Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Rumah sakit tua warisan yap

RS mata dr. Yap di yogya, genap berusia 60 tahun. didirikan oleh alm.dr. yap hong tjoen. kini sepi dari pengunjung karena saingan puskesmas. (ksh)

9 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASA jaya dengan nama besar agaknya hanya tinggal sebagian di Rumah Sakit Mata Dokter Yap-Prawirohusodo, Yogyakarta. Bangunan di atas tanah seluas 2 hektar lebih di Jalan Cik Ditiro itu tampak semakin tua dikelilingi pohon-pohon rimbun. Tapi rumah sakit mata yang akhir bulan lalu genap berumur 60 tahun itu, kini tampak semakin sepi. Rumah sakit mata (RSM) yang didirikan dr. Yap Hong Tjoen itu pada mulanya adalah sebuah balai pengobatan mata yang menempati sebuah rumah kecil di Jalan Gondolayu. Sehari-hari selalu sesak dikunjungi pasien. Karena waktu itu, tahun 1921, di seluruh Hindia Belanda baru ada 3 RSM, yaitu RSM Cicendo Bandung, RSM William Booth Semarang, dan RSM Undakan di Surabaya. Pertengahan 1923 Yap memindahkan balai pengobatannya ke tempat yang sekarang, dengan nama Juliana Oogkijders Gasthuis. Daya tarik utamanya adalah bangunan dan kamar-kamar pasien yang ketika itu dianggap mewah. Tapi para penderita banyak datang ke RSM ini juga karena tarif perawatan tersedia untuk segala tingkat kemampuan warga masyarakat. Dan tak kalah penting dari itu, dengan peralatan secukupnya, para pasien ketika itu langsung ditangani dr. Yap sendiri. Pasien berdatangan dari berbagai tempat di Jawa Tengah. Tapi akhirnya datang dari bergai penjuru kepulauan Indonesia. Sepanjang tahun 1948, RSM ini mencatat jumlah pasien hampir 300.000 orang -- sebagian besar pribumi, sisanya Tionghoa, dan Belanda. Dokter Yap, spesialis mau tamatan Negeri Belanda ini, ditangkap ketika Yogya diduduki Jepang selama beberapa bulan. Keluar dari tahanan, teman dekat Ki Hajar Dewantara ini mengganti nama rumah sakitnya menjadi RSM Dokter Yap. Ahli mata yang dikenal para pasiennya terus menerus mengisap rokok klobot ini meninggal di Negeri Belanda pada tahun 1952. Sebelum meninggal, 1949, ia menyerahkan pimpinan RSM itu kepada putranya yang nomor dua, Yap Kie Tiong, spesialis mau keluaran Neeeri Belanda pula. Yap muda bukan saja berhasil memperbaharui berbagai perlengkapan, tapi pada 1950 di bawah pimpinannya RSM ini berhasil melakukan transplantasi kornea -- hampir bersamaan waktunya dengan operasi serupa yang dilakukan dr. Iskak Salim di Jakarta. Ia juga setiap tahun berkunjung ke Negeri Belanda untuk meningkatkan keahliannya. Yap yang ini rupanya tak lama memimpin RSM warisan ayahnya. Beberapa tahun setelah mengganti namanya dan nama rumah sakit itu menjadi RSM Dokter YapPrawirohusodo, awal 1969 ia meninggal karena bunuh diri. Dan kematian ini rupanya mulai memerosotkan jumlah kunjungan pasien. Tahun lalu, misalnya, jumlah pasien tercatat sekitar 16.000, hampir sama dengan tahun sebelumnya. Kemerosotan itu, menurut dr. Basarodin, pimpinan RSM ini sekarang, karena "sekarang tiap RSU sudah punya bagian mata selain juga karena makin banyaknya Puskesmas." Hingga, tambah spesialis mata kelahiran Bojonegoro (Ja-Tim) ini, "pasien yang datang ke sini adalah yang tidak dapat ditangani Puskesmas." Akibatnya, dari 116 tempat tidur yang ada, "hanya sekitar 20% yang terpakai." Beberapa ruangan memang telah mengalami perbaikan di sana sini sejak beberapa tahun terakhir. Dengan tarif opname antara Rp 1.800 sampai dengan Rp 15.000 sehari, "kami tidak pernah nombok," ujar Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo, yang kini menjadi ketua pengurus harian Yayasan RSM dr. Yap-Prawirohusodo. Menurut bekas walikota Yogya ini, sekarang RSM ini bukan milik keluarga Yap, "tapi milik masyarakat." Karena itu dikelola oleh yayasan. Dengan subsidi Rp 2 juta setahun dari pemerintah, dr. Basarodin berharap RSM ini akan tetap mampu melayani setiap kebutuhan pasien. "Kami dapat melakukan operasi terberat untuk Ablatioretimae, lepasnya selaput retina," tutur Basarodin. Sebab, tambahnya, "dalam hal peralatan, kami hanya kalah dengan RS Gatot Subroto Jakarta." Meskipun begitu, Basarodin juga menyebutkan, di RSM ini hanya terdapat dua dokter mau dengan status tak tetap, ditambah 14 perawat. Yang pasti ketenaran RSM ini masih tetap mengundang pasien-pasien dari luar kota. "Teman-teman menyarankan agar saya berobat ke mari, karena rumah sakit ini sudah sangat berpengalaman," ungkap William Raja, pensiunan TNI-AD, seorang pasien yang datang dari Ngawi, Jawa Timur. Rumah sakit ini memang sulit dilupakan. Tapi barangkali yang sukar adalah mencari upaya agar tetap dibutuhkan oleh semua golongan masyarakat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus