Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pelaut, Seniman, dan Pelabuhan

Tim Arka Kinari menggelar konser mini di setiap daerah yang mereka sambangi selama di Indonesia. Mengusung kampanye lingkungan dan Jalur Rempah.

17 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SABAN kapal Arka Kinari menambatkan jangkar di sebuah daerah di Nusantara, semangat Nova Ruth Setyaningsih selalu menyala. Musikus hip-hop ini mengaku senang membayangkan sebuah kapal bersandar ke pelabuhan, disambut sukacita warga setempat. Terlebih bila dirinya sebagai penumpang disambut dengan hangat. “Walau kehidupan kami selama di kapal tak romantis amat, rasanya menyenangkan melihat orang antusias melihat layar kapal kami yang terkembang,” katanya melalui telepon, 1 Oktober lalu.

Romantisme itu dirasakan Nova seperti saat Arka Kinari berlabuh di Pulau Banda, Maluku Tengah, 15 September lalu. Di titik nol Jalur Rempah dunia itu para awak kapal disambut dengan upacara tradisi, tarian Cakalele, dan perahu tradisional Kora-Kora. Nova dan kru Arka Kinari sepekan berada di daerah penghasil pala, kenari, dan kayu manis itu. Di sana mereka melakukan kegiatan advokasi soal lingkungan, menggelar pelatihan tali-temali kapal, dan membaca arah angin untuk para perempuan serta membuka diskusi soal rempah. Kegiatan terakhir mereka lakukan karena terlibat gerakan Jalur Rempah garapan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gladi resik pentas Nova Ruth dan Grey Filastine di atas kapal Arka Kinari di Rotterdam, Belanda, Agustus 2019. Intan Zari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama di Banda, Nova dan tim Arka Kinari juga menggelar pertunjukan seni kontemporer. Pertunjukan musik itu digelar Nova bersama bersama Grey Filastine, suaminya yang komposer musik asal Amerika Serikat. “Sejujurnya, kami tak memulai perjalanan ini sebagai pelaut andal, melainkan sebagai seniman pertunjukan. Saya dan Nova sudah punya banyak pengalaman dengan video mapping, tari, juga banyak bentuk teater dan dongeng kontemporer,” kata Grey.

Proyek Arka Kinari digagas Nova bersama Grey sejak belasan tahun lalu. Keduanya berharap bisa menggelar konser bertema lingkungan yang disokong perjalanan minim jejak karbon. Ide itu terwujud pada 23 Agustus tahun lalu, setelah keduanya bersama kru Arka Kinari bertolak dari pelabuhan Rotterdam, Belanda. Rencana awalnya, Grey dan Nova akan menggelar pentas musik di kapal tradisional bikinan Jerman yang disulap menjadi panggung multimedia, lengkap dengan pertunjukan visual yang mengusung kampanye lingkungan, perubahan iklim, dan tentu saja cerita tentang laut.

Namun rencana itu tak sepenuhnya terlaksana. Sebab, Covid-19 membuat daerah-daerah di Indonesia memperketat bahkan mengisolasi wilayahnya. Konser musik pun menjadi suatu hal yang mustahil, karena identik dengan kerumunan—kondisi yang memungkinkan lahirnya kluster baru corona. Proses pentasnya menjadi lebih rumit, sehingga tim Arka Kinari mesti meyakinkan pemerintah daerah soal proyek mereka. Mereka juga harus membuka peluang soal konser yang taat protokol kesehatan.

Seperti saat di Selayar, Sulawesi Selatan, tim Arka Kinari tak bisa menggelar pertunjukan di atas kapal seperti ketika di Banda. Pertimbangannya, Selayar termasuk zona merah corona sehingga kepolisian setempat memindahkan pentas ke lokasi terbatas berkapasitas sekitar seratus orang. “Protokol jaga jarak tentunya kami taati,” kata Manajer Proyek Arka Kinari, Titi Permata. Lain halnya saat di Sorong, Papua Barat. “Di sana zona hijau dan kami didukung komunitas sehingga bisa menggelar pertunjukan yang didatangi lebih dari 300 orang.”

Sejak masuk ke perairan Indonesia pada 1 September 2020, kapal Arka Kinari bertandang ke berbagai daerah. Di antaranya Sorong (Papua), Banda Neira, Selayar dan Makassar (Sulawesi Selatan), Benoa (Bali), serta Surabaya (Jawa Timur). Di sejumlah tempat itu mereka sekaligus mempromosikan dan menghidupkan kembali kisah kekayaan rempah Nusantara dan kejayaan jalur perdagangan maritim ribuan tahun lalu. Jaringan itu dikatakan Grey mengembangkan hubungan budaya dan mendukung ekonomi lokal kecil yang belakangan dirusak globalisasi, juga perjalanan udara yang meninggalkan jejak karbon. “Itulah sebabnya saya pribadi senang bekerja dengan Jalur Rempah, selain menganggap bahwa musik kami ibarat muatan rempah Arka Kinari,” kata Grey.

Walau lebih dari setahun tinggal di kapal, Grey dan Nova tak meninggalkan latihan. Selama di kapal, mereka tetap bermain dengan alat musik akustik seperti gitar maupun perkusi. Kegiatan ini mereka lakukan saat senja, yang menjadi momen istirahat dan pergantian jadwal tim jaga siang dengan kelompok navigasi malam. Grey menyebut kegiatan mereka seperti tokoh kartun Disney, Cinderella. “Tiba di pelabuhan, kami adalah seniman. Namun, begitu jangkar diangkat, kami berubah menjadi pelaut yang mengatur layar dan mengurus kemudi,” ujarnya.

•••

PROGRAM Jalur Rempah dirintis Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak beberapa tahun lalu. Namun, ketika itu, sifat kegiatannya masih sporadis. Pemerintah mulai menggarapnya dengan lebih sistematik pada April lalu, dengan sejumlah program jangka panjang. Tujuannya, agar Jalur Rempah ditetapkan badan PBB bidang budaya, UNESCO, sebagai warisan dunia pada 2024-2025.

Pemerintah rencananya mengusulkan Jalur Rempah ke UNESCO pada November mendatang. Mereka menggandeng negara yang juga memiliki sejarah Jalur Rempah, seperti India, Sri Lanka, dan Madagaskar. “Penetapan oleh UNESCO penting, tak hanya dalam konteks ekonomi pariwisata seperti industri herbal dan pertanian, tapi juga identitas bangsa,” kata Ketua Komite Program Jalur Rempah Kementerian Pendidikan, Ananto K. Seta, 12 Oktober lalu.

Pentas Nova Ruth dan Grey Filastine di Pulau Selayar, Sulawesi Selatan, 30 September lalu. Dok. Kemendikbud

Karena itu, pemerintah berupaya merekonstruksi Jalur Rempah, baik dengan webinar, lomba animasi, maupun menjelajahi kembali jalur rempah dengan rute bahari. Perjalanan napak tilas itu dilakukan untuk meresapi asimilasi budaya dan bahasa yang terjadi di rute Jalur Rempah 4.500-an tahun lalu. Namun sayangnya pandemi corona mengendurkan rencana ekspedisi. Padahal sesungguhnya KRI Dewaruci sudah digadang-gadang untuk mengangkut rombongan lintas etnis, dari timur Maluku hingga ke Melaka, Malaysia. Dari Melaka, rombongan diniatkan berpindah kapal ke Bima Suci, untuk menjajaki India, Sri Lanka, lalu Madagaskar.

Namun, karena situasinya tak memungkinkan, terlintas alternatif yang kebetulan menyerupai ide ekspedisi Dewa Ruci dan Bima Suci, yakni Arka Kinari. Menurut Ananto, idealisme Nova dan Grey soal lingkungan dan transaksi budaya cocok dengan nilai-nilai yang diusung pemerintah. “Karena kami belum bisa berlayar, sementara Arka Kinari pulang kampung, kami pun mengusulkan pada mereka untuk mengubah rute sesuai jalur rempah,” ucapnya.

Tawaran itu diterima Nova dan kawan-kawan. Titik tujuan Arka Kinari pun didesain ulang, menyesuaikan rute Jalur Rempah, dari Sorong hingga berujung di Bali. Mereka juga diminta turut mengkampanyekan bumbu rampai dan Jalur Rempah dalam berbagai kegiatan mereka di persinggahan. Ini dilakukan baik dalam tayangan video dan pertunjukan musik maupun diskusi kebudayaan. Seperti saat tim Arka Kinari diundang pemerintah daerah ke Benteng Rotterdam, Makassar, untuk menengok pameran rempah yang tengah digelar di sana. “Ibaratnya kami sedang belajar pada Arka Kinari, sebelum melakukan ekspedisi dengan Dewaruci dan Bima Suci tahun depan,” kata Ananto.

ISMA SAVITRI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Isma Savitri

Isma Savitri

Setelah bergabung di Tempo pada 2010, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini meliput isu hukum selama empat tahun. Berikutnya, ia banyak menulis isu pemberdayaan sosial dan gender di majalah Tempo English, dan kini sebagai Redaktur Seni di majalah Tempo, yang banyak mengulas film dan kesenian. Pemenang Lomba Kritik Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 dan Lomba Penulisan BPJS Kesehatan 2013.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus