Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Kuliah lewat pos

Sistem belajar jarak jauh (kuliah lewat pos) dibuka di 5 ikip negeri, merupakan salah satu cara untuk mengatasi daya tampung perguruan tinggi. (pdk)

9 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IBU Guru Rustini, 47 tahun, ternyata juga seorang mahasiswa. Tapi boleh dikata ia tak pernah masuk kuliah. Sebaliknya, bahan kuliahlah yang datang mengunjunginya, diantarkan Pak Pos. Inilah yang disebut SBJJ (Sistem Belajar Jarak Jauh). Dan itu merupakan salah satu cara memecahkan daya tampung perguruan tinggi yang kini sedang dirintis oleh Ditjen Pendidikan Tinggi. Di seluruh Indonesia kuliah lewat pos itu dibuka di 5 IKIP Negeri (Bandung, Padang, Yogyakarta, Semarang, Ujungpandang), dan 2 universitas (Unsri di Palembang, dan UNS 11 Maret di Solo). Ketujuh peruruan tinggi itu membuka kuliah untuk bidang studi yang berbeda-beda. Percobaan untuk menjajaki kemungkinan diselenggarakannya universitas terbuka ini baru dibuka untuk jalur diploma. Dimulai Oktober 1982, sekolah lewat pos ini bermaksud meningkatkan pendidikan guru SMP dan SMA yang hampir seluruhnya, sekitar 60 ribu, rata-rata belum memiliki kualifikasi formal. "Menyuruh mereka kuliah lagi, tidak mungkin," kata Hamdan Mansoer, ketua proyek SBJJ. Sebab, kampus sudah penuh sesak, jumlah dosen sedikit biaya pendidikan juga mahal. "Dengan SBJJ yang biayanya relatif murah, mereka bisa meningkatkan mutu tanpa mengurangi jumlah guru di lapangan," ujar Hamdan Mansoer lagi. Pada mulanya, kata Dr. Muhammad Surya, ketua Satuan Tugas SBJJ IKIP Bandung, program ini terasa mahal dan sulit. Itu dirasakan sewaktu menyusun modul bahan kuliah, yang harus gampang dimengerti tanpa mengurangi mutu. Tapi setelah modul tersusun dan kuliah mulai dijalankan, unit cost per mahasiswa SBJJ, menurut perhitungan Hartono Kasmadi dari IKIP Semarang, cuma Rp 102 ribu. Biayanya lebih murah bila dibandingkan misalnya dengan unit cost Rp 750 ribu per mahasiswa IKIP biasa, angka yang pernah dihitung lektor IKIP Surabaya. Tapi seberapa jauh hasil kuliah jarak jauh yang diikuti sekitar 1.100 mahasiswa di seluruh Indonesia ini, Bu Guru Rustini dari SMPN II, Bandung, punya kritik. Bagi dia yang mengikuti bidang studi Ilmu Pengetahuan Alam, dirasakannya tatap muka dengan dosen yang cuma 3 hari selama satu semester, kurang. "Masih banyak persoalan yang belum sempat saya tanyakan kepada dosen," tuturnya kepada TEMPO. Kritiknya yang kedua ialah soal kuliah praktek. Bagi peserta SBJJ yang mengajar di sekolah yang maju, di kota, tak jadi soal. Tapi peserta yang mengajar di pelosok, ternyata ada yang belum pernah mengenal sama sekali, misalnya, peralatan kuliah praktek Kimia. "Ini menjadi hambatan bagi mereka," tambah Rustini. Masih ada kritik dari Sumiyono, 47 tahun, guru IPS di SMPN III, Bantul, Yogyakarta. Ia, yang mengikuti SBJJ IKIP Semarang, ini sering menerima modul terlambat. "Dan tidak jarang modulnya susah dibaca, karena cuma distensil," katanya. Mahasiswa SBJJ dikelompokkan menurut tempat tinggalnya. Per satu kelompok dipimpin oleh seorang guru SMA setempat, yang bertindak selaku tutor. Untuk Jawa Barat ada 20 tutor untuk 100 mahasiswa, yang minimal sekali sebulan bertatap muka dengan kelompok yang dipimpinnya. Itu teorinya. Sebab, seperti cerita Bu Rustini, banyak rekan-rekannya yang jarang mengikuti tatap muka dengan tutor, karena tempat tinggalnya cukup jauh. Padahal dalam kesempatan bertemu tutor itulah segala kesulitan belajar bisa ditanyakan. Mungkin karena itu rekan-rekan Rustini dalam tes Januari yang lalu banyak yang mendapat nilai rendah. Dari 11 orang anggota kelompoknya, ada 6 orang yang mendapat nilai di bawah 6 untuk ujian Fisika. Tapi dari hasil rata-rata tes keseluruhannya, Mohammad Surya optimistis, SBJJ ini memberikan harapan. Bahkan dibandingkan dengan kuliah biasa, menurut Hartono Kasmadi, pengelola SBJJ IKIP Semarang, perkuliahan dengan modul memupuk minat baca. Dari pihak peserta sendiri, yang kini masih dik ususkan hanya untuk para guru SMP, kuliah jarak jauh dianggap menguntungkan. Mereka tidak harus meninggalkan pekerjaan, dan bila nanti lulus, kenaikan pangkat telah menunggu. Pun uang kuliah murah. "Cuma Rp 100 ribu setahun," kata Sumiyono. Yang terlebih penting, menurut Rustini, pengetahuan mereka bertambah. "Banyak rekan saya yang meminjam modul untuk dipelajarinya sendiri," kata Rustini. "Kini mereka berniat mendaftar menjadi mahasiswa jarak jauh." Dan jangan lupa, mahasiswa SBJJ ini hak dan kewajibannya tak berbeda dengan mahasiswa biasa. Pekan ini pihak Ditjen Pendidikan Tinggi sedang mengevaluasi kuliah jarak jauh ini. Bila ternyata hasilnya baik, ada kemungkinan akan diperluas lagi, sebelum nanti, mungkin, dibuka universitas terbuka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus