INILAH kisah dendam dan kemarahan, yang disimpan dan diasah
puluhan tahun, hingga tiba hari pembalasan. Kisah cinta seorang
ibu -- dan kenangan indah yang berusaha mengatasi cinta itu.
Kisah perang yang busuk dan hati manusia yang retak, nurani yang
remuk, tetapi juga akal sehat yang mengalahkan angkara murka.
Nicholas Gage telah menuliskan pengalaman pribadinya yang
mengharukan dalam sebuah buku, Eleni, diterbitkan Random House
akhir April lalu. Beberapa bagiannya dipetikkan di bawah ini.
***
Udara panas. Angin nyaris tak berembus. Almanak menunjukkan 28
Agustus 1948, pukul 12.30. Serombongan wanita memikul kayu bakar
di jalan setapak tepat di atas Lia, dusun Pegunungan Yunani yang
terdiri dari beberapa puluh rumah batu kelabu, dekat perbatasan
Albania. Ketika rombongan itu mulai bisa menyaksikan pemandangan
Desa Lia di bawah, mereka melihat prosesi yang suram.
Mereka melihat iring-iringan. Di depan dan di belakang, tampak
beberapa gerilyawan komunis dengan senapan dan sikap mengancam.
Mereka telah menjadi penguasa desa ini sejak sembilan bulan
terakhir Perang Sipil Yunani.
Di tengah iringan itu berjalan 13 orang tahanan. Mereka tidak
bersepatu. Kaki-kaki mereka hitam legam dan rusak, bekas
mengalami penyiksaan khas yang dinamakan falanga: Seorang
tahanan demikian parahnya sehingga tidak kuat berjalan, dan
ditambatkan di punggung seekor keledai. Barisan itu sedang
menyongsong eksekusi.
Di antara tahanan itu terdapat lima orang penduduk Lia: tiga
lelaki dan dua wanita. Yang lebih tua di antara kedua wanita itu
terseok-seok seraya menggumamkan beberapa patah kata yang tidak
jelas. Matanya liar penasaran. "Dia adalah bibiku, Alexo
Gatzoyiannis, 58 tahun," kata Nicholas Gage di dalam bukunya.
Wanita yang lebih muda mempunyai rambut berwarna cokelat
kemerahan. Matanya biru, dan ia mengenakan gaun biru yang
koyak-moyak. Dengan matanya yang teduh, ia menatap para pemikul
kayu bakar itu. "Dan dia adalah ibuku, Eleni Gatzoyiannis, 41
tahun," tulis Nicholas Gage.
Tatkala rombongan kematian itu mulai naik gunung, mereka
melewati sebuah mata air. Seorang anak lelaki berusia 13 tahun
sedang berhenti di situ untuk melepaskan dahaga. Kemudian
rombongan itu lenyap di kaki langit.
Beberapa menit kemudian kesenyapan alam diletupkan oleh suara
berondongan senapan. Sepi sejenak, kecuali gaung yang
dilantunkan dinding bukit dan gunung sekitar. Kemudian terdengar
tembakan pistol, satu demi satu, tembakan final yang membungkam
jasad yang masih bernyawa. Sesudah itu sepi.
Tidak lama kemudian para gerilyawan itu pulang menuruni gunung,
tanpa tahanan sama sekali. Rombongan compang-camping tadi sudah
beristirahat abadi di sana, di celah ngarai, ditutupi timbunan
batu.
Enam belas hari kemudian, kekuatan komunis dikalahkan Angkatan
Bersenjata Yunani. Tetapi mereka masih sempat membuat onar.
Mereka menangkap semua penduduk yang masih tertinggal di desa,
kemudian menggiring orang-orang malang itu di bawah ancaman
senjata, melewati perbatasan, masuk ke wilayah Albania. Lia
menjadi kota hantu, dengan rumah bobrok dan bangkai manusia yang
tidak terurus. Sebuah desa yang dihuni manusia sejak 25 abad
lampau, sirna secara tiba-tiba.
* * * *
Nicholas mengetahui eksekusi ibunya delapan hari kemudian.
Ketika itu ia tinggal bersama tiga di antara empat saudara
perempuannya di sebuah kamp pengungsian di pantai lonian,
berseberangan dengan Pulau Corfu. Tujuh bulan kemudian, keempat
saudara itu naik ke sebuah kapal yang akan membawa mereka ke
Amerika Serikat, menyusul ayahnya. Perang dan 'revolusi' telah
memisahkan anak beranak itu selama satu dekade. Nicholas berusia
sembilan tahun tatkala pertama kali melihat ayahnya.
Di negerinya yang baru, anak dusun Yunani itu tidak segera bisa
melupakan kampung halaman terutama ibunya. Inilah yang ditulis
Nicholas mengenangkan hari-hari itu:
"Ibuku adalah satu di antara 650.000 penduduk Yunani yang
terbunuh dalam masa perang 1940-1949. Seperti sebagian besar
korban lainnya, ia tewas hanya karena rumahnya kebetulan
terletak di seberang jalan pasukan yang bermusuhan. Tetapi ia
seharusnya hidup, bila saja dia tidak menentang
penakluk-penakluk desanya untuk menyerahkan anak-anaknya kepada
mereka.
"Aku adalah anak kesayangannya. Ia mencintaiku dengan kehangatan
seorang ibu Yunani terhadap satu-satunya anak lelaki. Aku sadar,
akulah satu-satunya alasan yang membuat ia sampai pada pilihan
itu. Tidak perlu disangsikan, ia mati agar aku dapat terus
hidup."
Nicholas kemudian tumbuh di Worcester, Massachussetts, bersama
saudara-saudaranya dan "seorang asing" yang mulai disadarinya
sebagai ayahnya. Tetapi dia tidak dapat membicarakan kematian
ibunya seperti yang bisa dilakukan para saudaranya yang lain.
Kejadian itu terlalu memukul hatinya.
"Saudara-saudaraku terus-menerus membicarakan Ibu," katanya.
"Sering mereka mengatakan berjumpa dengan Ibu di dalam mimpi.
Ibu menyampaikan pesan-pesan dan peringatan, kemudian kembali ke
benua kematian. Tetapi aku tidak."
"Di dalam mimpiku, Ibu tetap hidup. Ia tetap utuh di dalam masa
lampau. Ia membakar roti untuk kami, memetik murbei dari pohon
yang tumbuh di pekarangan, dan menertawakan kelucuanku.
Saudara-saudaraku bisa menerima kenyataan bahwa Ibu telah tiada.
Tetapi aku? Setiap bangun pagi, kejadian itu tetap menimbulkan
kejutan baru."
Sebagai bocah sembilan tahun, Nicholas tetap tidak bisa
melupakan kematian ibunya, kendati ia mulai mendapat kesibukan
baru untuk mempelajari bahasa Inggris di permukimannya yang
baru. Ia merasa tak dapat berbuat sesuatu untuk menebus
pengorbanan sang Ibu. Ia hanya berharap bahwa ucapan
saudara-saudaranya benar. Bahwa Tuhan akhirnya akan menghukum
mereka yang telah mengkhianati, menyiksa, dan membunuh ibunya.
Suatu ketika, setelah duduk di kelas tujuh di sekolahnya,
seorang guru meminta Nicholas menuliskan kehidupannya di Yunani.
Musim semi baru memasuki hari pertama. "Aku melihat keluar
jendela sekolah, mengenang pegunungan kampung halaman kami yang
bermandikan sinar matahari. Anak-anak desa pasti sedang
bercengkerama di setiap rumah. Dan Ibu mempersiapkan telur-telur
Paskah dengan warna-warnanya yang menakjubkan."
Dan ia mulai menulis. Diungkapkannya peristiwa pada saat ia
berusia delapan tahun, pada suatu musim semi yang lama silam.
Ketika itu dengan tidak sengaja ia mendengar percakapan dua
orang gerilyawan komunis. Mereka merencanakan mengambil setiap
anak di desa itu, kemudian mengirimkannya ke belakang Tirai
Besi. Nicholas segera menemui ibunya, dan menceritakan rencana
itu. "Inilah agaknya babak pertama, yang berakhir pada kematian
Ibu, empat bulan kemudian," katanya.
Tulisan itu mendapat penghargaan. Dan Nicholas mulai merasa
mampu melakukan sesuatu. Ia bertekad untuk terus belajar
menulis, supaya suatu ketika mampu menyusun buku yang
mengisahkan peristiwa di ngarai pada tahun 1948 itu. Ia berniat
menyingkapkan rahasia tokoh yang berdiri di belakang peristiwa
itu.
Ketika keluar dari sekolah, ia mempunyai tabungan yang memadai,
yang diperolehnya dari bekerja di sebuah surat kabar lokal. Ia
merencanakan ziarah ke kampung halaman yang telah
ditinggalkannya hampir 15 tahun. Ia bertekad memulai risetnya
tentang segala detil kematian ibunya.
"Ketika aku meninggalkan desa itu, semuanya masih lekat dalam
ingatan," kata Nicholas. Tetapi ketika pulang untuk pertama
kalinya pada 1963, ia tersesat dua kali ke desa lain, sebelum
sampai ke Lia. Ternyata ingatannya sudah tidak bisa dipercaya.
Dan ketika ia sampai di gerbang desa, pemandangan tidak lagi
selengang dulu. Banyak orang, yang dulu digiring gerilya
mengikuti gerak mundur mereka ke Albania, kemudian ke beberapa
negeri Eropa Timur, sudah pulang kampung sejak 1954. Tetapi para
gerilyawan sendiri, dan para kolaborator mereka, tetap tidak
diizinkan memasuki Yunani.
Nicholas disambut kakeknya yang berusia 83 tahun. "Tinggal
dialah kerabat lelaki yang mengenal aku pada masa kanak."
Penduduk desa segera berdatangan. Mereka menyambut hangat "anak
yang hilang" itu, dan dengan suka rela menceritakan kembali
pelbagai detil tentang penyiksaan dan pembunuhan ibunya.
"Tetapi begitu mereka mulai bercerita, aku segera sadar bahwa
aku tidak mempunyai cukup kekuatan untuk mendengarkannya," tulis
Nicholas. Ketika seorang lelaki berusaha menuturkan betapa kaki
dan betis mendiang ibunya membengkak tidak karuan akibat
penyiksaan yang luar biasa, Nicholas bangkit dan meninggalkan
ruangan itu ....
Musim gugur tahun itu juga, setelah ia kembali ke Amerika
Serikat untuk melanjutkan pendidikannya, ia mulai mencoba
mengarang buku kenang-kenangan itu. Tetapi ia hanya mampu
menyelesaikan beberapa halaman. Ia mulai dengan mencoba
melukiskan tengah hari panas yang mencekam itu, tatkala kakeknya
bercerita kepada Nicholas bersaudara bahwa ibunya telah dibunuh.
Ia tidak mampu meneruskan tulisannya, justru ketika ia kembali
terkenang akan pekik saudara perempuannya yang menerima kabar
itu. Ia sadar, ia belum siap untuk menulis buku yang
diangan-angankannya itu.
Pada 1969, kakak perempuan Nicholas, Olga dan Glykeria,
memutuskan meninjau kampung halaman untuk mengikuti kebaktian
mengenang ibu mereka. Nicholas ikut bersama mereka.
Seluruh penduduk desa dan sekitarnya berkumpul di Gereja St.
Demetrios. Di dalam sebuah tempat khusus, dipisahkan dari ruang
kebaktian oleh sebuah dinding, terletaklah tulang belulang ibu
dan bibi Nicholas bersama penduduk desa yang lain, yang tewas
dalam masa kacau-balau itu.
Matahari mengirimkan sinarnya melalui jendela gereja yang
berdebu. Pastor yang memimpin kebaktian mulai menggumamkan doa
dan nyanyian. Dan anak-anak yang bertugas di altar mengayunkan
tempat dupa yang menebarkan bau aneh. Tanpa diduga, seorang guru
sekolah desa tegak dan berbicara.
Dia satu-satunya orang berpendidikan di desa itu. Dan ia rupanya
ingin menyampaikan semacam pidato yang khidmat. "Begitu ia
menyebut nama ibu kami," kata Nicholas, "saudara perempuanku
mulai meratap, mengikuti cara orang Yunani mengungkapkan
kesedihannya terhadap kematian."
Guru sekolah itu berusaha mengatasi dengung jemaat dengan
suaranya. "Wanita yang satu ini meninggal tidak dengan cara yang
lazim," katanya. "Dia dibunuh ! Sendirian, jauh dari suaminya.
Dia dibunuh karena dia berusaha menyelamatkan jiwa anak-anaknya.
Dia menjadi korban orang sebangsanya sendiri, orang-orang Yunani
seperti kita! Ini bukanlah kebaktian biasa untuk sebuah kematian
biasa. Sekali lagi saya katakan, dia dibunuh!"
Nicholas seperti dibuai kata-kata itu. "Aku merasakan udara
tiba-tiba pengap dan sesak, " tulisnya. "Aku segera sadar, hanya
beberapa meter dari tempatku berdiri terletak tulang belulang
ibuku.
"Hampir setiap hari pada masa kecilku, aku melihat ia menyalakan
lilin di altar gereja dusun ini. Ratap tangis saudara
perempuanku mulai meruntuhkan benteng ketabahan yang tadinya
kuharapkan dapat menguasai kesadaranku. Dulu, aku sering kali
berhasil memendam kesedihanku jauh di dalam hati. Bahkan tatkala
Ibu mengucapkan salam perpisahan, dan ketika aku sadar ia sudah
tiada.
"Kini, di gereja dusun ini, kesedihan itu tiba-tiba meledak. Aku
tidak kuat menahan tangis yang tersimpan puluhan tahun.
Pandanganku mulai kabur, dan aku tidak kuasa berdiri. Dua orang
lelaki memapah aku keluar gereja, dan menyandarkan tubuhku ke
batang siprus yang memagari pemakaman.
"Itulah saat pertama dan terakhir aku tidak berhasil menguasai
kesedihanku. Tetapi setelah peristiwa itu berlalu, aku beroleh
semacam kekuatan baru. Akhirnya aku merasa siap untuk
mendengarkan semua detil yang diceritakan penduduk desa ini."
Ketika Nicholas mulai mengajukan berbagai pertanyaan, ia segera
maklum bahwa masih banyak soal di sekitar kematian yang tidak
diketahuinya. Orang-orang sekampung yang mengkhianati ibunya,
yang memberi kesaksian di depan pengadilan untuk mengambil muka
para gerilyawan yang pada masa itu berkuasa, masih berada di
belakangTirai Besi. Sedangkan mereka yang sudah pulang ke Lia
hanya mengenal para gerilyawan itu dengan nama samaran.
Sepanjang musim panas 1969 Nicholas berada di Lia. Ketika ia
meninggalkan desa itu pada musim gugur, ia mendapatkan kesadaran
baru. Meskipun secara emosional ia sudah siap mendengarkan
seluruh riwayat ibunya, ia belum mempunyai keterampilan untuk
sampai pada tokoh kunci peristiwa itu. Bahkan ia belum
mengetahui cara yang harus digunakannya untuk menggali kebenaran
dari orang-orangyang berdiri di belakang peristiwa itu.
Kembali ke Amerika, Nicholas terlibat kesibukan hidup. Ia
menikah dengan gadis yang dikenalnya di perguruan tinggi. Dalam
waktu singkat pasangan itu beroleh tiga orang anak. Yang sulung,
lelaki, dinamakan Christos, sesuai nama ayah Nicholas. Yang
tertua dari anak perempuannya diberi nama Eleni, seperti nama
ibunya tercinta.
Nicholas kemudian bekerja sebagai investigative reporter pada
The New York Times. Pekerjaan ini dipandangnya setengah bersifat
detektif, dan setengah jurnalis. Ia mulai belajar dan
berpengalaman mengorek data-data yang tersembunyi. Ia juga mulai
ahli menjerat seseorang dengan kesaksian yang diucapkannya
sendiri.
Pengalaman ini membuat ia sadar akan keterampilan yang
dibutuhkannya menyidik peristiwa pembunuhan ibunya. Cita-cita
yang dipendamnya sejak masa bocah mulai tampak bersosok: ia
seperti mulai berlatih untuk melakukan 'perburuan'nya. Mencari
orang yang bertanggung jawab atas kematian ibunya.
Juli 1974, diktator militer kanan Yunani terjungkit. Pemerintah
yang baru, membuka pintu bagi gerilyawan komunis di pengasingan
untuk kembali ke tanah air. Banyak orang yang dibutuhkan
Nicholas untuk penyidikannya kini bisa dihubungi dengan gampang.
Pada 1977, Nicholas membujuk atasannya untuk menempatkan dia di
Athena sebagai wartawan The New York Times. Di Yunani, ia segera
menyadari bahwa pengaruh komunisme mulai bangkit dengan
terbentuknya pemerintah sipil yang baru. Para bekas pemimpin
kaum komunis di masa lampau mulai berani membantah
pembunuhanpembunuhan yang mereka lakukan. Mereka juga menyangkal
pernah mengambil anak-anak dari keluarga di desa-desa.
Suhu politik yang tidak stabil di kawasan itu membuat Nicholas
terlalu sibuk dengan tugasnya sebagai wartawan. Waktunya lebih
banyak terbuang untuk penugasan di luar Yunani. Ia harus meliput
terorisme di Turki, pertempuran di Timur Tengah, revolusi Iran,
dan perang sipil di Afghanistan.
Pada 1980, ia sampai pada suatu kesimpulan. Ia harus segera
memulai penyelidikan tentang kematian ibunya, atau tidak sama
sekali. Waktu makin terbatas, dan para saksi mata mulai
bermatian, atau kehilangan daya ingat.
Beberapa bekas pemimpin gerilya yang ikut bertanggung jawab
dalam peristiwa itu bahkan sudah mati di pengasingan. Sebagian
lagi meninggal sebelum Nicholas berhasil menemui mereka di
Yunani. Tambahan pula, Yunani mempunyai tenggang waku 30 tahun
untuk semua tindakan kejahatan -- termasuk pembunuhan. Setiap
orang yang terlibat kejahan dalam masa perang itu sekarang
dapat pulang kampung tanpa khawatir akan menerima hukuman. Para
bekas pemimpin gerilya banyak yang pulang.
Pada 1980 itu Nicholas berusia 41 tahun. Sama dengan usia ibunya
tatkala ditembak mati. Anaknya tertua berumur 9 tahun, sama
dengan usia Nicholas ketika ditinggalkan Eleni. Melihat
anak-anaknya tumbuh, kenangan Nicholas akan ibunya semakin
hidup.
"Ketika aku masih muda," tulis Nicholas, "aku sudah yakin bahwa
hidup Ibu penuh dengan penderitaan yang tak berkesudahan."
Selama dekade terakhir, wanita itu berjuang setiap hari untuk
menghidupi kelima orang anaknya di tengah masa perang dan
kelaparan. Tidak seorang pun bisa menolong.
Tetapi kini, seraya memandang anak-anaknya, Nicholas juga yakin
bahwa sang Ibu tetap bisa menikmati saat-saat tertentu. Ia tentu
mendapat kesenangan dan kebahagiaan melihat anak-anaknya tumbuh,
kendati di tengah penderitaan. Ia tentu berbahagia oleh kasih
yang ia limpahkan dengan segala perasaan tulus.
Akhirnya, kunci teka-teki identitas beberapa pembunuh ibunya
mulai tersingkap di Athena. Nicholas sadar bahwa ia tidak boleh
lagi bimbang dan ragu. Ia memutuskan untuk meninggalkan
pekerjaannya sebagai koresponden The New York Times, hidup dari
hasil tabungannya, dan mulai melakukan 'perburuan' yang
dicita-citakannya sejak masa kecil.
Kunci pertama mempertemukan Nicholas dengan seorang penduduk
desa bernama Antony Makos, di pinggiran Kota Athena. Anthony
adalah anak berumur 13 tahun yang minum di mata air dulu,
tatkala rombongan eksekusi naik gunung.
Ia menceritakan pada Nicholas, pada tahun 1968 ia bertemu dengan
seseorang yang dikenalinya sebagai salah seorang gerilyawan yang
dulu ikut mengawal rombongan tahanan yang akan ditembak mati
itu. Pertemuan itu terjadi di Yunani Utara, di sebuah kota
bernama loannina. Orang itu memiliki sebuah bar. Namanya Taki
Cotees.
Dari Athena hanya diperlukan waktu 45 menit terbang ke loannina,
sebuah ibu kota provinsi dengan bangunan-bangunan bermenara
Islam, dan para petani dengan busana dusun. Bar Taki sudah
tutup. Tetapi Nicholas dengan mudah mencari orang itu dengan
bantuan seorang politikus lokal kenalannya.
Politikus tadi memanggil Taki ke kantornya. Nicholas
diperkenalkan sebagai "seorang teman dari Amerika Serikat,
seorang penulis yang ingin mendapatkan beberapa keterangan".
Politikus itu tidak lupa menambahkan kepada Taki: "Bantulah dia
dengan segala ingatanmu."
"Perutku terasa mulas memandang wajah lelaki ini," tulis
Nicholas. "Dialah, pada usia 21 tahun dulu, mengawal ibuku
menuju eksekusi. Mungkin pula dia salah seorang yang ikut
menembak."
Taki tampak bukan sosok yang berarti. Perawakannya kecil,
seperti kurcaci, dengan rambut putih yang menipis di kepala. "Ia
kelihatan seperti boneka licik yang dibuat dari buah apel
kering." Satu-satunya yang hidup pada orang ini hanyalah matanya
yang berwarna keemasan, tetapi yang juga mencerminkan kegupupan.
Taki berjanji akan membantu sekuat daya. Dengan mobil yang
disewanya, Nicholas membawa bekas gerilyawan itu berjalan-jalan
tanpa tujuan, untuk mulai menggali keterangan. "Di manakah Anda
selama perang sipil dulu?" tanya Nicholas. "Di Desa Lia," jawab
kurcaci itu.
"Ingatkah Anda pada lima orang penduduk Desa Lia yang dihukum
mati ?" Taki tiba-tiba terdiam. Tetapi kemudian ia mengaku
berada di tempat eksekusi itu, sebagai salah seorang pengawal.
Ia tidak ikut menembak. Yang bertugas menembak adalah gerilyawan
dari pasukan di seberang gunung. "Eksekusi itu sangat tercela,"
kata Taki seraya menggelengkan kepalanya.
"Ingatkah Anda pada dua orang wanita dalam eksekusi itu?"
Taki seperti berpikir. "Satu dengan rambut berwarna cokelat
muda," katanya, "yang tinggal di sebuah rumah dekat gereja, di
sebelah barat desa, dengan pohon murbei di pekarangan rumahnya."
Rumah itu kemudian di jadikan tempat tahanan, dan Taki bertugas
di situ sebagai pengawal.
Taki mulai tampak gelisah. Ia bergantian menatap wajah Nicholas,
dan jalan lengang yang terbentang di depan. Mobil menderu
perlahan. "Apakah Anda mempunyai sangkut paut dengan wanita itu
" tanyanya. "Dia ibuku," jawab Nicholas.
Taki semakin gugup. Ia menyarankan berhenti di suatu tempat,
untuk minum kopi. Mereka kemudian menemukan sebuah kedai
minuman. Duduk di dalam dan merasa aman, berulah Taki mengatur
napas dan berjanji mengingat paristiwa tersebut. Ia kemudian
bercerita.
Setelah beberapa pertemuan lagi dengan Taki, Nicholas mendesak
lelaki itu untuk mengingat beberapa nama pemimpin gerilya, dan
orang yang bertugas sebagai hakim dalam perkara ibunya. Ingatan
Taki ternyata kabur. Dia hanya dapat memberikan nama samaran
salah seorang hakim, Yiorgos Esconomou. Tetapi masih ada hakim
lain lagi, dan yang terakhir inilah yang memimpin pengadilan
atas mendiang Eleni.
Dalam pertemuan terakhir di hotelnya, Nicholas mendesak Taki
menggambarkan cara penyiksaan yang dilakukan terhadap ibunya.
Sebelumnya Taki bercerita, selama 20 hari ia mengawal tempat
ELeni ditahan.
Taki memperagakan penyiksaan itu dengan Nicholas sebagai model.
Mula-mula Nicholas disuruh berlutut. Kedua tangannya disentakkan
ke belakang. Dengan dengkulnya, Taki menekan punggung Nicholas.
Lalu tangan tadi dipulaskan dalam sudut yang berlawanan.
"Taki melakukan gerakan itu dengan sangat berhati-hati," kata
Nicholas. "Meski demikian, sakitnya bukan buatan." Hatinya
bertambah pahit. Ia kini bisa membayangkan penderitaan yang
ditanggungkan ibunya sebelum ajal menjemput. Kesakitan yang
dirasakan ibunya pasti berpuluh kali lipat dari sekadar
demonstrasi ini. Begitu kuatnya hati perempuan itu !
Sebelum meninggalkan Ioannina, Nicholas singgah di sebuah
apartemen seorangwanita bernama Dina Venetis. Dia salah seorang
dari sangat sedikit tahanan penjara bawah tanah Lia yang
berhasil selamat, dan mampu menceritakan keadaan di sana. Dia
ikut diadili bersama Eleni, tetapi kemudian dibebaskan dari
tuduhan. Nicholas mencoba menggali ingatan Dina tentang para
hakim yang tampil dalam pengadilan tersebut.
Dina kini tinggal sesosok wanita yang tidak menarik. Rambutnya
yang beruban terpangkas pendek. Dia mengenakan pakaian murahan.
Bila ia tersenyum atau tertawa, tampak tiga butir gigi emas
berkilat-kilat di dalam mulutnya. Namun bekas-bekas kecantikan
masih tampak pada paras itu.
Di apartemennya yang pengap, Dina menyambut Nicholas dengan
hangat dan ramah. Kamar itu penuh memorabilia anak-anaknya,
termasuk seorang anak lelaki kecil yang direnggutkan kaum
gerilyawan dari padanya, dan dikirim ke sebuah kamp di Rumania
untuk tujuh tahun.
Ia menggoyangkan kepalanya ketika Nicholas menyebut nama hakim
Yiorgos Esconomou. Satu-satunya hakim yang menarik perhatiannya
adalah seorang lelaki dengan suara yang dalam dan menakutkan.
"Bila dia berbicara," kata Dina, "kita seperti langsung
mendengar kematian." Lelaki itu dikenali penduduk desa dengan
nama "Katis."
Nama "Katis" mengejutkan Nicholas. Dia sudah berkali-kali
mendengar nama ini sebelumnya. "Katis" adalah singkatan
sederhana dari kata Albania yang berarti "hakim." Kini kata itu
tampil sebagai nama hakim yang banyak disebut-sebut penduduk
desa kepada Nicholas.
"Katis" konon bekerja di pengadilan cabang gerilya. Ia bertugas
menghimpun bukti-bukti yang memberatkan tertuduh. Ia memimpin
interogasi dan merencanakan penyiksaan. Dialah yang bertindak
sebagai hakim ketua dalam pengadilan Eleni, bunda Nicholas.
Nama "Katis" sering pula disebut-sebut Glykeria, satu-satunya
saudara perempuan Nicholas yang tetap tinggal di desa ketika
adik-adiknya mengungsi. Pada hari terakhir hidup Eleni, Glykeria
yang saat itu berusia 14 tahun diizinkan menjumpainya. "Katis"
berdiri di samping, dengan sikap curiga. Glykeria tidak
melupakan saat, ketika ibunya memohon pada "Katis" supaya gadis
tanggung itu tidak ikut dieksekusi. Nicholas yakin, jika ia
ingin menemukan pembunuh ibunya, ia harus menjumpai "Katis".
Tetapi yang pertama harus dilakukannya ialah mengetahui nama
"Katis" yang sesungguhnya.
Kembali ke Athena, ia mendapat sebuah keterangan berharga. Nama
Yiorgos Esconomou yang sesungguhnya adalah Yiorgos Anagnostakis.
Dia ini pengacara yang pulang dari pengasingan di Tashkent pada
1975. Ia kini tinggal tidak jauh dari Athena.
Nama "Katis" tidak ditemukan dalam file kepolisian. "Anda harus
menemukan namanya yang sesungguhnya," kata anggota polisi yang
dimintai bantuan oleh Nicholas.
Dalam pada itu, Nicholas belum sampai pada akhir perburuannya
tatkala kejadian yang tidak di harapkan muncul. Ia berhasil
menemukan apartemen modern tempat bekas hakim Anagnostakis
bermukim. Tetapi orang itu telah meninggal oleh penyakit kanker,
hanya beberapa hari sebelumnya.
Mengenai "Katis", Nicholas mendapat saran dari seorang bekas
gerilyawan, agar ia menemui seorang pengacara yang tinggal di
Yunani Utara. Orang ini boleh jadi mengetahui "Katis", sebab
dalam periode yang sama ia mendapat tugas yang sama dengan
"Katis" di markas besar gerilyawan di Pegunungan Grammos. Nama
pengacara tersebut adalah Demitris Gastis. Ia sedang memulihkan
kesehatan nyadari penyakit jantung, di desa kelahirannya,
Dilofo, di utara Ioannina.
Nicholas mengerti, sebagai hakim pada divisi ke-11 gerilyawan
bersenjata di Pegunungan Grammos, Gastis banyak mengirim orang
ke depan regu tembak. Ia kemudian berhadapan dengan tokoh yang
periang, dengan rambut putih berombak dan kaca mata bergagang
tanduk. Ia mempersilakan Nicholas masuk ke rumahnyayang sejuk,
dengan kursi berbantal empuk dan dinding yang dihiasi kerajinan
tangan.
Nicholas memperkenalkan dirinya sebagai wartawan Yunani-Amerika
yang sedang melakukan riset untuk menulis buku tentang perang
sipil Yunani. Bekas hakim itu mendengarkan dengan takzim,
tersenyum di sana-sini, dan segera bertambah ramah. "Apakah Anda
ingat nama seorang hakim ketua di sekitar Pegunungan Mourgana
pada zaman itu ?" tanya Nicholas.
"Ya," sahut Gastis. "Namanya Anagnostakis, dan dia baru saja
meninggal."
"Masih ada seorang lagi," balas Nicholas. "Dia dikenang penduduk
dengan nama Katis. Tetapi konon ia juga telah meninggal."
Pancingan Nicholas mengena. Gastis tersenyum bangga sebelum
melantamkan pengetahuannya. "Tidak," katanya. "Dia belum mati.
Saya pikir, dia malah sekarang ini tinggal di sekitar Athena."
Nicholas berusaha menyembunyikan kegembiraannya. Gastis duduk
tersenyum, menyilangkan kakinya yang bersandal, kagum sendiri
akan kemampuannya memberikan keterangan berharga kepada lelaki
yang mengaku wartawan itu. Setelah berhasil menekan
kegembiraannya, dengan nada datar Nicholas bertanya, apakah
Gastis ingat nama "Katis" yang sesungguhnya.
"Lykas," jawab Gastis tangkas. "Achilleas Lykas!"
Dan Gastis terus mengoceh. Bila Nicholas ingin mengetahui detil
operasi militer di daerah Mourgana, Gatis menyarankan ia singgah
di Ioannina, dan mewancarai bekas Kepala Staf Komando Epirus,
yaitu "Mayor Jenderal Yiorgos Kalianesis." Bekas jenderal
gerilya ini mudah dijumpai. Ia kini mencari nafkah sebagai
kerani di sebuah hotel pariwisata kecil, Hotel Alexios. Ia hanya
bekerja malam hari.
Ketika Nicholas memasuki lobi hotel yang kelihatan kotor dan
sumpek itu, ia segera menemukan sang 'jenderal' di belakang
meja. Kecuali kepalanya yang sulah dan rambutnya yang jarang
beruban, ia masih tampak perwira. Lengan kemejanya digulung.
Celananya kusut.
Tidak banyak yang bisa digali dari Kalianesis, sebab ia pindah
bertugas dari Desa Lia dua bulan sebelum Eleni menjalani
eksekusi. Ia tidak bisa bercerita tentang detil pengadilan itu.
Tetapi ia menyarankan Nicholas menjumpai seseorang. "Seseorang
bernama Lykas, yang lebih kesohor denga julukan Katis!"
Dengan berpura-pura bersikap dingin, Nicholas mengatakan ia
bersedia saja menemui Lykas, tetapi tidak tahu di mana orang itu
tinggal. Mungkin di sekitar Athena. "Tidak," sahut Kalianesis
dengan bangga. "Dia tidak di Athena, melainkan di sini, di
Ioannina. Saya tidak tahu alamatnya yang pasti. Tetapi ia
mempunyai apartemen di Jalan Napoleon Zervas." Hampir saja
Nicholas memekik lantaran kegembiraan. Tetapi ia berhasil
menguasai dirinya.
Nicholas dengan mudah menemukan jalan itu, dan mulai mencari
nama yang dibutuhkannya dari pintu ke pintu. Akhirnya ia membaca
nama yang dicarinya pada rumah nomor 46. Sebuah bangunan modern
bertingkat enam.
Dia mundur beberapa langkah ke jalan raya, menengok ke atas. Di
balik jendela, sebuah lampu menyala terang. Ia membayangkan
"Katis" duduk dengan tenang dan penuh perasaan aman, rapi, dan
dengan rasa puas seorang hakim pensiunan. Ia tentu yakin
kejahatan perangnya sudah terkubur di dalam masa silam.
Nicholas tidak bisa menebak, dengan siapa saja "Katis" tinggal
di atas sana. "Aku bisa saja masuk dan langsung menyerangnya,"
pikir wartawan itu. Semua hasil risetnya toh membuat ia sampai
pada kesimpulan bahwa "Ketis"lah satu-satunya tokoh yang masih
hidup yang bertanggung jawab atas pembunuhan ibunya. Tetapi
sebagai seorang investigative reporter sejati, ia harus tahu
sejauh mana bekas hakim itu terlibat, dan hukuman apa yang
pantas buatnya.
Betulkah ia pengambil inisiatif bagi penyiksaan dan pembunuhan
ibunya? Atau barangkali ia hanya sekadar boneka? "Aku perlu
menguji beberapa bukti sebelum menjumpainya," tulis Nicholas. Ia
akhirnya surut, kembali ke Kota Ioannina yang hampir tidur, dan
duduk semalaman di kamar hotelnya.
Pagi pun tiba di kota kecil Yunani itu. Nicholas memutuskan
kembali ke kampungnya, ke tempat ibunya pernah hidup -- dan mati
-- untuk berpikir dan merenung. Dalam perjalanan ke Lia, ia
kembali terkenang pada kata-kata yang sudah ratusan kali
didengarnya dari ayah dan saudara-saudaranya: "Tin fagane i
horiani." Penduduk desa-lah yang telah membinasakah Eleni!
Di mata keluarga Nicholas, para gerilyawan komunis dipandang
sebagai bencana yang tak terelakkan, sebagai semacam setan,
bagian dari suratan takdir yang harus diterima dengan tabah.
Mereka lebih suka mempersalahkan para tetangga, yang getol
meniup-niupkan rahasia kepada polisi dan petugas keamanan, dan
bersaksi palsu di pengadilan.
Dilema inilah sekarang yang dihadapi Nicholas. Mungkin saja
penduduk desa itu lebih bertanggung jawab terhadap kematian
ibunya, ketimbang mereka yang menjatuhkan hukuman, atau
menembakkan peluru.
Dunia Eleni diperintah oleh tenung, takhyul, hantu, dan setan,
yang dengan tabah dihadapi mereka dengan doadan kelembutan.
Tetapi perang demikian kejamnya, dan ia harus melindungi dirinya
serta kelima orang anak yang sangat dikasihinya. Ketika
perempuan itu melihat, diperlukan tindakan yang lebih jelas
untuk menghadapi saat-saatyang begitu keras, ia sampai pada
pilihan yang menentukan. Ia harus mengorbankan hidupnya sendiri
untuk keselamatan anak-anaknya. Dan ia menemukan kekuatan.
"Sebelum perburuanku berakhir, aku harus berusaha memasuki dunia
ibuku dengan sikap seorang dewasa," kata Nicholas Gage. Dia
ingin menyingkapkan rahasia batin bunda kesayangan itu. Ia ingin
membaca perasaan Eleni menghadapi dunianya yang sempit. Dia
mengambil sikap ini untuk membaca keinginan ibunya tentang
bentuk pembalasan yang akan dilakukannya. Dalam renungan
batinnya, Nicholas mencoba berteriak menyeru masa silam: "Ibu,
apa yang kau inginkan dilakukan anakmu untuk menebus pembunuhan
itu?"
Rumah tempat Eleni Gatzoyiannis menanggung siksaan adalah juga
rumah tempat ia dibawa sebagai pengantin muda pada usia 19
tahun. "Di rumah itulah aku dan saudara-saudaraku dilahirkan,"
tulis Nicholas. "Di situ kami bermain-main, dan berkelahi."
Rumah itu kini tinggal puing. Hanya berandanya yang masih utuh.
Di beranda itu Eleni suka menjahit dengan mesinnya yang diengkol
tangan pada senja-senja yang hangat dan indah. "Di sini kami
menderita kelaparan, tetapi juga mengecap kebahagiaan. Kenangan
kami jauh lebih kuat ketimbang bangunan yang tinggal reruntuhan
ini."
Dalam bayangannya, Nicholas membangun kembali rumah itu, batu
demi batu. Ia harus melakukan itu sebelum mendatangi Lykas, atau
siapa pun yang terlibat dengan kematian ibunya. "Aku harus
menciptakan kembali desa yang hilang ini," kata sang wartawan.
"Dunia misterius yang lenyap dari panorama Zaman Tengah, dengan
mozaik yang tercerai-berai." Untuk itu, ia kembali ke musim
gugur tahun 1940.
Perang Dunia II pecah. Yunani diduduki pada 1940. Eleni
Gatzoyiannis menemukan dirinya terperangkap di desanya yang
dikepung gunung. Ia bertanggung jawab menyelamatkan lima orang
anaknya melalui tahun-tahun berdarah dan kelaparan.
Perang memutuskan hubungan Eleni dengan suaminya, Christos, yang
merantau ke Amerika Serikat dan mencari makan sebagai penjaja
sayuran. Selama 14 tahun perkawinan mereka, Christos tidak
pernah lupa menyantuni istrinya. Selama berkumpul 11 tahun di
Yunani, pria itu memberi Eleni empat orang anak perempuan.
Ketika Christos berangkat lagi ke Amerika, November 1938, Eleni
-- yang oleh penduduk kampungnya dijuluki Amerikana sedang
mengandung. Anak itulah kemudian yang kita kenal sebagai
Nicholas Gage.
Pendudukan Yunani oleh Italia, kemudian Jerman, menutup negeri
itu dan memutuskan suplai makanan pokok. Di desa seperti Lia,
beberapa petani segera menderita kelaparan. Banyak yang mati
membeku di padang salju ketika mencoba melintasi pegunungan di
musim dingin, untuk menukarkan barang-barangnya yang masih
berharga dengan sedikit jagung ke Albania.
Tetapi Eleni tidak menempuh cara itu. Anak-anaknya memang
berpakaian compang-camping, dan tidak bersepatu. Tetapi mereka
bertahan dengan tetumbuhan liar yang bisa dimakan, dengan susu
kambing, dan tepung jagung dari penggilingan kakek Nicholas.
Maka gerakan perlawanan pun bermunculan di dataran tinggi dan
Pegunungan Yunani. Yang paling kuat di antaranya adalah kelompok
kiri ELAS, akronim Yunani untuk Tentara Pembebasan Rakyat
Nasional. Lia segera menjadi pusat kegiatan gerilyawan melalui
upaya dua pemuda desa, kakak beradik Skevis. Mereka ini menjadi
komunis berkat pendidikan di sebuah akademi provinsi.
Pada penghujung 1944, pasukan Jerman mundur dari Yunani.
Tinggalah ELAS, yang bertebaran di seantero negeri itu. Karena
mereka merasa dicurangi dalam pembentukan pemerintahan koalisi
Yunani, mereka mencoba merebut kekuasaan di Athena, Desember
1944.
Sementara pertempuran berlangsung di ibu kota, polisi rahasia
komunis berhasil membunuh 13.500 penduduk sipil dalam tempo
hanya sebulan, di sekitar Athena saja. Dengan bantuan tentara
Inggris, pemerintah Yunani akhirnya berhasil mengalahkan dan
melucuti kaum komunis.
Polisi pemerintahan kanan kemudian balik melakukan pembalasan
terhadap para bekas gerilyawan. Sementara itu, Eleni mulai
mengharapkan lagi berita dari suaminya di perantauan.
Sepucuk surat akhirnya datang dari Amerika, bersama sebuah
bingkisan berisi gula-gula, obat-obatan, pakaian, dan sepatu.
Eleni membagi suka citanya dengan para tetangga.
Selama periode itu, Eleni melindungi dua gerilyawan muda ELAS di
rumahnya. Kedua orang itu, yang dicari dan dikejar polisi
pemerintah, kemudian lari ke Albania.
Di luar perbatasan Yunani, para gerilyawan kiri
mengorganisasikan dirinya kembali dengan nama Tentara Demokratis
Yunani. Mereka mulai melakukan serangan-serangan mendadak di
dusun-dusun pegunungan di utara Yunani.
Pada suatu hari, Eleni ke Ioannina untuk membeli emas kawin bagi
putri sulungnya, Olga. Di kota itu ia melihat sekelompok gadis
petani yang baru saja melarikan diri dari markas gerilyawan.
Gadis-gadis itu tadinya diculik dari desa mereka, untuk
digabungkan dengan pasukan bersenjata komunis di gununggunung.
Eleni sangat khawatir kalau kejadian seperti itu menimpa Lia. Ia
menulis surat kepada Christos. Tetapi sang suami menjawab: "Jika
mereka sampai ke kampung, tetaplah tinggal di dalam rumah. Dalam
pada itu, bukankah gerilyawan ini bangsa kita jua? Mereka
berjuang untuk hak-haknya. Aku mencari makan sepanjang hidupku
tanpa merugikan orang lain. Mungkinkah orang lain akan merugikan
diriku?" Ternyata Christos terlalu optimistis.
Pada 27 November 1947, pasukan gerilya memasuki Lia. Mereka
mengumpulkan gandum dan bahan makanan lainnya dari setiap rumah.
Mereka juga memerintahkan kaum wanita bekerja: membangun
benteng, memasak, menggali kuburan, mengangkut orang luka.
Pada suatu hari Eleni menyaksikan serombongan milisia wanita
melalui desanya. Eleni sadar, suatu saat putrinya bisa saja
dipaksa ikut menambah kekuatan para gerilyawan. Meskipun mereka
berhasil survive setelah periode itu, mereka pasti tidak akan
mendapat pasangan hidup di tengah masyarakat desa yang begitu
ketatnya memegang tradisi.
Saking kehilangan akal mencari jalan menyelamatkan putri
sulungnya dari wajib militer, Eleni membakar kaki Olga sehingga
anak itu tidak bisa berjalan. Tetapi kaum gerilyawan tidak
kehabisan akal. Mereka mengambil putri kedua Eleni, Kanta, yang
baru berusia 15, lagi pula kurus dan sakit-sakitan.
Setelah dipermalukan dengan cara dipaksa mengenakan celana
panjang di depan umum, Kanta mulai menjalani "pencucian otak"
yang gencar dan latihan perang gerilya dari pagi hingga petang.
Kelaparan dan keletihan membuat kondisi anak itu semakin parah.
Ia akhirnya disuruh pulang karena dianggap tidak berguna.
Komisaris politik setempat kemudian merencanakan membentuk
polisi rahasia, lengkap dengan penjaranya, di Lia. Hal ini
dianggap perlu untuk menjamin kerja sama dengan penduduk. Entah
mengapa, justru rumah Eleni yang dipilih untuk keperluan itu. Ia
diberi waktu 24 jam untuk mengungsikan keluarganya. Mereka
pindah ke rumah ibu Eleni, di bagian desa yang agak bawah.
Polisi rahasia itu mulai menghasut penduduk untuk saling
melaporkan. Tahanan mereka ditempatkan di gudang bawah tanah
rumah Eleni, dieksekusi, dan dikuburkan di pekarangan rumah itu.
Eleni sia-sia menghindarkan anak-anaknya dari pemandangan yang
keras dan menjijikkan di sekitar mereka. Pada suatu hari, Kanta
malah menemukan jenazah yang masih hangat sementara menyabit
untuk ternaknya.
Pada April 1948, semua wanita yang memiliki anak di bawah 14
tahun dipanggil untuk sebuah pertemuan di gereja. Seorang
gerilyawan wanita mengumumkan program baru mereka yang dinamakan
pedomazoma. Artinya, "pengikutsertaan anak-anak."
Diberitahukan, negeri-negeri "demokrasi rakyat" Albania,
Yugoslavia, dan Bulgaria berkenan mengambil semua anak-anak
untuk dimasukkan dalam kamp khusus, diberi makan, dan dididik
sebagai komunis. "Kelak setelah perang usai," kata propagandis
itu, "dan bendera merah berkibar di negeri kita, anak-anak ini
akan dikembalikan dalam keadaan sehat dan bahagia, siap untuk
mengambil tempat mereka dalam Yunani Baru."
Hanya segelintir ibu yang memberikan anaknya secara suka rela.
Yaitu mereka yang sudah berputus asa mencari makanan untuk
menghidupi anak-anak itu.
Pada mulanya Eleni berharap hendaknya program itu benar-benar
suka rela. Tetapi kemudian ia menerima laporan Nicholas. Anak
itu secara kebetulan mendengar percakapan dua orang gerilyawan.
"Pengikutsertaan anak-anak" itu akan dilancarkan secara paksa.
Eleni segera merencanakan pelarian.
Untuk pelaksanaan rencana itu ia meminta bantuan Lukas Ziaras,
tukang patri yang menikah dengan Sovla, sepupu Eleni. Lukas
sendiri mempunyai enam anak. Eleni mendorong lelaki itu untuk
memimpin pelarian.
Usaha pertama dan kedua gagal. Yang pertama karena anak Lukas
yang masih kecil menangis. Dan yang kedua karena cuaca berkabut
yang tidak memungkinkan mereka melihat jalan. Beberapa hari
kemudian sejumlah gerilyawan mendatangi rumah Eleni. Mereka
meminta seorang wanita untuk membantu panen gandum di sebuah
desa yang berdekatan. Eleni dipaksa memilih. Ia menunjuk
Glykeria, yang baru berusia 14 tahun. Pelarian ditunda sampai
anak itu pulang.
Awal Juni, rombongan pertama anak-anak desa itu mulai
diberangkatkan ke Albania. Lukas mendesak Eleni. Pelarian tak
bisa ditunda lagi. Pada hari yang direncanakan, seorang
gerilyawan muncul di rumah Eleni, meminta seorang wanita untuk
membantu menggebah gandum. Eleni memutuskan untuk berangkat
sendiri.
Eleni memerintahkan sisa keluarga itu mengikuti Lukas. Dalam
beberapa menit yang masih tersisa, ia memesankan kepada Oga
untuk membuat asap bila rombongan itu sudah mencapai daerah yang
dikuasai pasukan pemerintah. "Buatlah asap itu di tempat
ketinggian, agar aku bisa melihatnya dari tempatku bekerja, dan
tahu bahwa kalian sudah selamat."
Ibu yang mulia itu kemudian menciumi anak-anaknya secara
bergiliran. Setelah itu memeluk Nicholas dan Kanta. Eleni
menugaskan Kanta untuk menjaga Nicholas selama pelarian yang
berbahaya itu. "Kemudian ia berpaling memandangku, seolah-olah
ingin membakar masa depannya dalam kenangan yang indah," tulis
Nicholas kelak.
"Besok malam," kata Eleni kepada anak bungsu lelaki itu, "engkau
mesti memegang tangan Kanta sepanjang perjalanan. Engkau harus
berani, demi ibumu."
"Ia mencoba tersenyum dengan susah payah," kenang Nicholas.
"Ciumlah aku, Nak," kata Eleni, "untuk saat yang sangat khusus
ini." Dan Nicholas menghempaskan tubuh kecilnya yang kurus ke
dalam pelukan sang Ibu. Kanta kemudian menggenggam tangan anak
itu. Dan sang Ibu berlalu, menuju kantor komisaris politik, ke
kantor penguasa komunis, yang sedang mendurjanai kampung halaman
mereka. Itulah saat terakhir Nicholas melihat ibunya dalam
keadaan hidup.
Pada Januari 1982, Nicholas mengantarkan anak istrinya dari
Athena ke Amerika Serikat. Ia tidak menceritakan kepada mereka
alasan tindakan itu. Ia hanya mengatakan, pekerjaannya di Yunani
hampir rampung.
Ia sendiri akan kembali ke Yunani, tetapi lebih dulu
menyelesaikan bagian-bagian akhir bukunya. Bagaimana wanita itu
'diadili', disiksa, kemudian dibunuh. Ia berharap, dengan
dokumen tertulis itu kelak menjadi jelas motif tindakan yang
akan diambilnya kemudian. Ya, ia akan kembali ke Yunani, membuat
perhitungan dengan "Katis".
Tiga bulan kemudian Nicholas balik ke Athena. Ia langsung ke
Ioannina, untuk menjumpai Lykas-Katis. Orang itu ternyata sudah
pindah ke Kota Konitsa, sekitar 35 mil dari Ioannina.
Di tepi Kota Konitsa, Nicholas menghentikan kendaraannya.
Sepucuk pistol diselipkannya di punggung. Sebuah alat perekam
mini dimasukkannya ke dalam saku kemeja, supaya kelak ada
kesaksian tentang percakapan mereka sampai saat terakhir. "Aku
ingin mendengar apa yang dikatakan oleh bajingan itu tentang
pembunuhan ibuku," tulis Nicholas. Ia kini sepenuhnya siap, siap
untuk menuntut balas!
Rumah Lykas berada tepat di bagian ketinggian Kota Konitsa. Di
pintu, Nicholas disambut seorang wanita berusia 30-an, anak
perempuan Lykas. Kemudian muncul wanita yang lebih tua, istri
Lykas.
Kedua wanita itu menyambut dengan ramahnya tatkala Nicholas
memperkenalkan diri sebagai seorang yang dikirim para kamerad
lama Lykas untuk mewawancarai tokoh itu tentang masa silam. Ia
diajak naik ke lantai dua melalui tangga pualam. Dari salah satu
kamar terdengar suara orang memasak makanan, dan suara anak-anak
bercakap.
"Lykas tampil dengan gaya teatral," tulis Nicholas, menceritakan
kesannya pada pertemuan pertama itu. "Dia lebih tinggi dari yang
kuduga, dan mengenakan setelan abu-abu yang terlalu hangat untuk
udara saat itu. Rompinya tidak dikancing. Penampilannya
benar-benar militer.
"Ia berjalan tegak. Meski sudah berusia 78 tahun, lengannya
masih berotot. Pandangan matanya tajam. Hanya lenggangnya yang
mengesankan seorang tua. Beberapa giginya sudah ompong, membuat
air mukanya kadang tampak lucu. Tetapi bila ia berbicara, kesan
itu akan hilang. Suaranya berat dan dalam, agak sengau."
Ia menjabat tangan Nicholas. Kemudian duduk dan mulai bertanya
tentang Gastis serta semua bekas gerilyawan yang disebut-sebut
Nicholas. Ia sebetulnya menguji, apakah Nicholas benar-benar
sudah bertemu dengan orang-orang itu. Dan ia tampak puas.
Ia mulai bercerita bagaimana ia dulu naik gunung untuk
bergerilya pada 1946, dan menghabiskan 12 tahun di luar negeri
setelah perang sipil berakhir. "Bukan 12, melainkan 17 tahun! "
sela istrinya. "Ketika itu anak perempuan kami masih berusia
satu bulan. Dia pergi untuk membebaskan dunia. Untuk menjadi
pahlawan." Nicholas membaca ketegangan di antara kedua suami
istri itu.
"Lebih baik kau diam," kata Lykas kepada istrinya. "Biarkan aku
bercerita kepada tamu ini."
Nicholas mulai bertanya tentang beberapa perwira pemerintah yang
dijatuhi hukuman mati pada 1948. Lykas menjawab bahwa hukuman
itu dijatuhkannya dengan harapan mereka mendapat pengampunan.
"Tanggung jawab sepenuhnya berada pada orang-orang di
Koliyiannis," katanya.
Kemudian Nicholas mengatakan, masih ada hal yang ingin
diketahuinya. "Ada perkara-perkara sipil di Lia di mana Anda
ambil bagian," kata Nicholas dengan suara yang bertambah pelan
dan tajam.
"Tidak ! Tidak ! " jawab Lykas. "Aku tidak pernah mengadili
penduduk sipil."
"Tetapi sekitar 300 orang penduduk desa ada di sana dan berani
bersaksi. Semua mereka mengingat seorang hakim bernama Katis.
Bukankah Anda dipanggil dengan nama itu?"
"Tidak ! Aku tidak punya nama samaran ! "
"Semua bekas gerilyawan yang kuwawancarai mengatakan engkau
bernama Katis. Kameradmu Kalianesis dan Gastis mengatakan
kepadaku bahwa Katis adalah Achilleas Lykas dari Konitsa.
Mengapa sekarang kau katakan kau tak pernah memakai nama itu?"
Lykas berdiri. "Pokoknya, semua keputusan diatur di markas besar
di Koliyiannis. Tidak ada orang lain yang bertanggung jawab.
Kami melaksanakan kewajiban kami, dan menjatuhkan hukuman dengan
harapan para terdakwa itu bakal diampuni. Itulah soalnya! Masih
ada yang perlu dibicarakan?"
Keangkuhan Lykas justru membangkitkan amarah Nicholas. "Apakah
Anda memang tidak akan pernah mengakui kebenaran?" katanya.
Tetapi suara Lykas malah bertambah tajam. "Apakah Anda tidak
mendengar kata-kata saya?" ujarnya. "Aku telah menceritakan
segalanya. Tidak ada lagi yang mau kukatakan. Semuanya sudah
lampau. Sudah silam."
"Untukku, semuanya belum lampau ! " Nicholas sudah mulai
terbakar oleh dendam dan kemarahan. "Hari terakhir dari
kehidupan ibuku . . . "
"Mengapa?" sela Lykas.
"Eleni Gakoyiannis. Kau ingat seorang wanita bernama Eleni
Gakoyiannis?"
"Eleni Gatzoyiannis . . . Tak pernah aku mendengar nama itu.
Jika ia pernah diadili, tentu bukan aku yang mengadilinya. Aku
tak tahu."
"Dan pada hari ibuku meninggal
"Jangan menimpakan kesalahan itu padaku ! Aku bisa tersinggung."
"Tersinggung? Kau telah membunuh ibuku!"
"Aku tidak terlibat. Aku memang pernah mengadili sejumlah
orang. Tetapi aku tidak terlibat denan Eleni Gatzoyiannis. Kau
lebih baik mencari orang lain."
"Aku sudah menemukan orang yang tepat," pekik Nicholas.
Tangannya perlahan-lahan menyentuh gagang pistolnya, dingin dan
kaku. "Ada tiga ratus saksi. Dan mereka tidak berbohong."
"Kau mendapat keterangan yang salah, sobat," kata Lykas, dengan
nada yang agak ramah.
Nicholas sudah membayangkan, sebentar lagi tubuh itu akan
terhempas diterjang peluru. Berbagai sosok kenangan tampil dalam
ingatannya pada saat-saat yang gawat itu.
"Aku yakin bahwa aku harus membunuh lelaki ini," tulis Nicholas
tentang adegan yang tegang itu. "Tetapi aku juga tidak
kehilangan akal sehatku. Hanya ada satu jalan dari rumah ini
menuju kota, untuk melarikan diri. Dengan demikian aku harus
juga membunuh istri Lykas, anak perempuannya, dan pengasuh
cucunya. Kalau Lykas saja yang dibunuh, para wanita itu akan
memanggil polisi, dan aku akan tertangkap sebelum mencapai
Konitsa."
Pikiran itu membuat Nicholas tak jadi menarik pistolnya. Ia
menunggu Lykas mendekat. Ia ingin orang itu lebih dulu
bertindak, sehingga ia mempunyai alasan membela diri. Ia
memancing kemarahan Lykas. Ia meludahi muka orang tua itu.
Di Yunani, tindakan meludahi muka seseorang adalah penghinaan
yang paling buruk. Jauh melampaui segala caci maki, bahkan
tamparan maupun tonjokan. Lykas tersentak menerima tindakan itu.
Ia bangkit, dan menggeram dengan gaya seorang hakim militer.
"Kau meludahi mukaku?" desisnya, dengan nada setengah tidak
percaya. "Meludahi mukaku? Kau tahu siapa aku?"
Nicholas memang menunggu saat ini. "Dekatlah padaku, orang tua,"
pikirnya. "Dekatlah padaku, dan pistol ini akan meletupkan
kepala tengikmu itu !"
Justru pada saat itu istri Lykas menghambur keluar, dan berdiri
di antara suaminya dan Nicholas. Perempuan itu melihat dengan
jelas tangan kanan Nicholas yang menggenggam sesuatu di balik
jasnya. Suaranya gemetar. "Achileas!" katanya mencegah suaminya.
"Jangan maju ! Jangan bergerak ! "
Perlahan-lahan Lykas mengendur, dan duduk terhempas ke kursi. Ia
mengusap wajahnya yang penuh dengan ludah Nicholas. Anak
perempuannya kemudian muncul di pintu. "Ada apa?" tanya anak
itu. "Apa yang terjadi di sini?"
Nicholas berpaling. "Ibuku telah terbunuh," katanya tajam. "Dan
ayahmulah orang yang bertanggung jawab." Nicholas kemudian
melangkah ke luar, membanting pintu, turun ke jalan, dan kembali
ke mobilnya ....
"Dalam perjalanan pulang ke Ioannina, segalanya tampak berubah,"
kenang Nicholas. "Pemandangan mengabur, seperti berada di bawah
permukaan air. Dan aku merasa frustrasi.
"Aku sudah berhadapan dengan bajingan itu, dan aku gagal
membunuhnya. Dendam yang sudah tersimpan begitu lama kehilangan
arti pada saat terakhir. Aku harus mencari saat yang tepat,
ketika tidak ada hal yang mengganggu. Tidak juga anak istrinya."
Dan saat itu tiba lima bulan kemudian, di Kota Egoumenitsa, di
tepi Laut Ionia.
Lykas dan keluarganya sedang berlibur di situ pada bulan
Agustus. Nicholas menemukan tempat tinggal mereka. Dan pada
suatu hari ia melihat istri, anak, dan cucu Lykas meninggalkan
rumah menuju pantai untuk berenang. Orang tua itu pasti tinggal
sendirian di dalam rumah.
Nicholas berhasil membuka pintu. Lykas sedang tertidur di kursi.
Ia hanya beberapa meter dari pembunuh ibunya itu. Sepucuk pistol
terselip di balik kemeja Nicholas. Tetapi senjata itu tampaknya
bahkan tidak dibutuhkan. Sebuah bantal sudah cukup untuk
membekap wajah orang ini dan membuat ia kehabisan napas. Kelak
keluarganya pasti akan menduga ia mati karena serangan jantung.
"Aku berdiri di sana, memandangi orang yang bertanggung jawab
atas pembunuhan ibuku," tulis Nicholas. "Beberapa menit aku
berdiri di situ, kemudian berbalik, berjalan ke luar, dan
menutup pintu dengan perlahan. Kini aku sadar, semuanya telah
selesai.
"Memang bukan seperti ini keputusan akhir yang kurencanakan.
Mungkin tidak memuaskan. Pembunuhan terhadap ibuku tetap pahit,
dan dendam terhadap pembunuhnya mungkin tak akan sirna.
"Setelah meninggalkan Egoumenitsa, aku tidak melakukan sesuatu.
Aku bertanya pada diriku sendiri, mengapa aku tidak membunuh
Lykas. Aku tahu: ketakutanlah yang telah membatalkan niatku.
Ketakutan untuk berpisah dengan anakku, tetapi juga ketakutan
akan bayangan pembunuhan berantai yang tak habis-habisnya,
ketakutan akan pembalasan dendam yang berkepanjangan sampai
beberapa generasi ke depan. Tetapi ada hal lain: pemahaman yang
kudapati mengenai sikap ibuku setelah aku mempelajarinya
bertahun-tahun.
"Sampai saat terakhir hidupnya, ibuku tidak pernah mengucapkan
kebencian kepada orang-orang yang menyakitinya. Ia tidak
mengutuk. Ia hanya mengungkapkan kerinduannya kepada
anak-anaknya. Betapa mulia dan bersihnya hati wanita ini.
"Ibuku tidak bertindak seperti Hecuba, yang menjalani saat
terakhirnya dengan menyumpah para penyiksanya. Ia adalah
Antigone. Dia menyongsong kematian dengan berani, karena ia
sadar telah memenuhi kewajiban untuk orang-orang yang
dicintainya. Seperti Antigone-nya Sophocles berkata kepada tokoh
yang mengutusnya menuju kematian, "Aku tidak hidup untuk
membenci, melainkan untuk mencintai."
"Maka demikianlah Eleni Gatzoyiannis telah memberikan hidupnya
untuk dunia ini. Lykas tidak cukup pantas untuk dibinasakan. Ia
terlalu kotor untuk hidup Eleni yang demikian mulia. Laksana
pohon murbei di pekarangan kami, yang tetap tegak kendati rumah
sudah porak poranda, demikian pulalah cinta Eleni kepada kami.
Berakar, tak mungkin direnggutkan dari buminya. Ia memayungi
anak-anaknya, bahkan kemudian cucu-cucunya, cinta yang demikian
suci dan tulus.
"Kalau aku jadi membunuh Lykas, aku mencabut akar cinta itu dari
diriku sendiri. Aku menjadi sama dengan pembunuh ibuku,
mencemari kemanusiaan dan kasih sayang.
"Dengan membunuh Lykas boleh jadi aku merasa lega. Tetapi aku
sadar tidak mungkin melakukannya. Kasih sayang Ibu, sikapnya
yang lembut dalam bayangan masa lampau, tetap mengikat kami
dalam jalinan yang tulus. Bahkan sering kali aku merasa ia tetap
hadir di dalam hidupku.
"Mengobarkan kebencian dan membunuh Lykas sama dengan memutuskan
jembatan antara aku dan Ibu. Segalanya akan binasa, segala bekas
Eleni yang tinggal dalam kenangan dan kasih sayangku . . "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini