Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Gangguan Otak Asal <font color=#FF0000>Gagap</font>

Gagap adalah gangguan bicara pada anak, tak sedikit pula yang berlanjut sampai dewasa. Semula dugaan penyebab gagap adalah gangguan pada telinga, pendengaran alias ketulian. Namun penelitian terbaru menemukan, sembilan persen penyebab gagap adalah gangguan pada sel otak.

1 Maret 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"MMMAMAMMAU, pppepeppesan pppappasta,” itu suara Suheri saat memesan makanan di sebuah kafe di Jakarta Selatan. Ayah satu putri itu bukan sedang menirukan pelawak sinetron komedi yang lagi naik daun, Muhammad Azis. ”Saya memang paling susah menyebut kata yang diawali huruf m dan p,” katanya.

Sementara Azis cuma berperan di televisi, Heri, 35 tahun, benar-benar penderita gagap. ”Yang membuat saya resah, justru kini putri saya juga gagap, padahal dulunya enggak ketahuan,” ujarnya.

Heri tergolong keluarga gagap. Ayah dan dua saudara kandungnya juga gagap. ”Yang paling parah saya dan adik bungsu. Bapak saya sudah mulai berkurang,” katanya.

Eksekutif muda yang bekerja di sebuah perusahaan swasta asing itu dulu merasa sangat terganggu. Apalagi ketika masih SMA disuruh membaca lantang. ”Itulah masa yang paling saya takuti,” ujar Heri. Semakin takut dan bingung, bicaranya semakin terbata-bata, ya, gagap kambuh.

Kasus Heri, yang menjadi gagap hingga dewasa, termasuk langka. Menurut Vivien Puspitasari, dokter saraf Rumah Sakit Siloam Tangerang, yang paling sering ditemukan adalah gagap yang muncul pada usia prasekolah. Pada masa itulah anak memasuki periode perkembangan fungsi bahasa dan bicara. Karena itu, gagap pada usia ini disebut developmental stuttering atau gagap pada masa tumbuh-kembang, yang biasanya muncul sebelum usia 12 tahun, atau rata-rata usia 2 sampai 5 tahun. ”Gagap dapat bersifat sementara atau menetap. Angka kejadian pada anak hanya 5 persen dan 1 persennya akan permanen sampai dewasa,” ujar lulusan spesialis saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu.

Menurut Purboyo Solek, dokter spesialis anak Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, gagap paling sering disebabkan faktor psikologis dan tingkat kecerdasan. ”Ada hal-hal yang membuat perasaan dan emosi terganggu akibat sesuatu. Kemudian kalau diucapkan dengan kata atau kalimat jadi terbata-bata,” ujarnya.

Gangguan emosional, menurut dokter lulusan Universitas Padjadjaran, Bandung, itu, menyebabkan anak menjadi sulit bicara lancar. Dalam kasus anak yang sudah duduk di sekolah dasar, misalnya, gagap muncul karena si anak kesulitan mengerjakan tugas sekolah atau berkelahi dengan temannya. ”Tidak nyaman di kelas, juga takut pada guru dan orang tua, bisa mengakibatkan gagap,” kata Purboyo.

Faktor lainnya berkaitan dengan tingkat kecerdasan. Menurut spesialis konsultan neurologi anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini, banyak pasien anak yang datang dengan tingkat kecerdasan di atas normal. ”IQ-nya lebih dari 90-110. Kerja otaknya lebih cepat daripada bicaranya,” ujar Purboyo.

Dari jenis kelamin, anak laki-laki lebih banyak didera gagap. Rasionya tiga banding satu. Di Rumah Sakit Hasan Sadikin, dalam setahun Purboyo menerima paling banyak lima pasien gagap. Jumlah ini sangat sedikit dibanding pasien anak autis dan hiperaktif, yang mampir setiap hari.

Penyebab utama gagap, menurut Purboyo, bukan adanya kerusakan otak pada anak-anak. Dari pemeriksaan menyeluruh, pasien secara fisik tidak bermasalah, begitupun sarafnya. ”Perkembangan mereka normal. Artinya, secara neurologis, pemeriksaan saraf, kami tidak menemukan apa-apa. Gangguan sensoris juga tak ada,” katanya.

Namun, menurut dokter Vivien, memang terdapat jenis gagap lain, yaitu acquired stuttering, jenis gagap yang terjadi pada orang yang sebelumnya tidak gagap. Gangguan ini disebabkan oleh adanya kerusakan di otak, stroke, cedera kepala, atau penyakit degenerasi otak seperti parkinson dan alzheimer. ”Bentuk ini lebih jarang ditemukan,” ujarnya.

Menurut penelitian yang pernah dibaca dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan itu, ada pula gagap yang berhubungan dengan gangguan fungsional ataupun struktural pada ganglia basal—sekumpulan inti di otak manusia yang berhubung-hubungan dan memproduksi zat penting seperti dopamin.

Ganglia basal di dalam otak terletak di subkortikal, daerah di bawah cerebral cortex, otak bagian depan dalam struktur tengkorak manusia. Padahal struktur itu berfungsi mengontrol gerakan anggota tubuh, emosi, dan proses berpikir. Berbicara merupakan proses kompleks yang melibatkan struktur tersebut. Jika ada gangguan pada struktur ini, proses bicara jadi tersendat-sendat.

Gagap memang lebih sering dikaitkan dengan keadaan gugup, tegang, atau gelisah. Seperti dalam kasus Suheri tadi, gejala itu sebenarnya sudah ada sejak lahir. Menurut penelitian The National Institute on Deafness and Other Communication Disorders di Amerika Serikat, penyakit gagap merupakan penyakit turunan. Para peneliti menemukan ada tiga gen yang menyebabkan seseorang berbicara gagap.

Tiga gen itu ditemukan di Pakistan, Amerika Serikat, dan Inggris. Hasil analisis gen terhadap 123 orang gagap asal Pakistan, 270 asal Amerika, dan 276 asal Inggris menunjukkan ada tiga jenis mutasi gen yang menyebabkan seseorang berbicara terbata-bata. Gen tersebut juga berhubungan dengan beberapa penyakit metabolik, dan peneliti menemukan titik terang cara menonaktifkan gen tersebut.

Temuan itu sekaligus memungkinkan pengembangan obat baru yang bisa mematikan gen tersebut. Satu persen dari populasi dunia yang diketahui mengalami gagap dalam hidupnya akan bisa diatasi. ”Dengan adanya temuan gen ini, tiga juta orang Amerika yang menderita gagap bisa disembuhkan,” kata direktur lembaga tersebut, James Battey, seperti yang dimuat Telegraph dua pekan lalu.

Menurut salah seorang peneliti lembaga tersebut, Dennis Drayna, terapi enzim dapat mengatasi gagap jenis itu. Nah, enzim inilah yang nantinya mematikan tiga gen yang selalu berhubungan dengan gangguan sel otak penyebab gagap. Penemuan ini tentu saja membawa harapan bagi Suheri, yang putrinya terkena gangguan yang sama. ”Mmmumungkin, cucu saya enggak kena, pppepppepenyakit ini.”

Ahmad Taufik, Anwar Siswadi (Bandung)


Tip Mengobati Gagap

MENURUT dokter ahli saraf, Vivien Puspitasari, ada beberapa cara mengobati gagap, antara lain dengan obat seperti Haloperidol, Risperidon, Sertraline, dan Paroxetine. Selain itu, dengan terapi wicara oleh petugas khusus yang ahli dan dengan alat elektronik khusus. Atau terapi perilaku yang dapat dilakukan bila ditemukan gejala psikis. Namun ada pula yang sembuh sendiri tanpa pengobatan.

Beberapa saran agar anak tidak gagap:

  • Lingkungan rumah seharusnya santai dan dapat memberi anak peluang untuk banyak berbicara.

  • Biarkan anak mengucapkan kata-kata, tidak peduli seberapa parah ia gagap. Dalam hal ini orang tua harus sabar. Jangan pernah mencoba melengkapi kalimat anak.

  • Orang tua harus bicara pelan dan santai. Ini akan mendorong anak melakukan hal yang sama.

  • Orang tua harus menghindari mengkritik anak ketika ia gagap.

  • Jangan menghukum anak bila gagap. Banyak orang tua yang melarang anaknya melanjutkan pembicaraan sebelum si anak bisa mengucapkan kata yang tergagap itu dengan lancar. Ini harus benar-benar dihindari.

  • Orang tua disarankan mendengarkan dengan penuh perhatian ketika anak berbicara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus