Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Dua langkah menebak cuaca

Komputerisasi mulai memasuki bidang metereologi. di Indonesia masih mengandalkan alat buatan tahun 1960. (ilt)

9 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBERAPA jauh sebetulnya ramalan cuaca bisa dipercaya, jawabannya mungkin simpang siur. Tetapi belakangan ini, lembaga dan perorangan yang membutuhkan jasa meteorologi, agaknya boleh berharap banyak. Dengan masuknya dua teknologi -- komputer dan satelit cuaca -- keterampilan peramalan cuaca mengalami kemajuan besar. Terutama sejak 25 tahun terakhir. Ramalan yang menyangkut perubahan besar, misalnya badai, kini telah berkembang menjadi ilmu yang sesungguhnya. Ramalan seperti itu, meliputi jangka waktu dua sampai sepuluh hari ke depan, yang biasanya digolongkan pada "ramalan jangka menengah". Sejak komputer dilibatkan, peramalan cuaca jangka menengah -- disebut juga klimatologi -- maju dua langkah ketimbang masa sebelumnya. Kini, ramalan cuaca empat hari ke depan, sama kuatnya dengan proyeksi dua hari pada sekitar 15 tahun lampau. Di Eropa dan Amerika Serikat, komputerisasi pendataan meteorologi menjadi perhatian yang sungguh-sungguh selama tahun terakhir. Pusat Meteorologi Nasional Amerika, misalnya, memasuki babak baru dengan menggunakan Control Data Cyber 205. Jenis ini sama dengan yang dibeli Dinas Meteorologi Inggris tahun lalu. Cyber 205 diandalkan mampu menyelesaikan ramalan menyeluruh 10 hari hanya dalam 15 menit. Dengan pesawat sebelumnya, IBM 360/195, pekerjaan itu memakan waktu lima jam. Tetapi Pusat Klimatologi Eropa di Reading, Inggris, melangkah lebih maju. Akhir tahun ini lembaga tersebut akan menggunakan Cray XMP. Mesin ini bekerja tiga sampai lima kali lebih cepat ketimbang Cray-1 A -- dan mungkin lebih cepat daripada Cyber. Perlombaan di bidang komputerisasi ini tampaknya berlangsung cukup seru. Tetapi, komputerisasi saja ternyata tidak lantas menjawab semua persoalan. Buktinya, para ahli meteorologi AS pernah kecolongan, Februari 1979. Di luarpelacakan, mendadak sontak taufan mengamuk dan menimbuni Kota Washington dengan salju setebal dua kaki. Di mana letak kesalahan? Peralatan di kantor cuaca memang 'mencium' gelombang badai yang sedang meluncur dari Pantai Atlantik. Tetapi tidak ada 'laporan' lebih jauh tentang intensitas dan arah malapetaka itu. Ternyata komputer yang dipergunakan tidak diprogram untuk mencatat berbagai efek sampingan yang justru mungkin menimbulkan bahaya besar. Dengan Cray-XMP konon kelemahan itu sudah teratasi. Karena itu, untuk mendapat keterangan yang lebih lengkap di bidang klimatologi, apalagi peramalan jangka pendek, komputer saja tidak cukup. Para meteorolog harus dibantu jaringan observasi yang lebih luas dan lebih baik. Sebagian besar keterangan mengenai angin, suhu, kelembaban, dan tekanan di atmosfer tinggi, datang dari balon-balon yang diluncurkan tiap 12 jam sekali dari 750 stasiun di berbagai penjuru dunia. AS masih dibantu dua satelit polar. Di samping itu, pesawat-pesawat terbang komersial juga memberikan sumbangan yang tidak bisa diremehkan dalam melaporkan data-data angin. Sistem balon juga masih mengandung kelemahan. Dengan laporan yang masuk tiap 12 jam, tidak bisa diadakan persiapan untuk, misalnya, menyongsong badai yang akan mengamuk dalam tiga jam mendatang. Di AS, masing-masing stasiun observasi terpisah 350 km. Sebagai akibatnya, cuaca buruk yang terjadi di sekitar 50 km2 di anatara dua stasiun bisa luput dari pendataan. Dengan peralatan yang semakin modern, toh masih banyak yang belum diketahui dengan pasti mengenai keadaan dan perubahan cuaca. Sebagai contoh, belum seluruhnya diketahui tentang pembentukan awan berhujan, sampai pada proses pencurahannya. Juga belum semua detil mengenai interaksi samudra dan atmosfer dapat diungkapkan. Para peramal cuaca memang mengharapkan satelit yang khusus melacak angin. Di laboratorium Lembaga Atmosfer dan Samudra Nasional di Boulder, Colorado, AS, para ilmuwan memang tengah mempersiapkan pesawat semacam itu. Diberi nama Windsat, satelit ini akan memantulkan kembali getaran-getaran infralaser aerosol, misalnya, dari partikel debu tipis, di atmosfer. Dengan mengukur frekuensi cahaya yang dipantulkan, sebuah instrumen menghitung kecepatan dan arah aerosol, dan dengan demikian kecepatan angin yang menerbangkannya. Teknik ini dinamakan lidar (light radar) radar ringan. Windsat diharapkan meluncur sebelum 1990. Untuk dekade mendatang, AS diperkirakan menghabiskan US$ 60 juta sampai US$ 120 juta untuk teknologi observasi cuaca. Di Indonesia, "alat otomatis justru sering salah," ujar Waan Tarmin, peramal cuaca pada subbidang ramalan jasa meteorologi, Pusat Analisa dan Pengolahan, Badan Meteorologi dan Geofisika. Mengapa? "Kepekaan alat elektronis itu terlalu tinggi," jawabnya. Waan mengaku, kantornya paling sering menerima umpat caci masyarakat. "Masyarakat kurang memahami arti ramalan kami. Hujan tak merata, misalnya, sering diartikan semua tempat akan kebagian hujan." Padahal, hujan tak merata maksudnya "41% sampai 70% daerah yang diramalkan akan diguyur hujan." Di Indonesia terdapat 118 stasiun pengamat cuaca, yang mencatat suhu, kelembaban dan tekanan udara, arah dan kecepatan angin, tinggi dan jenis awan, serta curah hujan. Catatan dibuat tiap jam, dan dikirim ke Pusat setiap 3 jam. Data itu masih ditambah dengan keterangan yang dikumpulkan 20 balon-radiosonde, yang diluncurkan tiga jam sekali. Juga hasil pemotretan satelit GMS (Geo Meteorological Satelite) milik Jepang. Untuk mengumpulkan data sekian banyaknya, Badan Meteorologi dan Geofisika mendirikan sub collecting centre di Medan, Ujungpandang, Biak, Denpasar, dan Kemayoran, Jakarta. Kantor-kantor inilah yang mengumpulkan data dari stasiun di sekitarnya, kemudian mengirimkannya ke Pusat. "Cara dan alat pengirimannya masih sederhana," kata Sawito, kepala subbidang pengumpulan dan penyebaran, BMG. Informasi ini kemudian dimanfaatkan di bidang perhubungan industri, hankam, pertanian, pertambangan -- terutama lepas pantai. Dalam tahun 1982 tidak kurang dari 713.794 data informasi yang dikeluarkan badan ini. Dari April 1982 sampai Januari 1983 lembaga ini menghabiskan Rp 1,6 milyar untuk pembelian peralatan dan pemeliharaan. Anggaran untuk tahun berikutnya direncanakan Rp 5,24 milyar. Baru sebagian alat yang otomatis. Sebagian lagi peralatan manual, buatan 1973. Bahkan ada alat buatan 1960. "Tapi semua nasih jalan," ujar Sawito.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus