harus dibeli, yang lalu disanggah anggota staf lain di ruang berikutnya; atau mengapa mereka perlu menunggu sebulan untuk beraudiensi. Ah, tunggu, ini masih soal administrasi.
Transparansi dan akuntabilitas lembaga ini juga perlu dipertanyakan. Dalam adegan wawancara calon anggota LSF, misalnya. Di tengah proses wawancara, kamerawan diminta keluar dari ruangan meski telah mengantongi izin merekam dari pimpinan. Lalu, dalam adegan lain, penonton akan terkaget-kaget mengetahui adanya biaya sensor yang ditarik sejak 2004 (dan kini berjumlah Rp 10 miliar) tapi belum digunakan hingga saat ini. Sebab, belum ada peraturan pemerintah yang menjelaskan akses ke dana tersebut.
Sutradara Chairun Nissa juga memasukkan wawancara dengan anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan serta potongan rekaman perjalanan Masyarakat Film Indonesia menggugat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman ke Mahkamah Konstitusi, delapan tahun lalu. Menurut mereka, LSF memiliki aturan yang ambigu dalam melakukan sensor film. Bagaimana mungkin kelayakan tayang sebuah film ditentukan oleh beberapa orang saja?
Kelompok sineas ini justru mengajukan pembentukan lembaga klasifikasi yang mengatur secara detail batasan-batasan yang jelas untuk film yang boleh ditonton semua umur (SU), usia 12 tahun ke atas dengan pendampingan orang tua (12 DO), 15 tahun ke atas (15+), 18 tahun ke atas (18+), hingga 21 tahun ke atas (21+). Tapi upaya ini mental di pengadilan.
Film ini tidak hanya melihat LSF dari perspektif para sineas dan elite, tapi juga khalayak. Dalam satu adegan, misalnya, film ini memutar tayangan YouTube yang menampilkan testimoni penonton setelah menyaksikan film dokumenter Senyap besutan Joshua Oppenheimer. "Film ini sangat penting sebagai rekonsiliasi para korban dan keluarganya," katanya. Film yang masuk nominasi Best Documentary Film dalam Academy Awards 2016 ini menampilkan wawancara keluarga korban 1965 dengan para algojo.
Ada pula testimoni seorang ibu berkerudung lebar yang kecewa terhadap rating film The Hobbit: The Battle of the Five Armies (2014). "Tingkat kekerasan yang ditampilkan terlalu tinggi," ujarnya setelah menonton. Ibu yang membawa dua anak remaja itu juga mengaku tak tahu harus melaporkan keberatannya terhadap rating itu lewat mana.
Selama seabad LSF berdiri, para pekerja seni sinematografi lebih mengenalnya sebagai pembelenggu kreativitas. Tapi, bagaimana persisnya "jagal film" ini bekerja, para pembuat film dan tim produksinyalah yang tahu pasti. Potongan membuka tabir itu ke khalayak yang lebih luas.
Amandra M. Megarani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo