Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kejutan Pilkada 2018

PERILAKU pemilih bukan sesuatu yang mudah ditebak.

30 Juni 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Jumlah DPT Pilkada Capai 152 Juta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERILAKU pemilih bukan sesuatu yang mudah ditebak. Pemilihan kepala daerah serentak 2018 telah memberi contoh. Sejumlah calon yang dalam survei diprediksi sebagai underdog belakangan menurut hitung cepat mendapat suara signifikan-meski tidak selalu menjadi pemenang pertandingan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebutlah misalnya pasangan Sudirman Said-Ida Fauziyah di Jawa Tengah. Sebelum pemilihan, sebagian lembaga survei menyebutkan tingkat elektabilitas pasangan ini paling tinggi cuma 20 persen. Faktanya, dalam hasil hitung cepat, suara mereka mencapai 40 persen-kalah sekitar 17 persen dari pasangan Ganjar Pranowo-Taj Yasin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Contoh lain adalah pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu di Jawa Barat. Dengan elektabilitas tak sampai 11 persen versi sebagian besar lembaga survei sebelum pemilihan, pasangan yang diusung Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera ini mengantongi suara tiga kali lipat dari prediksi.

Sejumlah analisis bisa diajukan untuk menjelaskan fenomena ini. Yang pertama adalah kemungkinan lembaga survei gagal menangkap aspirasi pemilih. Para responden "mengecoh" pollster dengan jawaban yang tidak sesuai dengan apa yang mereka pikirkan. Alasan ini bisa dipahami mengingat, di beberapa daerah, jumlah pemilih yang belum menentukan sikap (undecided) relatif kecil. Sejumlah besar pemilih bahkan menyatakan tak lagi ragu dengan pilihan mereka. Dengan kata lain, semestinya angka elektabilitas kandidat tak berbeda jauh dengan hasil hitung cepat.

Faktor lain adalah para kandidat underdog bekerja keras pada detik-detik terakhir-dengan atau tanpa mesin partai. Dalam kasus Jawa Barat dan Sumatera Utara, misalnya, turunnya sejumlah ulama mengkampanyekan pasangan Sudrajat-Syaikhu dan Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah disebut-sebut menjadi penyebab utama. Hasil exit poll-interviu terhadap pemilih sesaat setelah mereka meninggalkan bilik suara-yang dilakukan lembaga survei Indikator Politik Indonesia di Jawa Barat, contohnya, menyebutkan pemilih mencoblos pasangan Sudrajat-Syaikhu karena menganggap keduanya paling memperjuangkan agama mereka. Dalam angka hitung cepat, tampak bahwa pasangan ini telah mengambil hati pemilih yang belum menentukan sikap selain mengambil suara pasangan lain. Unsur agama tampaknya punya peran yang tak kecil.

Di Jawa Tengah, kerja tim pemenangan Sudirman Said-Ida Fauziyah pada detik-detik terakhir membantu mendongkrak suara. Bertempur di kandang banteng, pasangan ini berhasil mencuri suara di Kabupaten Brebes, Kebumen, dan Tegal. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang menyokong pasangan Ganjar Pranowo-Taj Yasin, mengaku kebobolan. Partai ini baru menyadari belakangan bahwa mereka telah digergaji. Selain di Jawa Barat dan Jawa Tengah, fenomena meningkatnya suara underdog terjadi di Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan.

Di Jawa Barat dan Jawa Tengah, kita tampaknya harus memberikan catatan khusus pada Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera. Kedua partai inilah yang menyokong Sudirman dan Sudrajat. Menggunakan isu agama, di Jawa Barat, PKS berhasil mendongkrak suara Sudrajat. Di Jawa Tengah, Sudirman diperkuat Partai Kebangkitan Bangsa, partai asal calon wakil gubernur Ida Fauziyah. Baik PKS maupun Gerindra adalah penyokong Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden 2014. Dengan kata lain, fenomena kedua provinsi telah menjadi alarm bagi inkumben Joko Widodo dan PDI Perjuangan dalam menghadapi Pemilihan Umum 2019.

Dari hasil pilkada serentak di 171 daerah ini-terdiri atas 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota-kita bisa menarik pelajaran bahwa elektabilitas bukan segala-galanya, sesuatu yang juga bisa meleset setiap saat. Siapa pun kepala pemerintahan, dari presiden hingga bupati atau wali kota, hendaknya tidak terbuai oleh survei. Kepala pemerintahan hendaknya berfokus pada rencana menyejahterakan rakyat.

Memperhatikan kehendak publik lewat pelbagai survei tentu baik-baik saja. Tapi hendaknya disadari bahwa sikap populis tidak selalu baik bagi orang banyak. Elektabilitas bisa naik-turun. Pemimpin hendaknya tidak terombang-ambing oleh hasil survei.

Jajak pendapat harus ditanggapi dengan bijak. Seorang pemimpin tidak boleh mengambil kebijakan untuk sekadar mengambil hati orang banyak. Presiden Jokowi, sekadar sebagai contoh, yang dipersepsikan tidak didukung pemilih muslim, tak boleh mengambil kebijakan hanya agar mendapat simpati kelompok Islam. Kualitas pemimpin pada akhirnya dinilai dari hasil kerja jangka panjang-sesuatu yang tidak selalu tergambar dalam survei elektabilitas. l berita terkait di halaman 28

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus