Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Ribuan Demonstran Thailand Abaikan Keadaan Darurat

Meskipun pemerintah Thailand telah menerapkan keadaan darurat, ribuan demonstran yang dipimpin mahasiswa tetap turun ke jalan di Bangkok.

17 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ribuan demonstran yang dipimpin mahasiswa memenuhi jalanan Bangkok, menuntut Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha mundur.

  • Raja Malaysia belum memberi restu kepada Anwar Ibrahim untuk membentuk pemerintahan baru.

  • Polisi menggeledah rumah Menteri Kesehatan Olivier Véran dalam kasus penanganan pandemi Covid-19.

Thailand

Ribuan Demonstran Abaikan Keadaan Darurat

REUTERS/Soe Zeya Tun TPX IMAGES OF THE DAY

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESKIPUN pemerintah Thailand telah menetapkan keadaan darurat, ribuan demonstran yang dipimpin mahasiswa tetap turun ke jalan di Bangkok pada Jumat, 16 Oktober lalu. Mereka membawa slogan-slogan yang menuntut pembebasan rekan-rekannya yang ditahan polisi dan mendesak Perdana Menteri Prayuth Chan-o-cha, bekas panglima militer yang berkuasa sejak kudeta militer pada 2014, mundur. Polisi berusaha membubarkan mereka dengan pentungan, bom air, dan gas air mata.

Sejumlah pemimpin unjuk rasa yang telah berlangsung berbulan-bulan itu juga ditahan. Mereka antara lain pengacara hak asasi manusia Anon Nampa serta dua mahasiswa, Parit Chiwarak dan Panusaya Sithijirawattanakul. “Seperti anjing tersudut, kita akan berjuang sampai mati,” kata Panupong Jadnok, salah satu pemimpin demonstrasi yang masih bebas, di tengah kerumunan masa seperti dikutip Al Jazeera.

Unjuk rasa besar ini pecah di tengah situasi politik Thailand yang makin menekan. Pemilihan umum tahun lalu diwarnai kontroversi karena dimenangi Prayuth dengan dukungan militer. Partai-partai oposisi ditolak ikut serta dalam pemilihan. Demonstrasi belakangan ini disertai tuntutan reformasi kerajaan setelah Raja Maha Vajiralongkorn mengubah aset kerajaan menjadi kekayaan pribadi dan membuatnya menjadi orang terkaya di negeri itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



Malaysia

Raja Belum Restui Anwar Ibrahim

RAJA Malaysia Sultan Abdullah Ahmad Shah meminta para politikus menunjukkan kedewasaannya dalam menangani konflik di tengah ketidakpastian posisi Perdana Menteri Muhyiddin Yassin dan pemerintahan Perikatan Nasional yang dipimpinnya. “Yang Mulia menekankan bahwa politikus tidak harus mengakhiri perbedaan pendapat dengan cara yang bermusuhan, tapi menyelesaikan masalah dengan negosiasi dan menggunakan ketentuan konstitusional,” ujar Pengawas Rumah Tangga Kerajaan Datuk Indera Ahmad Fadil Shamsuddin, Jumat, 16 Oktober lalu, seperti dikutip The Straits Times.

Kepemimpinan Muhyiddin mendapat tentangan setelah Anwar Ibrahim, pemimpin kelompok oposisi dari Partai Keadilan Rakyat, mengklaim mendapat dukungan mayoritas anggota parlemen sehingga berhak membentuk pemerintahan baru. Anwar telah melaporkan hal ini kepada Raja di Istana Kerajaan pada Selasa, 13 Oktober, tapi Raja belum memberi restu untuk pergantian pemerintahan. Raja menyatakan akan memanggil para pemimpin partai politik lebih dulu sebelum membuat keputusan.

Tekanan makin besar setelah sejumlah petinggi Organisasi Melayu Bersatu (UMNO) mengancam akan menarik dukungan kepada Muhyiddin dan Perikatan Nasional. Datuk Seri Tajuddin Abdul Rahman, anggota parlemen UMNO, mengatakan orang-orang seharusnya tidak terkejut jika UMNO memutuskan mendukung Anwar. Sekretaris Jenderal UMNO Datuk Seri Ahmad Maslan menyatakan organisasinya akan memutuskan soal dukungan ini dalam pertemuan dewan tertinggi pada Selasa, 20 Oktober mendatang. Posisi UMNO, yang menguasai 39 dari 222 kursi di parlemen, akan menentukan jatuh-tidaknya pemerintahan Muhyiddin.


Prancis

Menteri Kesehatan Tersangka Kasus Covid-19

KEPOLISIAN Prancis menggeledah kantor dan rumah Menteri Kesehatan Olivier Véran, bekas perdana menteri Édouard Philippe, dan sejumlah pejabat lain dalam kasus penanganan pandemi Covid-19 pada Kamis, 15 Oktober lalu. Ini merupakan kasus hukum pertama di dunia mengenai kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi.

Menurut France 24, pengadilan khusus telah memerintahkan penyelidikan setelah kejaksaan menerima 90 gugatan dari pasien, dokter, pegawai penjara, polisi, dan pihak lain atas lambannya penanganan pandemi oleh pemerintah, khususnya kelangkaan masker dan alat pelindung diri. Pemerintah juga dinilai terlalu lambat bertindak mencegah penularan virus. Perdana Menteri Jean Castex; mantan Menteri Kesehatan, Agnès Buzyn; serta eks juru bicara pemerintah, Sibeth Ndiaye, juga masuk daftar orang yang diselidiki.

Penggeledahan terjadi sehari setelah Presiden Emmanuel Macron mengumumkan jam malam di Paris dan delapan kota lain karena tingginya kasus infeksi baru. Hingga Jumat, 16 Oktober, di Prancis terdapat 25 ribu lebih kasus baru sehingga total terdapat 834.770 kasus infeksi dengan 33 ribu orang meninggal—nomor sembilan tertinggi di dunia.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus