DESA berpenduduk lebih dari 4.000 jiwa di tepi jalan raya
Cirebon, Indramayu itu menjadi seperti pasar malam setiap Kamis
sore Puluhan pedagang menggelar berbagai jenis dagangan, mulai
dari sejenis kepiting, kembang 7 rupa, kemenyan, hio, lilin,
dupa sampai ke pakaian jadi dan sepatu.
Pedagang-pedagang itu berderet di kiri kanan jalan aspal selebar
4 meter sampai sejauh 200 meter -- dan berakhir di depan pintu
gerbang kompleks pemakaman Sunan Gungung Jati, di Desa Astana.
Tokoh penting Wali Sanga yang meninggal di pertengahan abad
ke-16 itu, ternyata masih hidup di hati sebagian masyarakat.
Sekurang-kurangnya karena kuburnya memberi nafkah kepada banyak
orang, di hari-hari ziarah -- yaitu setiap malam Jumat.
Sedangkan pada malam Jumat Kliwon, yang dianggap lebih membawa
berkat dan hari keramat, tidak kurang dari 20.000 orang datang
dari berbagai penjuru tanah air.
Kompleks makam itu merupakan sebuah bukit kecil, disebut Bukit
Sembung. Tingginya sekitar 25 meter dari permukaan laut. Di atas
bukit seluas 4 hektar itulah Sunan Gungung Jati alias Syarif
Hidayatullah dimakamkan, berikut kedua istrinya, kerabat dekat,
dan anak-cucunya. Seorang di antara kedua istrinya, Lie
Ong-tien, konon "hadiah" dari Maharaja Tiongkok waktu itu.
Agaknya karena itu di tembok seputar makam banyak diletakkan
piring-piring porselen antik buatan Cina sekitar abad ke-14.
Makam sang Sunan sendiri berada di puncak Bukit Sembung dalam
sebuah ruangan berukuran 16 x 16 meter. Bukit itu dilingkari
tembok beton setinggi 3 meter. Untuk mencapai makam Sunan Gunung
Jati harus melewati 9 pintu yang terbuat dari kayu jati. Dari
lantai dasar sampai ke puncak bukit juga dibuat tembok keliling
bersaf-saf, seperti Candi Borobudur. Konon melambangkan jumlah
wali yang sembilan.
Kini di kompleks makam itu terdapat ribuan kubur para sultan dan
bangsawan keempat keraton Cirebon -- Kasepuhan, Kanoman,
Kacirebonan, Kaprabonan. Sejak dulu hingga kini setiap Senin dan
Kamis, para kerabat keraton-keraton itu secara tetap menziarahi
makam leluhur mereka dengan membawa kembang 7 rupa dan dupa
wangi. Mereka punya hak berziarah sampai ke puncak bukit --
sedangkan penziarah awam hanya sampai ke pintu ketiga. Di depan
pintu keempat, disebut Pintu Besar, di lantai berukuran 10 x 15
meter, mereka bersimpuh membaca tahlil, mendoakan arwah para
nabi dan wali.
Selain membaca tahlil, mereka kadang-kadang juga menyampaikan
tawasul yaitu mengucapkan niat ziarahnya kepada Tuhan melalui
para wali. "Ada yang ingin usahanya maju, disenangi atasan,
gampang jodoh, lekas mendapat pekerjaan," kata Hadi, 46 tahun,
kepala Desa Astana. "Asal niatnya bersungguh-sungguh, insya
Allah terkabul."
Agaknya, permohonan mereka ada juga yang terkabul. Buktinya,
tidak sedikit di antara mereka yang kembali ke sana membawa
beberapa hadiah sebagai tanda terima kasih: berupa lampu neon,
lampu mercury, jam dinding untuk dipasang atau uang tunai
ratusan ribu rupiah. Seorang pengusaha dari Jakarta bernazar
karena usahanya maju, telah mengaspal jalan 200 meter selebar 4
meter dari pintu gerbang kompleks makam itu.
Menemui para penziarah, memimpin tahlil, menerima nazar dan
memelihara kompleks makam merupakan tugas 20 orang juru kunci
yang ada di sana. Mereka lazim disebut kemit, dipimpin oleh
jeneng (juru kunci kepala) yang kini dijabat oleh Haji Muhammad
Harun. Di bawahnya ada 4 orang wakil yang disebut bekel sepuh.
Di bawahnya lagi ada 8 bekel anom -- setiap bekel anom
membawahkan 14 orang kemit. Mereka diangkat oleh Sultan
Kasepuhan dan Kanoman secara turun-temurun.
Mereka haruslah penduduk asli Desa Astana, yang konon 90% masih
keturunan para pengawal Putri Lie Ong-tie, Cina pertama yang
mendarat di pantai Cirebon. Mereka bekerja dalam 8 kelompok,
masing-masing selama 14 hari. Penghasilan mereka semata-mata
dari sedekah para penziarah. Tapi jumlahnya cukup lumayan
agaknya. Bila kebetulan berdinas pada malam Jumat Kliwon (dan
tidak hujan), sedekah yang terkumpul bisa mencapai Rp 1 juta.
Sedang pada malam Jumat lainnya paling tinggi hanya Rp 300.000.
Selain sedekah berupa uang, ada yang memberi beras, palawija,
nasi tumpeng plus panggang ayam, atau rokok. Selama 2 minggu
berjaga, seorang kemit paling sedikit bisa mengantungi Rp
50.000. Tapi berkah Sunan Gunung Jati ternyata tidak hanya
melimpah ke tangan para kemit. Para pengemis, yang menurut Lurah
Hadi jumlahnya sekitar 60 orang, juga punya kesempatan luas
menadahkan tangan mereka. "Ada yang anak-anak usia 8 tahun, ada
pula yang kakek-kakek, dan nenek-nenek," tambah si lurah. Sardi,
pengemis 12 tahun, setiap Kamis bisa mengumpulkan uang receh
sekitar Rp 1.500.
Para pengemis -- lelaki, perempuan, tua, muda, dan anak-anak,
selalu siap menghadang penziarah di mulut jalan menuju kompleks
makam. Begitu penziarah datang, mereka segera "menyergap",
merengek-rengek, bahkan ada yang menarik-narik pakaian
pengunjung. Kebanyakan tanpa malu menempel ketat pada setiap
pengunjung. Namun banyak pula yang gagal merayu penziarah. Jika
demikian, biasanya mereka tak segan-segan mencubit penziarah
itu.
Para pedagang bunga dan peralatan upacara sembahyang lainnya
juga mendapat rezeki dari sang Sunan. Begitu pula para penjual
buku sejarah atau silsilah Sunan Gunung Jati dan para wali
lainnya. Ibu Darsih, penjual bunga, setiap Kamis dan Jumat
mendapatkan keuntungan Rp 25.000 bersih. Belum lagi para pemilik
warung makanan dan minuman yang jumlahnya belasan. Juga para
pedagang kaki lima yang menjajakan sepatu atau pakaian jadi. Tak
ketinggalan para pencopet yang umumnya berasal dari Cirebon,
Tasikmalaya, Bandung, Karawang.
Tentu juga tukang parkir. Setiap malam Jumat sekitar 2.000
sepeda motor dan 500-an sepeda serta puluhan mobil parkir.
Tarifnya paling rendah Rp 50, paling tinggi Rp 200 (untuk mobil
dan minibis) dan Rp 500 (untuk bis). Ada lima rumah penduduk
yang membuka halamannya untuk parkir. Halaman balai desa
dimanfaatkan pula untuk menampung kendaraan para penziarah itu.
Hasilnya dibagi untuk 12 orang pamong desa dan 4 orang anggota
hansip -- setiap orang mendapatkan sekitar Rp 2.000.
Pengunjung berombongan dari Cirebon yang menggunakan mobil atau
bis harus memarkir kendaraannya di kompleks perkantoran
Pertamina di Klayan, sekitar 2 km dari tempat ziarah. Soalnya
sejak jembatan Pekik ambruk 3 tahun lalu, semua jenis kendaraan
dilarang parkir di sekitar makam. Maka puluhan becak pun siap
mengangkut mereka dengan tarif antara Rp 500 sampai Rp 750.
Memang mahal. Sebab dengan kendaraan umum biasa, tarifnya paling
mahal hanya Rp 200.
Tapi tidak sedikit penziarah yang sengaja berjalan kaki, bahkan
sejak dari Cirebon, karena berniat membayar nazar. Sunaryo
misalnya. Pelajar sebuah sekolah menengah di Cirebon ini baru
saja lulus ujian. "Pada saat ujian berlangsung itulah saya
berniat dalam hati akan kaslan atau bernazar berziarah ke
Astana Gunung Jati berjalan kaki pulang pergi," ujarnya. Dan
penziarah yang berjalan kaki seperti Sunaryo, dengan berbagai
macam alasan, tidaklah sedikit.
Lain lagi dengan Ny. Siantini, 55 tahun, pedagang kelontong
keturunan Cina dari Cirebon ini. Ia penziarah setia sejak 10
tahun lalu. "Saya benar-benar berziarah, tidak pernah
minta-minta agar kaya," katanya. "Saya hanya mohon keselamatan
untuk seluruh keluarga. Dan setiap kali pulang dari ziarah
perasaan saya menjadi tenteram," tambahnya. Meskipun beragama
Konghucu, Siantini tidak merasa canggung berziarah di tengah
umat Islam. "Berziarah ke sini sama saja dengan berziarah ke
makam leluhur. Sebab bukankah istri mBah Sunan juga orang Cina?"
katanya lagi.
Memang ada penziarah yang punya tujuan lain. Ny. Sumirah, petani
Desa Babakan, Kabupaten Cirebon, berziarah ke sana "agar tanaman
padi dan tebu di sawah bisa tumbuh subur, bebas dari penyakit."
Maka ia pun membeli seuntai padi, sejumput tanah dan sebotol
kecil air -- semuanya berasal dari sekitar makam. Tanah dan padi
ditanam di sawahnya, sedangkan air sumur tadi dimasukkan ke
dalam sumur di rumah.
Sumini, gadis dari Desa Gegesik, Kabupaten Cirebon, juga punya
maksud tertentu. Dara berusia 25 tahun ini merasa terlambat
mendapat jodoh. "Kawan-kawan sebaya saya sudah pada kawin dan
malah punya anak. Saya malu, karena sampai sekarang pacar pun
saya tak punya," katanya. Agar enteng jodoh, Sumini berpuasa
sepekan. Pada hari ke-7 mandi malam hari di 7 sumur dalam
kompleks makam, lantas ikut membaca tahlil sambil mengucapkan
keinginannya. Kalau ketika itu ia tergaet pemuda penziarah,
barangkali terkabullah permohonannya.
Banyak pula penziarah yang hampir setiap malam Jumat mengunjungi
makam Sunan Gunung Jati. Misalnya, Waruma, 47 tahun, kepala Desa
Waruroyom, Kecamaun Plumbon, Kabupaten Cirebon. Ia mengaku
berziarah tanpa maksud ingin mempertahankan kedudukan atau mohon
cepat naik pangkat. "Minta-minta kepada orang yang sudah
meninggal itu kan menyimpang dari ajaran Nabi," katanya.
Kalaupun ia berziarah, katanya, hanyalah karena ingin agar
hatinya tenteram. Katanya: "Pulang dari Astana biasanya saya
merasa lebih mantap melakukan ibadat dan menjalankan roda
pemerintahan. Saya bisa mengendalikan emosi dalam menghadapi
berbagai persoalan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini