Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Komposer Jerman, Dieter Mack, berlatih dengan Kyai Fatahillah untuk komposisi gamelan terbarunya.
Akan ditampilkan di festival musik kontemporer di Jerman.
SUARA dengung dari komputer bergaung rendah. Tangan kanan Iwan Gunawan terangkat, lalu seakan-akan mematuk ke arah para pemain. Aba-aba itu disambut pemain gong di barisan belakang dan rekan di sebelahnya. Terdengar bunyi seperti pukulan pada tiang listrik berulang dengan tempo lambat, tapi nadanya berbeda-beda. Dua pemain saron dan bonang diam-diam bergerak dengan suara lirih. Bunyinya hampir tenggelam oleh tepukan kedua tangan Iwan pada tujuh kendang yang berbaris di depannya. Sambil duduk bersila, pemimpin grup gamelan Kyai Fatahillah itu menyiapkan sebuah keyboard berwarna merah, laptop, dan audio mixer kecil di samping kanannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sabtu sore, 22 Februari lalu, itu, mereka untuk pertama kalinya menjajal dari awal komposisi baru karya Dieter Mack yang berjudul The Time After-Reset. “Tidak sampai akhir. Kalau ada kesalahan, teruskan saja,” kata Iwan kepada 13 pemusiknya. Mereka bersiap memainkan dua laras yang punya tingkatan nada berbeda. Salendro atau slendro memiliki lima nada tiap oktaf dengan interval sama atau sangat kecil, sementara pelog bernada tujuh per oktaf dan interval nadanya lebar. Menurut Mack, ini karya gamelan pertamanya dengan dua laras nada itu. “Untuk gamelan pelog-salendro, saya belum pernah membuat sesuatu,” ucapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pakar gamelan dan komposer ensembel gamelan Dieter Mack berdiskusi dengan mahasiswa UPI saat sesi latihan di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (22/2)./TEMPO/Prima Mulia
Lahir di Speyer, Jerman, 65 tahun silam, Mack menekuni studi musik di Hochschule für Musik Freiburg, tempat ia mempelajari komposisi di bawah gemblengan Klaus Huber dan Brian Ferneyhough. Dia akrab dengan gamelan Bali dan sejak 1980 mengajar improvisasi serta gamelan Bali di almamaternya. Mack sempat menetap di Saba, Gianyar, selama satu tahun untuk mempelajari gamelan pada 1981. Saat mudik ke Jerman, dia mendirikan grup gamelan Bali, Anggur Jaya, di Freiburg. Sejak itu, Mack rutin bolak-balik ke Indonesia untuk belajar dan mengajar di sejumlah kampus, seperti Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) di Bandung dan Institut Seni Indonesia Surakarta.
Februari lalu, kedatangan Mack ke Bandung berkaitan dengan rencananya merilis komposisi gamelan baru pada November mendatang dalam NOW! Festival di Jerman. Mack duduk bersila di samping Iwan di atas panggung Ruang Gamelan Pelog Salendro UPI. Mengenakan hem putih dan pantalon hitam, Mack menyimak sambil membaca lembaran partitur karyanya yang tengah dimainkan. Selama permainan, dia lebih banyak diam. Kadang Mack meminta Iwan mengecilkan suara dengung dari komputernya. Ruangan berukuran 72 meter persegi dengan penyejuk udara itu makin sesak ketika Max Riefer datang bergabung. Riefer adalah pemain dan pengajar perkusi di Universiti Teknologi MARA, Malaysia, yang juga hendak memainkan komposisi Mack di UPI.
Setelah menggelar resital perkusi di Ruang Orkestra di lantai bawah, Riefer langsung bergabung dalam latihan dengan Kyai Fatahillah, Kamis petang, 27 Februari lalu. Alat yang ia pakai adalah gran cassa, tam tam besar, lima tam tam Cina kecil, Nicophone, lima temple block, dan lima African bowl. Menurut Iwan, mereka berlatih memainkan komposisi baru Mack selama 17-29 Februari lalu. Selanjutnya, mereka akan berkumpul untuk berlatih bersama lagi beberapa hari menjelang pementasan. Mack percaya bahwa Riefer dan grup Kyai Fatahillah bisa memainkan karyanya secara apik karena telah berpengalaman. “Menurut saya, di seluruh dunia hanya ada satu grup yang bisa memainkan pelog-salendro memakai notasi ini, yaitu Kyai Fatahillah di Bandung,” ujarnya.
Partitur komposisi musik gamelan berjudul The Time After Reset karya Dieter Mack./TEMPO/Prima Mulia
Alasannya yang lain mengajak grup Kyai Fatahillah adalah belum ada yang sebanding dengan kelompok itu. Sebuah grup gamelan di Toronto, Kanada, misalnya, hanya memainkan alat gamelan degung. “Untuk pelog-salendro Jawa, saya belum melihat satu grup yang mampu mewujudkan kerumitan seperti ini.”
Grup itu binaan Mack karena Iwan dulu muridnya. Mack pernah mementaskan beberapa karyanya bersama Iwan. Keduanya sudah lama bekerja sama. Iwan menerangkan, grupnya dibentuk pada 2005 atas gagasan Mack terkait dengan sebuah festival musik gamelan di Indonesia.
Sudah beberapa kali kelompoknya memainkan karya Mack, tapi baru sekarang kolaborasi itu terasa. “Karya baru ini didedikasikan kepada kami dan dia juga melihat potensi pemainnya,” tutur Iwan. Dari 30-an pemain musiknya, sebanyak 13 orang dipilih dari kalangan mahasiswa dan alumnus untuk terlibat dalam proyek ini. Sebanyak 25 judul lagu telah mereka buat dengan corak musik gamelan tradisional, pop, dan kontemporer. Beberapa kali grup ini juga bermain di luar negeri, seperti Eropa. Menurut Iwan, seringnya mereka memainkan lagu kontemporer sesuai dengan permintaan dan sedikit musik tradisional.
Mack mengungkapkan, sejauh ini dia telah membuat tiga komposisi gamelan kontemporer, yaitu gamelan Bali dan gamelan degung, pada 2000. “Saat itu saya memutuskan enggak mau mencipta untuk gamelan lagi,” ucapnya. Alasannya adalah tujuan estetika karyanya terasa terbatas dengan instrumen gamelan. Ide-idenya menjadi sulit terwujud. Dengan gamelan degung yang hanya punya lima nada, misalnya, Mack waktu itu mulai masuk ke mikrotonalitas atau musik yang menggunakan interval nada lebih kecil daripada jarak nada sekon kecil dalam sistem well-tempered di Barat.
Mack percaya bahwa Riefer dan grup Kyai Fatahillah bisa memainkan karyanya secara apik karena telah berpengalaman. “Menurut saya, di seluruh dunia hanya ada satu grup yang bisa memainkan pelog-salendro memakai notasi ini, yaitu Kyai Fatahillah di Bandung,” ujarnya.
Belakangan, keputusan itu berubah setelah ia mendapat tawaran tampil dalam festival musik kontemporer di Essen, Jerman, pada 1 November 2020. Panitia secara khusus memesan pergelaran khusus dengan gamelan kepada Mack. Ia mengaku tidak tahu alasan panitia meminta kesediaannya pada Agustus 2019. “Mereka tahu saya spesialis gamelan, terutama Bali, jadi meminta saya,” ujarnya.
Setelah menerima tawaran itu, Mack merasa kembali lagi ke akar musiknya, yaitu gamelan. Idenya menggabungkan dua laras, pelog dan slendro, untuk bisa bekerja sama dengan aspek mikrotonal. Dia menambahkan unsur bunyi lain yang terdengar seperti dengung dalam rekaman audio. Dalam bahasa fisika, kata dia, bunyi itu disebut beat, yaitu ketika dua frekuensi berdekatan. “Itu semua suara asli dari gamelan, tapi sedikit diubah supaya ada gesekan auditif,” tuturnya. Momen kembalinya Mack menggarap gamelan untuk musik kontemporernya yang anyar menjadi judul The Time After-Reset. “Artinya, setelah yang terjadi secara musikal secara pribadi, mulai dari awal lagi. Judul ini sedikit simbolis buat saya, tidak ada hubungan dengan karya itu sendiri.”
Larihan gamelan Anggur Jaya di Universitas Musik Lubeck, Jerman./dietermack.de
Iwan merasakan karya baru Mack ini punya aspek-aspek yang mutakhir. “Komponis sangat memaksimalkan penggunaan potensi bunyi gamelan yang tidak pernah terpikirkan,” ucapnya. Mack, menurut Iwan, tidak hanya tahu soal gamelan, tapi juga punya visi yang jauh ke depan terhadap musik itu sendiri dengan pilihan alatnya. “Kalau dibandingkan dengan dua karya gamelan sebelumnya, ini jauh sekali dari sisi penggarapan.”
Awalnya, Iwan mengaku kesulitan dalam menggarap karya baru Mack ini. Sebagai pemimpin grup, dialah yang harus menerjemahkan komposisinya kepada para pemain. Yang paling sulit, menurut dia, adalah aspek ritmis. “Kita tidak bisa membaca ritmenya dengan cara konvensional, tapi harus memahami,” ujarnya. Kadang Iwan merasa interpretasinya sudah benar, tapi Mack masih menilainya kurang bagus. Persoalan lain adalah soal ekspresi bunyi musik seperti apa yang hendak disampaikan. Kemudian ada ketegangan-ketegangan yang disebabkan oleh tidak adanya kejelasan tempo, tapi pemainnya harus tetap kompak membunyikan instrumen pegangan masing-masing. “Banyak spontanitas yang tidak sekadar kompak,” kata Iwan.
Tempo dasarnya 40 ketukan per menit. Ketegangan bakal muncul saat temponya menjadi lebih lambat dari detak jantung. Biasanya, Iwan menjelaskan, Mack sengaja membuat bagian seperti itu untuk menciptakan ketegangan dan keraguan, tapi musikus harus melakukan eksekusi. “Ini seperti masuk jembatan siratalmustakim, ada keseimbangan yang harus diputuskan untuk melintasinya,” ucap Iwan. Lantas di sela tempo itu ada microrhythm yang bisa berubah menjadi cepat atau lambat. Bagi dia, Mack merupakan sosok inspirator besar.
Dieter Mach (kiri) dan perkusionis Max Riefer dalam konser Percussion Recital di ruang orkestra FPSD Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung, Jawa Barat, 27 Februari 2020./TEMPO/Prima Mulia
Adapun Max Riefer sudah 15 tahun berkolaborasi dan memainkan beberapa karya Mack. Yang sangat dinikmati Riefer karena musik Mack yang sangat fisik adalah dia bisa bermain sambil mendengarkan. Bunyinya pun tidak berarti harus keras. Suara yang pelan juga banyak menimbulkan ketegangan dalam musiknya. “Musiknya bisa sangat agresif dan keras, tapi juga bisa lembut dan sangat rapuh,” tutur Riefer. Musiknya juga sangat atraktif dan pintar. Setiap karyanya menjadi tantangan ketika dimainkan Riefer.
Ihwal karya baru Mack, Riefer mengatakan ini pertama kalinya dia akan bermain dengan kelompok musik gamelan Jawa yang dimainkan orang Sunda. Riefer sudah empat tahun tinggal di Malaysia. Tapi, menurut dia, gamelan di sana tidak menarik. Alasannya, gamelan Malaysia lebih simpel dibanding gamelan Jawa dan tradisi musiknya tidak sekuat di Indonesia. Dia pun memuji para pemain Kyai Fatahillah ketika mendengarkan latihan mereka pada Selasa, 25 Februari lalu. “Saya harus bersiap untuk cocok dengan para musikus hebat itu. Ini proyek yang bagus.”
Anwar Siswadi (Bandung)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo