Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pembangunan ladang minyak dan gas Blok A, Blang Nisam, Aceh Timur, diwarnai perselisihan dua perusahaan.
PT Rakan Sejahtera dan perusahaan BUMN PT Barata Indonesia saling tuding terjadi wanprestasi.
Dilaporkan ke polisi, PT Barata Indonesia menyatakan sudah menerima surat penghentian penyelidikan perkara.
ALARM meteran listrik rumah Effendi Sulaiman di kawasan Teladan Barat, Medan, Sumatera Utara, tak henti berbunyi pada Selasa, 31 Maret lalu. Sang empunya rumah memilih tak mengacuhkan dengung penanda pulsa listrik hampir tandas itu. “Untuk makan saja sudah susah,” ujar pria 54 tahun tersebut kepada Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Effendi mengaku menyandang status “orang miskin baru” dalam setahun belakangan. Ia berutang kepada banyak orang. Untuk menutupi sebagian pinjaman, ia menggadaikan rumah. Hartanya pun ikut ludes.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia pernah hidup berkecukupan. Lewat PT Rakan Sejahtera Utama, perusahaan miliknya, Effendi pernah menjadi orang terpandang di Meulaboh, Aceh Barat, kampung halamannya. Selama belasan tahun, dia menjadi kontraktor yang menggarap berbagai proyek infrastruktur di sekitar Aceh dan Sumatera Utara.
Nasibnya berubah setelah menjadi subkontraktor proyek pembangunan ladang minyak dan gas Blok A, Blang Nisam, Aceh Timur, pada 2016. Blok ini merupakan salah satu penyuplai utama kebutuhan gas di Aceh dan Sumatera Utara. Adalah PT Barata Indonesia yang menjadi salah satu kontraktor di ladang minyak dan gas di daerah tersebut. Perusahaan pelat merah ini menggandeng PT Rakan untuk membangun berbagai fasilitas di sana.
PT Rakan menjadi subkontraktor untuk proyek pembuatan tangki dan pipa serta pengecatan. Nilai proyeknya mencapai Rp 8 miliar dengan masa pekerjaan selama setahun. Effendi mulai mengerjakan proyek pada Oktober 2016. Manajer Hukum PT Barata Indonesia Mohammad Syaifullah Annur mengatakan perusahaannya wajib menggandeng perusahaan lokal untuk menggarap proyek. “Penunjukan PT Rakan sudah sesuai dengan prosedur,” kata Syaifullah pada Rabu, 1 April lalu.
Polres Aceh Timur, pada 5 Juli 2018 melakukan mediasi perselisihan antara PT. Rakan Sejahtera Utama dan PT. Barata Indonesia terkait pembayaran pekerjaan./www.tribratanewspolresacehtimur.com
Dalam perjalanannya, kerja sama antara PT Rakan dan PT Barata tak berlangsung mulus. Effendi menuduh PT Barata tak membiayai proyek sesuai dengan kesepakatan. Ia mengklaim mengeluarkan duit dari kantongnya sendiri untuk membeli bahan material, membayar biaya pengangkutan alat berat, dan menggaji pegawai. Menurut Effendi, pola ini berlanjut pada bulan berikutnya. Ia tetap menggunakan uang pribadi meski biaya proyek melonjak dua kali lipat karena harus mengangkut dan memproduksi peralatan dari Medan.
Effendi menyebutkan PT Rakan seharusnya menerima pembayaran setiap bulan. Namun ia baru menerima pembayaran setelah proyek berjalan tiga bulan. Saat pembayaran tahap pertama, Effendi mengatakan hanya menerima Rp 300 juta. “Seharusnya kami menerima Rp 1,7 miliar,” ucapnya. Keterlambatan ini membuat PT Rakan kesulitan membiayai pekerjaan berikutnya.
Hingga pekerjaan selesai, PT Rakan hanya menerima pembayaran senilai Rp 3,7 miliar dari Barata, atau masih kurang Rp 4,3 miliar. “Sampai sekarang kami tidak pernah menerima sisa pembayaran,” ujarnya.
Syaifullah Annur membantah tudingan Effendi. Ia balik menuding PT Rakan yang melakukan wanprestasi. Salah satunya perusahaan itu tak pernah memberikan jaminan bank atau asuransi senilai 5 persen dari nilai proyek. Meski proyek tersebut akhirnya selesai, kata Syaifullah, perusahaannyalah yang menuntaskan pembangunan tangki dan pekerjaan lain. Dia mengklaim memiliki bukti pekerjaan PT Rakan tak tuntas.
Menurut Syaifullah, PT Barata telah menghabiskan duit hingga Rp 11 miliar untuk menuntaskan pekerjaan yang terbengkalai. Antara lain untuk membeli bahan material dan membayar tenaga kerja. Kendati demikian, Barata tetap membayar PT Rakan senilai Rp 3,8 miliar. “Kami empat kali mentransfer duit,” tuturnya. Syaifullah menyatakan PT Barata masih menyimpan semua surat pembayaran kepada PT Rakan dan kuitansi pembelian kebutuhan proyek.
Di tengah perjalanan proyek, kedua perusahaan itu sempat bernegosiasi. Perundingan dilakukan setelah PT Rakan berencana mengundurkan diri dari proyek pada Juli 2017. Hasilnya, kedua perusahaan bersepakat membuat adendum sejumlah pasal dalam kontrak. Nilai proyek yang semula berjumlah Rp 8 miliar menjadi Rp 9,8 miliar.
Namun kerja sama mereka kembali tak berjalan mulus. PT Rakan menganggap PT Barata kembali ingkar janji karena pembayaran tetap tersendat. Effendi mengklaim sudah menjalankan proyek dengan baik. “Tangki di sana berdiri megah karena jerih payah orang Aceh,” ujarnya.
Sengketa ini juga berdampak pada masyarakat Blang Nisam. Effendi merekrut warga di sana saat menjalankan proyek. Gaji mereka ikut tertahan. Mereka berdemonstrasi di Blok A pada Juni 2018. “Tak ada gejolak, demonstrasi dilakukan dengan tertib,” kata mantan Wakil Kepala Kepolisian Resor Aceh Timur, Komisaris Apriadi, kepada Tempo soal demonstrasi itu. Polres Aceh Timur mencoba menengahi sengketa itu. Apriadi mengatakan ada tiga pertemuan antara PT Barata, PT Rakan, dan pengelola sumur minyak dan gas Blok A. Namun pertemuan itu tetap tak membuahkan hasil.
Effendi Sulaiman./TEMPO/Mei Leandha
Karena tuntutannya tak kunjung dipenuhi, Effendi melaporkan PT Barata ke Kepolisian Daerah Aceh pada Februari 2018. Ia menuduh PT Barata telah menipu dan menggelapkan sejumlah aset PT Rakan. Menurut Effendi, sejumlah peralatan dan limbah besi miliknya senilai Rp 3,5 miliar menghilang saat PT Barata mengendalikan proyek.
Namun laporan itu kandas. Hasil gelar perkara Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Aceh tak menemukan unsur penipuan dan penggelapan dalam laporan Effendi. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Aceh Komisaris Besar Ery Apriyono mengatakan masih mencari informasi soal pelaporan Effendi. “Nanti saya cek dulu,” katanya, Rabu, 1 April lalu.
Syaifullah Annur mengatakan tuduhan Effendi tak memiliki bukti kuat. Perusahaan sudah menerima surat penghentian penyelidikan perkara dari Polda Aceh. Syaifullah pun tak mengetahui peralatan PT Rakan yang disebut menghilang. Sekretaris Perusahaan PT Barata Indonesia Bustomek Nawawi menyarankan Effendi membawa masalah ini ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia jika masih merasa dirugikan. “Penyelesaian cara ini sesuai yang tercantum dalam kontrak,” ucapnya.
PT Barata sebenarnya sudah mengundang Effendi ke Jakarta untuk membahas persoalan ini pada awal April lalu. Namun pertemuan itu tertunda hingga batas waktu yang tak ditentukan karena dampak pandemi virus corona di Tanah Air.
Effendi sendiri masih berharap PT Barata menunaikan kewajibannya. Ia menolak penyelesaian lewat jalur hukum. Menurut dia, penyelesaian hukum membutuhkan biaya besar. “Sekarang mencari seratus ribu saja sulit,” katanya.
MUSTAFA SILALAHI, MEI LEANDHA (MEDAN), IIL ASKAR MONDZA (ACEH)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo