Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pembiayaan modal kerja pembangunan kereta cepat terganggu lantaran masalah yang dihadapi WIKA.
Tagihan pembayaran yang mendesak sebesar Rp 5,68 triliun.
Luhut mengklaim negosiasi soal pinjaman ke CDB masih terkendali.
JAKARTA – Selain kesiapan sarana dan prasarana, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) masih dibayangi masalah pendanaan. Pasalnya, anggota konsorsium Indonesia di PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, sedang memasuki fase restrukturisasi.
Sebuah dokumen yang dilihat Tempo menyebutkan perlu ada solusi alternatif pembiayaan modal kerja pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung lantaran masalah yang dihadapi Wijaya Karya atau WIKA. Perusahaan pelat merah tersebut meminta penundaan pembayaran pokok dan bunga alias proses standstill kepada 15 kreditor perbankan. Karena merupakan salah satu pengemban penugasan pembangunan sepur kilat, masalah yang terjadi di WIKA menyebabkan seluruh rencana pengeluaran kas perseroan, termasuk penambahan modal kerja proyek kereta cepat, juga perlu mendapat reviu dari konsultan independen dan meminta persetujuan kreditor.
Baca: Terimpit Tenggat Tunggakan BUMN Karya
"Hingga saat ini, belum terdapat perbankan yang secara khusus bersedia membiayai modal kerja proyek KCJB dan fasilitas kredit yang ada dibekukan sementara oleh perbankan," demikian dikutip dari dokumen sebanyak delapan halaman tersebut. Karena itu, pemenuhan modal kerja penyelesaian proyek sepur kencang itu diusulkan menggunakan dana yang sudah berada di KCIC sejak April 2023—mulai periode standstill—hingga pembangunan rampung.
Adapun tagihan pembayaran yang mendesak hingga saat ini, menyitir dari dokumen yang sama, adalah US$ 381,75 juta atau sekitar Rp 5,68 triliun dengan asumsi nilai tukar Rp 14.888 per dolar AS. Sebagian dari tagihan tersebut adalah pembayaran untuk WIKA. Tempo berupaya meminta konfirmasi informasi ini kepada Sekretaris Perusahaan WIKA Mahendra Vijaya dan Kepala Komunikasi Korporat WIKA Anditya Angwarmase. Namun, hingga laporan ini ditulis, pertanyaan Tempo melalui aplikasi perpesanan tidak dibalas.
Nilai tersebut hanya sebagian dari pembengkakan ongkos proyek yang disepakati sebesar US$ 1,2 miliar. Adapun penyertaan modal negara yang dikucurkan untuk pembengkakan biaya tersebut sekitar US$ 180 juta. KCIC pun berencana menarik pinjaman baru dari China Development Bank sebesar US$ 560 juta.
Truk WIKA Beton keluar dari terowongan kereta cepat Jakarta-Bandung menuju arah Stasiun Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, 2 November 2022. TEMPO/Prima Mulia
Negosiasi Bunga Pinjaman untuk Kereta Cepat
Kini, Indonesia dan Cina masih menegosiasikan pinjaman tersebut. Dokumen tertanggal 18 Mei itu menyebutkan Indonesia masih meminta penurunan suku bunga untuk pinjaman dalam bentuk dolar AS ataupun renminbi. Untuk renminbi, Indonesia meminta suku bunga hanya 2,8 persen.
Sementara itu, CDB mengusulkan suku bunga 3,4 persen untuk pinjaman dalam bentuk dolar dan 3,46 persen untuk pinjaman dalam renminbi. Bank Pembangunan Cina itu pun menolak permintaan suku bunga 2,8 persen untuk pembiayaan dalam renminbi lantaran mengacu pada ongkos pembiayaan renminbi berdasarkan obligasi publik yang diterbitkan CDB adalah 3,1-3,2 persen.
Baca: Negosiasi Alot Suku Bunga Kereta Cepat
Corporate Communication Manager KCIC, Emir Monti, mengatakan perkara pembiayaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung diputuskan oleh pemerintah melalui Komite Kereta Cepat Jakarta-Bandung. "KCIC akan mengikuti dan mematuhi keputusan yang ditetapkan," kata dia, kemarin.
Adapun sebelumnya, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara Kartika Wirjoatmodjo mengatakan Cina meminta pinjaman kereta cepat diberikan dalam mata uang renminbi. "Semangat dedolarisasi sedang besar, kan. Kalau renminbi besar, boleh saja. Asal bunganya murah," ujar Tiko—sapaan akrab Kartika—dalam rapat bersama Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat, Senin, 5 Juni lalu.
Dia menjelaskan, jika Cina meminta renminbi, pihaknya meminta bunga pinjaman di bawah 3 persen. "Kalau (porsi) renminbi besar, bisa lebih murah. Kita tawar boleh enggak 3 (persen)," kata Tiko. Selain soal bunga, ia berujar, Indonesia tengah menegosiasikan tenor pinjaman tersebut selama 35-40 tahun.
Dalam kesempatan terpisah, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan negosiasi soal pinjaman ke CDB masih terkendali. "Saya pikir enggak usah dengar banyak sana-sini. Tadi mengenai negosiasi, mengenai bunga, semua under control,” ujar Ketua Komite Kereta Cepat tersebut dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR pada Jumat pekan lalu.
Pekerja beraktivitas di dekat rangkaian kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) di depo kereta cepat Tegalluar, Bandung, Jawa Barat, 17 Mei 2023. TEMPO/Prima Mulia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Luhut, proyek sepur kilat dikerjakan dengan detail. Dengan jadwal kerja yang baik, kata dia, tidak ada yang tidak bisa diselesaikan. “Jadi, jangan dari kita sendiri membuat berita hoaks mengenai ini gagal. Tidak ada masalah sampai hari ini. Semua terkendali mengenai itu,” tutur Luhut.
Perkara bunga pinjaman baru tersebut sebelumnya sempat disoroti oleh sejumlah pemerhati transportasi lantaran dinilai masih terlampau tinggi. Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi, Deddy Herlambang, membandingkan tingkat bunga tersebut dengan tingkat bunga yang ditawarkan Jepang dulu, yakni 0,1 persen per tahun dengan tenor 40 tahun.
"Kalau 0,1 persen per tahun, itu bisa disebut pinjaman lunak. Tapi, kalau 2 persen bahkan 3,4 persen, itu sama seperti bunga perbankan komersial," ujar Deddy. Ia mengatakan tingkat bunga tersebut tidak menguntungkan dan akan sangat membebani PT KAI. "Padahal BUMN kita cash flow-nya empot-empotan."
Deddy pun mempersoalkan perihal skema kerja sama dengan Cina yang menunjukkan sebagian sumber daya manusia serta hampir sebagian besar sarana dan prasarana kereta cepat harus didatangkan dari Negeri Tirai Bambu. Ia mengatakan kondisi itu tidak masalah kalau Cina memberikan pinjaman lunak. "Sama seperti Jepang yang menawarkan pinjaman lunak di proyek MRT, konsekuensinya semua diatur Jepang. Itu enggak masalah. Ini dengan Cina hitungannya hard loan, tapi tetap pakai SDM dan sarana dari Cina. Padahal hitungannya kredit biasa," kata dia.
Selama pinjaman baru dari CDB itu belum cair, Deddy mengatakan KCIC harus bisa memanfaatkan dana PMN yang telah diberikan melalui PT Kereta Api Indonesia (Persero) lebih dulu. KAI sebelumnya mendapat PNM Rp 3,2 triliun untuk proyek kereta cepat.
Guru besar transportasi Universitas Indonesia, Sutanto Soehodho, mengatakan suku bunga pinjaman sejatinya bergantung pada kesepakatan dua negara. Namun ia menilai angka 3,4 persen cukup tinggi dan seperti pinjaman komersial. Tingkat bunga ini jauh berbeda dengan bunga proyek MRT Jakarta yang sangat rendah karena merupakan pinjaman berbasis special terms for economic partnership dan tidak bersifat komersial. Musababnya, MRT juga dioperasikan berbasis subsidi pemerintah.
Dengan adanya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masuk dalam skema pembiayaan kereta cepat Jakarta-Bandung—sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021, Sutanto menilai semestinya tingkat bunga cost overrun diupayakan bersifat non-komersial. Apalagi kereta cepat juga dimaksudkan sebagai pelayanan atau transportasi publik. "Pinjaman ini selayaknya berbasis G2G (government-to-government) dan bukan B2B (business-to-business) karena ada unsur APBN di dalam skema pendanaannya, sehingga suku bunga pinjaman juga harus disesuaikan sebagai pinjaman non-komersial," kata dia.
CAESAR AKBAR | KHORY ALFARIZI | AMELIA RAHIMA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo