Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Eisner dan Kekotaan Otentik

1 Maret 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hikmat Darmawan*
*) Pengamat komik

TENTU saja Will Eisner sangat berpengaruh dalam hal penjelajahan bentuk dan bahasa komik. Serial stripnya, The Spirit, yang terbit tiap pekan pada 1940-1952, adalah sebuah ”kitab” pelajaran bahasa komik yang mumpuni. Khususnya periode sesudah Eisner pulang dari wajib militer, The Spirit dipenuhi oleh begitu banyak desain panel, halaman, huruf sebagai bagian dari narasi, hingga aneka efek visual untuk bunyi, serta angle gambar yang sangat filmis. Ciri penjelajahan format begini terus mematang dalam karya-karya Eisner sampai enam dekade kemudian.

Namun A Contract with God (Kontrak dengan Tuhan, 1978) menegaskan sebuah pengaruh lain. Di usia pensiunnya, Eisner justru terobsesi untuk menuturkan ”kisah-kisah dewasa” dalam bentuk komik. Obsesi ini membuat A Contract with God dan karya-karya sesudahnya, yang ia populerkan dengan sebutan ”novel grafis”, dipenuhi lekuk-liku kebimbangan ilahiah, patah hati, kekerasan, seks, dan pelik-pelik hidup di sebuah kota yang keras. Dan, memberi rasa tajam pada duka gembira manusia-manusia kota fiktif itu, Eisner menggambarkan sebuah dunia Yahudi yang gamblang dan detail.

Tak pelak, Eisner menimba pengalaman hidupnya sendiri. Ini ia akui jelas dalam banyak wawancara. Tapi, silakan menyelami, misalnya, trilogi Kontrak dengan Tuhan. Pembaca tak akan bisa lepas dari kesan bahwa kisah fiktif ini sungguh otentik, basah kuyup oleh emosi nyata penulis/penggambarnya. Para penghuni Jalan Dropsie 55, Bronx, yang jadi lokasi tetap trilogi Kontrak dengan Tuhan (Kontrak dengan Tuhan, Daya Hidup, dan Jalan Raya Dropsie: Pemukiman), adalah ”hantu” nyata dalam hidup Eisner.

Ia lahir di Amerika, dan dunianya adalah dunia diaspora Yahudi. Eisner muda merasakan langsung kepahitan era depresi ekonomi dunia pada 1930-an, yang diapit dua perang dunia. New York baru tumbuh. Apartemen dan gedung berdesakan. Kota penuh pojok gelap, kotor, berbahaya. Kota juga penuh impian dan rezeki tak terduga. Dalam chaos kota, dunia religio-mitologis Yahudi bercampur dengan ekologi aneka ras di melting pot Amerika, bergumul dengan kesulitan hidup sehari-hari.

Tradisi Yahudi dalam novel grafis Eisner sungguh hidup. Membacanya, seperti kita menyaksikan komedi My Big Fat Greek Wedding dengan tradisi Yunaninya, atau tradisi keluarga India dalam Monsoon Wedding (Mira Nair). Atau, tradisi keluarga Batak dalam Secangkir Kopi Pahit (Teguh Karya) dan Taksi Juga (Ismail Soebardjo). Pada karya itu kita menyaksikan sebuah tradisi hidup yang mewarisi sejarah tua, tapi harus menyesuaikan diri dengan kemodernan yang tanpa tedeng aling-aling.

Dengan pendekatan itu, ”Yahudi” tak lagi hanya sebuah konsep abstrak, yang bisa ditekuk-tekuk untuk melayani prasangka banal kita. Eisner sendiri tak selalu murah hati pada ke-Yahudi-annya. Tapi, ”Yahudi” itu sendiri bukan soal utama. Eisner, jelas, lebih tertarik pada sesuatu yang lebih besar: humanisme. Dan di jantung novel grafis Eisner yang bertutur tentang manusia dan kekotaan mereka, ada tema perjuangan individu menghadapi gejolak kemodernan.

Maka leluasalah ia menuturkan kisah orang yang mempertanyakan keadilan Tuhan. Atau berbagai kisah kekerasan yang memaksa kita mempertanyakan lagi kepercayaan kita pada kebaikan manusia. Leluasa pula kemudian Eisner, sesudah trilogi A Contract with God, menggali lebih jauh kekotaan New York dalam cerita seperti New York: Big City, Invisible People, The Building, dan kumpulan komik pendek City People Notebook.

Keleluasaan semacam itu, dalam bahasa visual komik yang ternyata menyimpan banyak kemungkinan naratif, rupanya menarik generasi komikus sejak 1990-an di Amerika, Kanada, dan Eropa Barat. Popularisasi perlahan tapi pasti dari istilah dan format ”novel grafis” seperti yang digali Eisner membuat banyak komikus di dua belahan benua itu lebih pede (percaya diri) mengudar kisah-kisah manusia dan kota yang otentik.

Ini, misalnya, tampak pada karya seperti Berlin (Jason Lutes), Box Office Poison (Alex Robinson), Get a Life (Dupuy & Barberian), dan Why I Hate Saturn (Kyle Baker). Bersama pelopor ”komik dewasa” lain seperti Art Spiegelman (Maus), Robert Crumb (Zap! Comix), dan Harvey Pekar (American Splendor), Eisner menunjukkan bahwa komik sastrawi adalah mungkin, dan penting.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus