Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Rezeki dari sela-sela makam sang sunan

Tiap malam jumat, makam sunan gunung jati di desa astana (cirebon) banyak dikunjungi orang. memberi nafkah kepada pedagang dan pengemis. kadang-kadang para penziarah menyampaikan tawasul. (pan)

9 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESA berpenduduk lebih dari 4.000 jiwa di tepi jalan raya Cirebon, Indramayu itu menjadi seperti pasar malam setiap Kamis sore Puluhan pedagang menggelar berbagai jenis dagangan, mulai dari sejenis kepiting, kembang 7 rupa, kemenyan, hio, lilin, dupa sampai ke pakaian jadi dan sepatu. Pedagang-pedagang itu berderet di kiri kanan jalan aspal selebar 4 meter sampai sejauh 200 meter -- dan berakhir di depan pintu gerbang kompleks pemakaman Sunan Gungung Jati, di Desa Astana. Tokoh penting Wali Sanga yang meninggal di pertengahan abad ke-16 itu, ternyata masih hidup di hati sebagian masyarakat. Sekurang-kurangnya karena kuburnya memberi nafkah kepada banyak orang, di hari-hari ziarah -- yaitu setiap malam Jumat. Sedangkan pada malam Jumat Kliwon, yang dianggap lebih membawa berkat dan hari keramat, tidak kurang dari 20.000 orang datang dari berbagai penjuru tanah air. Kompleks makam itu merupakan sebuah bukit kecil, disebut Bukit Sembung. Tingginya sekitar 25 meter dari permukaan laut. Di atas bukit seluas 4 hektar itulah Sunan Gungung Jati alias Syarif Hidayatullah dimakamkan, berikut kedua istrinya, kerabat dekat, dan anak-cucunya. Seorang di antara kedua istrinya, Lie Ong-tien, konon "hadiah" dari Maharaja Tiongkok waktu itu. Agaknya karena itu di tembok seputar makam banyak diletakkan piring-piring porselen antik buatan Cina sekitar abad ke-14. Makam sang Sunan sendiri berada di puncak Bukit Sembung dalam sebuah ruangan berukuran 16 x 16 meter. Bukit itu dilingkari tembok beton setinggi 3 meter. Untuk mencapai makam Sunan Gunung Jati harus melewati 9 pintu yang terbuat dari kayu jati. Dari lantai dasar sampai ke puncak bukit juga dibuat tembok keliling bersaf-saf, seperti Candi Borobudur. Konon melambangkan jumlah wali yang sembilan. Kini di kompleks makam itu terdapat ribuan kubur para sultan dan bangsawan keempat keraton Cirebon -- Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, Kaprabonan. Sejak dulu hingga kini setiap Senin dan Kamis, para kerabat keraton-keraton itu secara tetap menziarahi makam leluhur mereka dengan membawa kembang 7 rupa dan dupa wangi. Mereka punya hak berziarah sampai ke puncak bukit -- sedangkan penziarah awam hanya sampai ke pintu ketiga. Di depan pintu keempat, disebut Pintu Besar, di lantai berukuran 10 x 15 meter, mereka bersimpuh membaca tahlil, mendoakan arwah para nabi dan wali. Selain membaca tahlil, mereka kadang-kadang juga menyampaikan tawasul yaitu mengucapkan niat ziarahnya kepada Tuhan melalui para wali. "Ada yang ingin usahanya maju, disenangi atasan, gampang jodoh, lekas mendapat pekerjaan," kata Hadi, 46 tahun, kepala Desa Astana. "Asal niatnya bersungguh-sungguh, insya Allah terkabul." Agaknya, permohonan mereka ada juga yang terkabul. Buktinya, tidak sedikit di antara mereka yang kembali ke sana membawa beberapa hadiah sebagai tanda terima kasih: berupa lampu neon, lampu mercury, jam dinding untuk dipasang atau uang tunai ratusan ribu rupiah. Seorang pengusaha dari Jakarta bernazar karena usahanya maju, telah mengaspal jalan 200 meter selebar 4 meter dari pintu gerbang kompleks makam itu. Menemui para penziarah, memimpin tahlil, menerima nazar dan memelihara kompleks makam merupakan tugas 20 orang juru kunci yang ada di sana. Mereka lazim disebut kemit, dipimpin oleh jeneng (juru kunci kepala) yang kini dijabat oleh Haji Muhammad Harun. Di bawahnya ada 4 orang wakil yang disebut bekel sepuh. Di bawahnya lagi ada 8 bekel anom -- setiap bekel anom membawahkan 14 orang kemit. Mereka diangkat oleh Sultan Kasepuhan dan Kanoman secara turun-temurun. Mereka haruslah penduduk asli Desa Astana, yang konon 90% masih keturunan para pengawal Putri Lie Ong-tie, Cina pertama yang mendarat di pantai Cirebon. Mereka bekerja dalam 8 kelompok, masing-masing selama 14 hari. Penghasilan mereka semata-mata dari sedekah para penziarah. Tapi jumlahnya cukup lumayan agaknya. Bila kebetulan berdinas pada malam Jumat Kliwon (dan tidak hujan), sedekah yang terkumpul bisa mencapai Rp 1 juta. Sedang pada malam Jumat lainnya paling tinggi hanya Rp 300.000. Selain sedekah berupa uang, ada yang memberi beras, palawija, nasi tumpeng plus panggang ayam, atau rokok. Selama 2 minggu berjaga, seorang kemit paling sedikit bisa mengantungi Rp 50.000. Tapi berkah Sunan Gunung Jati ternyata tidak hanya melimpah ke tangan para kemit. Para pengemis, yang menurut Lurah Hadi jumlahnya sekitar 60 orang, juga punya kesempatan luas menadahkan tangan mereka. "Ada yang anak-anak usia 8 tahun, ada pula yang kakek-kakek, dan nenek-nenek," tambah si lurah. Sardi, pengemis 12 tahun, setiap Kamis bisa mengumpulkan uang receh sekitar Rp 1.500. Para pengemis -- lelaki, perempuan, tua, muda, dan anak-anak, selalu siap menghadang penziarah di mulut jalan menuju kompleks makam. Begitu penziarah datang, mereka segera "menyergap", merengek-rengek, bahkan ada yang menarik-narik pakaian pengunjung. Kebanyakan tanpa malu menempel ketat pada setiap pengunjung. Namun banyak pula yang gagal merayu penziarah. Jika demikian, biasanya mereka tak segan-segan mencubit penziarah itu. Para pedagang bunga dan peralatan upacara sembahyang lainnya juga mendapat rezeki dari sang Sunan. Begitu pula para penjual buku sejarah atau silsilah Sunan Gunung Jati dan para wali lainnya. Ibu Darsih, penjual bunga, setiap Kamis dan Jumat mendapatkan keuntungan Rp 25.000 bersih. Belum lagi para pemilik warung makanan dan minuman yang jumlahnya belasan. Juga para pedagang kaki lima yang menjajakan sepatu atau pakaian jadi. Tak ketinggalan para pencopet yang umumnya berasal dari Cirebon, Tasikmalaya, Bandung, Karawang. Tentu juga tukang parkir. Setiap malam Jumat sekitar 2.000 sepeda motor dan 500-an sepeda serta puluhan mobil parkir. Tarifnya paling rendah Rp 50, paling tinggi Rp 200 (untuk mobil dan minibis) dan Rp 500 (untuk bis). Ada lima rumah penduduk yang membuka halamannya untuk parkir. Halaman balai desa dimanfaatkan pula untuk menampung kendaraan para penziarah itu. Hasilnya dibagi untuk 12 orang pamong desa dan 4 orang anggota hansip -- setiap orang mendapatkan sekitar Rp 2.000. Pengunjung berombongan dari Cirebon yang menggunakan mobil atau bis harus memarkir kendaraannya di kompleks perkantoran Pertamina di Klayan, sekitar 2 km dari tempat ziarah. Soalnya sejak jembatan Pekik ambruk 3 tahun lalu, semua jenis kendaraan dilarang parkir di sekitar makam. Maka puluhan becak pun siap mengangkut mereka dengan tarif antara Rp 500 sampai Rp 750. Memang mahal. Sebab dengan kendaraan umum biasa, tarifnya paling mahal hanya Rp 200. Tapi tidak sedikit penziarah yang sengaja berjalan kaki, bahkan sejak dari Cirebon, karena berniat membayar nazar. Sunaryo misalnya. Pelajar sebuah sekolah menengah di Cirebon ini baru saja lulus ujian. "Pada saat ujian berlangsung itulah saya berniat dalam hati akan kaslan atau bernazar berziarah ke Astana Gunung Jati berjalan kaki pulang pergi," ujarnya. Dan penziarah yang berjalan kaki seperti Sunaryo, dengan berbagai macam alasan, tidaklah sedikit. Lain lagi dengan Ny. Siantini, 55 tahun, pedagang kelontong keturunan Cina dari Cirebon ini. Ia penziarah setia sejak 10 tahun lalu. "Saya benar-benar berziarah, tidak pernah minta-minta agar kaya," katanya. "Saya hanya mohon keselamatan untuk seluruh keluarga. Dan setiap kali pulang dari ziarah perasaan saya menjadi tenteram," tambahnya. Meskipun beragama Konghucu, Siantini tidak merasa canggung berziarah di tengah umat Islam. "Berziarah ke sini sama saja dengan berziarah ke makam leluhur. Sebab bukankah istri mBah Sunan juga orang Cina?" katanya lagi. Memang ada penziarah yang punya tujuan lain. Ny. Sumirah, petani Desa Babakan, Kabupaten Cirebon, berziarah ke sana "agar tanaman padi dan tebu di sawah bisa tumbuh subur, bebas dari penyakit." Maka ia pun membeli seuntai padi, sejumput tanah dan sebotol kecil air -- semuanya berasal dari sekitar makam. Tanah dan padi ditanam di sawahnya, sedangkan air sumur tadi dimasukkan ke dalam sumur di rumah. Sumini, gadis dari Desa Gegesik, Kabupaten Cirebon, juga punya maksud tertentu. Dara berusia 25 tahun ini merasa terlambat mendapat jodoh. "Kawan-kawan sebaya saya sudah pada kawin dan malah punya anak. Saya malu, karena sampai sekarang pacar pun saya tak punya," katanya. Agar enteng jodoh, Sumini berpuasa sepekan. Pada hari ke-7 mandi malam hari di 7 sumur dalam kompleks makam, lantas ikut membaca tahlil sambil mengucapkan keinginannya. Kalau ketika itu ia tergaet pemuda penziarah, barangkali terkabullah permohonannya. Banyak pula penziarah yang hampir setiap malam Jumat mengunjungi makam Sunan Gunung Jati. Misalnya, Waruma, 47 tahun, kepala Desa Waruroyom, Kecamaun Plumbon, Kabupaten Cirebon. Ia mengaku berziarah tanpa maksud ingin mempertahankan kedudukan atau mohon cepat naik pangkat. "Minta-minta kepada orang yang sudah meninggal itu kan menyimpang dari ajaran Nabi," katanya. Kalaupun ia berziarah, katanya, hanyalah karena ingin agar hatinya tenteram. Katanya: "Pulang dari Astana biasanya saya merasa lebih mantap melakukan ibadat dan menjalankan roda pemerintahan. Saya bisa mengendalikan emosi dalam menghadapi berbagai persoalan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus