Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Singapura menjadi pasar ekspor pasir laut Indonesia.
Ada potensi devisa ratusan triliun rupiah dari ekspor pasir laut ke Singapura.
Devisa dari pasir tak sebanding dengan kerusakan ekosistem laut.
SEJAK larangan ekspor berlaku pada 2003, harga pasir laut terus terbenam. Pasarnya tak lagi besar, sementara pasokan berlebih. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pasir Laut (APPL) Herry Tousa memberi contoh, pemilik izin usaha pertambangan (IUP) pasir laut di Pontang, Serang, Banten, hanya bisa menjual pasir Rp 9.000 per meter kubik. Angka itu jauh di bawah harga patokan ekspor pasir laut yang ditetapkan pemerintah pada 2002 sebesar US$ 3 atau sekitar Rp 44 ribu per meter kubik dengan kurs saat ini. "Itu harga sea bed (dasar laut)," katanya pada Kamis, 8 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak ragam bisnis pasir laut. Ada pemegang IUP yang menambang sendiri pasir lalu mengirimnya ke konsumen. Namun banyak yang menjual pasir sejak dari dasar laut yang menjadi wilayah kerjanya, sebelum dikeruk oleh kapal milik kontraktor rekanan konsumen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harga pasir di dasar laut lebih murah. Jika pasir telah sampai ke konsumen, harganya melonjak menjadi Rp 120 ribu per kubik saat ini. Tousa menambahkan, ongkos kirim dari Banten ke Teluk Jakarta bisa mencapai Rp 70 ribu per meter kubik. Area reklamasi Teluk Jakarta memang menjadi pasar utama pemilik IUP pasir laut asal Banten; Indramayu, Jawa Barat; hingga Lampung. "Harganya sama," ujarnya.
Timbunan pasir untuk reklamasi di Singapura, pada 26 Juni 2019. Reuters/Edgar Su
Selain Teluk Jakarta, sentra produksi sekaligus pasar pasir laut adalah Kepulauan Riau. Pasir laut dari kawasan itu dimanfaatkan untuk reklamasi kawasan Gurindam 12 di Tanjung Pinang. Proyek jumbo senilai Rp 886 miliar itu dibangun sejak 2018. Tidak ada data resmi volume pasir laut untuk menguruk daratan baru tersebut. Namun, berdasarkan catatan Tousa, luas daratan baru itu 15 hektare dan harga pasirnya Rp 120 ribu per meter kubik.
Tousa tak menampik anggapan bahwa pembukaan keran ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut menjadi angin segar untuk mengerek kembali harga komoditas itu.
•••
SINGAPURA terus mencari pemasok pasir laut untuk kebutuhan reklamasi setelah pemerintah Indonesia melarang ekspor. Kamboja, Myanmar, Malaysia, dan Filipina menjadi pemasok baru pasir untuk Negeri Singa.
Catatan World Integrated Trade Solution (WITS), program perangkat lunak dari Bank Dunia yang mengumpulkan data perdagangan, menyebutkan pemasok terbesar pasir laut untuk Singapura berganti-ganti.
Pada 2018, misalnya, sebanyak 95 persen dari 56,3 juta kubik pasir laut yang diimpor Singapura berasal dari Malaysia. Setahun kemudian, Myanmar menjadi pemasok 94,4 persen pasir laut Singapura, yang saat itu impornya mencapai 1,8 juta meter kubik. Myanmar mencuat lantaran saat itu Malaysia tiba-tiba melarang ekspor pasir laut. Pada 2020, Malaysia kembali memasok 99 persen kebutuhan pasir laut Singapura yang mencapai 54,9 juta kubik.
Singapura adalah konsumen pasir laut terbesar di dunia. Berdasarkan data United Nations Environment Programme 2019, pada 1998-2018 Singapura mengimpor 517 juta meter kubik pasir laut. Daratan Singapura pun bertambah luas, dari 581,5 kilometer persegi pada 1960 menjadi 725,7 kilometer persegi pada 2019. Singapura menargetkan daratannya menjadi 766 kilometer persegi pada 2030.
Daratan hasil pengurukan dengan pasir laut di Singapura antara lain Bandar Udara Changi, Pulau Jurong, dan Pelabuhan Tuas. Tuas adalah pelabuhan barang berkapasitas 60 juta twenty-foot equivalent units per tahun yang digadang-gadang sebagai pelabuhan terbesar di dunia. Megaproyek Tuas yang dibangun sejak 2021 membutuhkan 80 juta kubik material—sebagian besar pasir laut—untuk lahan seluas 294 hektare.
Kontraktor proyek pelabuhan ini antara lain Penta-Ocean Construction Co Ltd dan Boskalis International BV. Dua perusahaan ini, melalui perwakilannya di Indonesia, sempat diundang Kementerian Kelautan dan Perikanan mengikuti konsultasi publik mengenai Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut di Yogyakarta beberapa waktu lalu.
Tidak ada catatan pasti harga pasir laut di pasar global. Berdasarkan data WITS, nilai ekspor pasir laut Malaysia ke Singapura pada 2018 sebesar US$ 320 juta dengan volume 56,3 juta kubik. Artinya, harga per kubiknya US$ 5,6 atau Rp 83.189 dengan kurs saat ini. Ini adalah harga free on board alias harga di tempat asal. Sedangkan pada 2019, nilai ekspor pasir laut Malaysia ke Singapura mencapai US$ 339 juta dengan volume 54,9 juta kubik. Ini berarti harganya saat itu US$ 6,2 atau Rp 92.102 per kubik.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia Yusri Usman mengungkapkan bocoran harga pasir laut impor Singapura. Nilai kontrak antara pemasok pasir di Johor Baru, Malaysia, dan Jurong Town Corporation (JTC) yang mengawasi kegiatan reklamasi Singapura mencapai Sin$ 15 atau Rp 165.845 per kubik. Sedangkan pasir Vietnam dihargai Sin$ 38 atau Rp 420.142 per kubik. "Itu informasi dari pengusaha Indonesia yang sudah survei ke JTC," ucapnya pada Sabtu, 10 Juni lalu.
Menurut Yusri, Singapura akan memprioritaskan pasir dari Kepulauan Riau setelah pemerintah membuka lagi keran ekspor pasir laut. Selain lokasinya paling dekat, Yusri menjelaskan, kualitas pasir laut Kepulauan Riau berani diadu. Yusri meminta pemerintah mengatur sistem jual-beli yang memastikan Indonesia mendapatkan harga terbaik dari negara itu. "Bisa lewat negosiasi dengan JTC tanpa tender. Ditunjuk satu perusahaan negara sebagai konsorsium penjual, dengan begitu bisa dapat harga Sin$ 18-21 per kubik," tuturnya.
Penghitungan APPL mendapati Singapura membutuhkan 4 miliar kubik pasir laut untuk mereklamasi sejumlah proyek daratan mereka hingga 2030. Jika Indonesia bisa menyuplai separuh saja kebutuhan itu dengan harga Sin$ 8, ada potensi devisa Sin$ 32 miliar atau Rp 354 triliun.
Bukan hanya pemilik tambang pasir, pengusaha kapal ceruk juga bisa kecipratan cuan. Tapi, menurut Ketua Umum Asosiasi Pemilik Kapal Nasional Carmelita Hartoto, selama ini kapal keruk Indonesia hanya bertumpu pada jasa pengerukan pasir sungai, alur pelayaran, dan kolam pelabuhan. Itu sebabnya banyak kapal keruk lokal yang tak melirik jasa penyedotan pasir laut sehingga bisnis ini didominasi kapal-kapal asing. "Kapal keruk berbendera Indonesia belum sanggup mengerjakan proyek reklamasi, harus mendatangkan kapal bendera asing yang beroperasi secara global," ujarnya. "Operator Indonesia bisa bekerja sama dengan mereka."
Tapi pendapatan dari ekspor pasir tak sebanding dengan biaya yang harus ditanggung akibat kerusakan lingkungan dari aktivitas pengerukannya. Peneliti dari Greenpeace Indonesia, Afdillah Chudiel, mengatakan, dalam jangka panjang, tambang pasir laut akan mempercepat tenggelamnya pulau-pulau kecil karena mengubah kontur dasar laut. "Ini berpengaruh pada pola arus dan gelombang laut,” ucapnya kepada Koran Tempo pada Ahad, 28 Mei lalu. Perubahan ekosistem laut, dia menambahkan, bakal mempengaruhi jumlah tangkapan nelayan sehingga memicu kelangkaan pangan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bayangan Cuan dari Negeri Singa"