IBU Guru Rustini, 47 tahun, ternyata juga seorang mahasiswa.
Tapi boleh dikata ia tak pernah masuk kuliah. Sebaliknya, bahan
kuliahlah yang datang mengunjunginya, diantarkan Pak Pos.
Inilah yang disebut SBJJ (Sistem Belajar Jarak Jauh). Dan itu
merupakan salah satu cara memecahkan daya tampung perguruan
tinggi yang kini sedang dirintis oleh Ditjen Pendidikan Tinggi.
Di seluruh Indonesia kuliah lewat pos itu dibuka di 5 IKIP
Negeri (Bandung, Padang, Yogyakarta, Semarang, Ujungpandang),
dan 2 universitas (Unsri di Palembang, dan UNS 11 Maret di
Solo). Ketujuh peruruan tinggi itu membuka kuliah untuk bidang
studi yang berbeda-beda. Percobaan untuk menjajaki kemungkinan
diselenggarakannya universitas terbuka ini baru dibuka untuk
jalur diploma.
Dimulai Oktober 1982, sekolah lewat pos ini bermaksud
meningkatkan pendidikan guru SMP dan SMA yang hampir seluruhnya,
sekitar 60 ribu, rata-rata belum memiliki kualifikasi formal.
"Menyuruh mereka kuliah lagi, tidak mungkin," kata Hamdan
Mansoer, ketua proyek SBJJ. Sebab, kampus sudah penuh sesak,
jumlah dosen sedikit biaya pendidikan juga mahal. "Dengan SBJJ
yang biayanya relatif murah, mereka bisa meningkatkan mutu tanpa
mengurangi jumlah guru di lapangan," ujar Hamdan Mansoer lagi.
Pada mulanya, kata Dr. Muhammad Surya, ketua Satuan Tugas SBJJ
IKIP Bandung, program ini terasa mahal dan sulit. Itu dirasakan
sewaktu menyusun modul bahan kuliah, yang harus gampang
dimengerti tanpa mengurangi mutu. Tapi setelah modul tersusun
dan kuliah mulai dijalankan, unit cost per mahasiswa SBJJ,
menurut perhitungan Hartono Kasmadi dari IKIP Semarang, cuma Rp
102 ribu. Biayanya lebih murah bila dibandingkan misalnya dengan
unit cost Rp 750 ribu per mahasiswa IKIP biasa, angka yang
pernah dihitung lektor IKIP Surabaya.
Tapi seberapa jauh hasil kuliah jarak jauh yang diikuti sekitar
1.100 mahasiswa di seluruh Indonesia ini, Bu Guru Rustini dari
SMPN II, Bandung, punya kritik. Bagi dia yang mengikuti bidang
studi Ilmu Pengetahuan Alam, dirasakannya tatap muka dengan
dosen yang cuma 3 hari selama satu semester, kurang. "Masih
banyak persoalan yang belum sempat saya tanyakan kepada dosen,"
tuturnya kepada TEMPO.
Kritiknya yang kedua ialah soal kuliah praktek. Bagi peserta
SBJJ yang mengajar di sekolah yang maju, di kota, tak jadi soal.
Tapi peserta yang mengajar di pelosok, ternyata ada yang belum
pernah mengenal sama sekali, misalnya, peralatan kuliah praktek
Kimia. "Ini menjadi hambatan bagi mereka," tambah Rustini.
Masih ada kritik dari Sumiyono, 47 tahun, guru IPS di SMPN III,
Bantul, Yogyakarta. Ia, yang mengikuti SBJJ IKIP Semarang, ini
sering menerima modul terlambat. "Dan tidak jarang modulnya
susah dibaca, karena cuma distensil," katanya.
Mahasiswa SBJJ dikelompokkan menurut tempat tinggalnya. Per satu
kelompok dipimpin oleh seorang guru SMA setempat, yang bertindak
selaku tutor. Untuk Jawa Barat ada 20 tutor untuk 100 mahasiswa,
yang minimal sekali sebulan bertatap muka dengan kelompok yang
dipimpinnya. Itu teorinya. Sebab, seperti cerita Bu Rustini,
banyak rekan-rekannya yang jarang mengikuti tatap muka dengan
tutor, karena tempat tinggalnya cukup jauh. Padahal dalam
kesempatan bertemu tutor itulah segala kesulitan belajar bisa
ditanyakan. Mungkin karena itu rekan-rekan Rustini dalam tes
Januari yang lalu banyak yang mendapat nilai rendah. Dari 11
orang anggota kelompoknya, ada 6 orang yang mendapat nilai di
bawah 6 untuk ujian Fisika.
Tapi dari hasil rata-rata tes keseluruhannya, Mohammad Surya
optimistis, SBJJ ini memberikan harapan. Bahkan dibandingkan
dengan kuliah biasa, menurut Hartono Kasmadi, pengelola SBJJ
IKIP Semarang, perkuliahan dengan modul memupuk minat baca.
Dari pihak peserta sendiri, yang kini masih dik ususkan hanya
untuk para guru SMP, kuliah jarak jauh dianggap menguntungkan.
Mereka tidak harus meninggalkan pekerjaan, dan bila nanti
lulus, kenaikan pangkat telah menunggu. Pun uang kuliah murah.
"Cuma Rp 100 ribu setahun," kata Sumiyono. Yang terlebih
penting, menurut Rustini, pengetahuan mereka bertambah. "Banyak
rekan saya yang meminjam modul untuk dipelajarinya sendiri,"
kata Rustini. "Kini mereka berniat mendaftar menjadi mahasiswa
jarak jauh."
Dan jangan lupa, mahasiswa SBJJ ini hak dan kewajibannya tak
berbeda dengan mahasiswa biasa. Pekan ini pihak Ditjen
Pendidikan Tinggi sedang mengevaluasi kuliah jarak jauh ini.
Bila ternyata hasilnya baik, ada kemungkinan akan diperluas
lagi, sebelum nanti, mungkin, dibuka universitas terbuka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini