MASA jaya dengan nama besar agaknya hanya tinggal sebagian di
Rumah Sakit Mata Dokter Yap-Prawirohusodo, Yogyakarta. Bangunan
di atas tanah seluas 2 hektar lebih di Jalan Cik Ditiro itu
tampak semakin tua dikelilingi pohon-pohon rimbun. Tapi rumah
sakit mata yang akhir bulan lalu genap berumur 60 tahun itu,
kini tampak semakin sepi.
Rumah sakit mata (RSM) yang didirikan dr. Yap Hong Tjoen itu
pada mulanya adalah sebuah balai pengobatan mata yang menempati
sebuah rumah kecil di Jalan Gondolayu. Sehari-hari selalu sesak
dikunjungi pasien. Karena waktu itu, tahun 1921, di seluruh
Hindia Belanda baru ada 3 RSM, yaitu RSM Cicendo Bandung, RSM
William Booth Semarang, dan RSM Undakan di Surabaya.
Pertengahan 1923 Yap memindahkan balai pengobatannya ke tempat
yang sekarang, dengan nama Juliana Oogkijders Gasthuis. Daya
tarik utamanya adalah bangunan dan kamar-kamar pasien yang
ketika itu dianggap mewah. Tapi para penderita banyak datang ke
RSM ini juga karena tarif perawatan tersedia untuk segala
tingkat kemampuan warga masyarakat. Dan tak kalah penting dari
itu, dengan peralatan secukupnya, para pasien ketika itu
langsung ditangani dr. Yap sendiri.
Pasien berdatangan dari berbagai tempat di Jawa Tengah. Tapi
akhirnya datang dari bergai penjuru kepulauan Indonesia.
Sepanjang tahun 1948, RSM ini mencatat jumlah pasien hampir
300.000 orang -- sebagian besar pribumi, sisanya Tionghoa, dan
Belanda.
Dokter Yap, spesialis mau tamatan Negeri Belanda ini, ditangkap
ketika Yogya diduduki Jepang selama beberapa bulan. Keluar dari
tahanan, teman dekat Ki Hajar Dewantara ini mengganti nama rumah
sakitnya menjadi RSM Dokter Yap. Ahli mata yang dikenal para
pasiennya terus menerus mengisap rokok klobot ini meninggal di
Negeri Belanda pada tahun 1952.
Sebelum meninggal, 1949, ia menyerahkan pimpinan RSM itu kepada
putranya yang nomor dua, Yap Kie Tiong, spesialis mau keluaran
Neeeri Belanda pula. Yap muda bukan saja berhasil memperbaharui
berbagai perlengkapan, tapi pada 1950 di bawah pimpinannya RSM
ini berhasil melakukan transplantasi kornea -- hampir bersamaan
waktunya dengan operasi serupa yang dilakukan dr. Iskak Salim di
Jakarta. Ia juga setiap tahun berkunjung ke Negeri Belanda untuk
meningkatkan keahliannya.
Yap yang ini rupanya tak lama memimpin RSM warisan ayahnya.
Beberapa tahun setelah mengganti namanya dan nama rumah sakit
itu menjadi RSM Dokter YapPrawirohusodo, awal 1969 ia meninggal
karena bunuh diri. Dan kematian ini rupanya mulai memerosotkan
jumlah kunjungan pasien. Tahun lalu, misalnya, jumlah pasien
tercatat sekitar 16.000, hampir sama dengan tahun sebelumnya.
Kemerosotan itu, menurut dr. Basarodin, pimpinan RSM ini
sekarang, karena "sekarang tiap RSU sudah punya bagian mata
selain juga karena makin banyaknya Puskesmas." Hingga, tambah
spesialis mata kelahiran Bojonegoro (Ja-Tim) ini, "pasien yang
datang ke sini adalah yang tidak dapat ditangani Puskesmas."
Akibatnya, dari 116 tempat tidur yang ada, "hanya sekitar 20%
yang terpakai."
Beberapa ruangan memang telah mengalami perbaikan di sana sini
sejak beberapa tahun terakhir. Dengan tarif opname antara Rp
1.800 sampai dengan Rp 15.000 sehari, "kami tidak pernah
nombok," ujar Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo, yang kini menjadi
ketua pengurus harian Yayasan RSM dr. Yap-Prawirohusodo. Menurut
bekas walikota Yogya ini, sekarang RSM ini bukan milik keluarga
Yap, "tapi milik masyarakat." Karena itu dikelola oleh yayasan.
Dengan subsidi Rp 2 juta setahun dari pemerintah, dr. Basarodin
berharap RSM ini akan tetap mampu melayani setiap kebutuhan
pasien. "Kami dapat melakukan operasi terberat untuk
Ablatioretimae, lepasnya selaput retina," tutur Basarodin.
Sebab, tambahnya, "dalam hal peralatan, kami hanya kalah dengan
RS Gatot Subroto Jakarta." Meskipun begitu, Basarodin juga
menyebutkan, di RSM ini hanya terdapat dua dokter mau dengan
status tak tetap, ditambah 14 perawat.
Yang pasti ketenaran RSM ini masih tetap mengundang
pasien-pasien dari luar kota. "Teman-teman menyarankan agar saya
berobat ke mari, karena rumah sakit ini sudah sangat
berpengalaman," ungkap William Raja, pensiunan TNI-AD, seorang
pasien yang datang dari Ngawi, Jawa Timur.
Rumah sakit ini memang sulit dilupakan. Tapi barangkali yang
sukar adalah mencari upaya agar tetap dibutuhkan oleh semua
golongan masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini