Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAMU lelaki dan perempuan itu datang malam-malam ke rumah Jusuf Kalla di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Jumat dua pekan lalu. Aksa Mahmud, pengusaha asal Makassar, kebetulan sedang bercengkerama di rumah besannya itu. "Mereka utusan Ibu Megawati," ujar Aksa kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Aksa menolak menyebutkan identitas kedua orang itu. Ia hanya tersenyum ketika ditanyakan apakah mereka Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Puan Maharani dan Sekretaris Jenderal Tjahjo Kumolo. Yang pasti, kata dia, keduanya menyampaikan pesan politik dari Megawati. "Mereka serius, tapi diselingi canda," ujar Aksa.
Satu jam bertamu, dua orang itu meninggalkan rumah Kalla. Dua hari kemudian, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan calon presiden Joko Widodo menghubungi Kalla melalui telepon. Lalu semua menjadi jelas. Teka-teki selama beberapa pekan terakhir terjawab sudah. Jusuf Kalla, wakil presiden 2004-2009, telah ditetapkan sebagai pendamping Jokowi.
JUSUF Kalla, 72 tahun, bukan orang asing bagi Jokowi. Kalla salah satu sponsornya untuk ikut pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2012. Peningkatan jenjang kepemimpinan ini membuat Jokowi semakin populer. Walhasil, PDIP menetapkannya sebagai calon presiden pada Maret lalu.
Kalla juga berhubungan baik dengan Megawati. Saudagar asal Makassar itu Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat kabinet Megawati, yang memerintah pada 2001-2004. Meski kemudian berpisah jalan politik, hubungan mereka tidak pernah memburuk-berbeda dengan hubungan Megawati dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang tak akur.
Meski begitu, jalan Kalla untuk menjadi pendamping Jokowi tidaklah mudah. Sejumlah politikus senior PDIP menolaknya. Penyebabnya, gaya Kalla ketika menjadi wakil presiden Yudhoyono dianggap mendominasi dan menjadi "wapres super". "Sudah terbukti, Jusuf Kalla bisa menjadi matahari kembar yang mengancam Jokowi," kata Sabam Sirait, pendiri partai itu, yang memihak mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md.
Tapi Kalla disokong politikus-politikus partai lain. Hubungan baiknya dengan elite partai-partai membuka jalan. Partai yang getol mengusungnya adalah Partai NasDem pimpinan Surya Paloh, mantan koleganya di Golkar. Ia juga memegang dukungan dari Partai Kebangkitan Bangsa. Sebagai Ketua Dewan Masjid Indonesia dan Mustasyar Nahdlatul Ulama, Kalla dekat dan rajin menyambangi para kiai serta pondok pesantren.
Pada akhirnya, Jusuf Kalla bersaing dengan Abraham Samad pada hari-hari terakhir sebelum pengumuman. Menurut Surya Paloh, partai-partai menimbang keduanya berdasarkan kelebihan dan kekurangan mereka. Ia mengaku berkomunikasi terus dengan Megawati.
Menurut sejumlah narasumber dari kelompok yang berbeda, kedekatan Kalla dengan banyak petinggi PDIP membuat namanya relatif mudah diterima Megawati. Apalagi ia juga memiliki jalur khusus melalui sejumlah tokoh yang dikenal dekat dengan Megawati. Di antaranya ajudan Megawati ketika menjadi presiden, Komisaris Jenderal Budi Gunawan.
Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian itu dikabarkan rajin bertandang ke Teuku Umar. Kalla berhubungan dengan Budi melalui mantan ajudannya, Inspektur Jenderal Syafruddin, kini Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Markas Besar Kepolisian RI. Budi semakin meniupkan nama Jusuf Kalla sebagai tokoh yang layak mendampingi Jokowi.
Budi membantah kabar itu. "Itu rumor dan fitnah," kata Budi kepada Akbar Tri Kurniawan dari Tempo, Sabtu pekan lalu. "Itu pemilu dan saya polisi aktif, tak mungkin."
Menurut Budi, ia lama tak bertemu dengan Megawati. Terakhir tahun lalu ketika acara tahlilan 100 hari Taufiq Kiemas. "Kalaupun ada pertemuan, itu juga ramai-ramai," ujarnya.
Aksa Mahmud menyebutkan Kalla memang sering bertemu dengan Syafruddin, setidaknya dua kali dalam sebulan. Keduanya berhubungan dekat karena sama-sama dari Makassar.
Kalla juga beberapa kali bertemu dengan Budi Gunawan. Namun Aksa membantah jika Budi disebut sebagai perantara Kalla dengan Megawati.
Adapun Syafruddin membantah menjadi anggota tim sukses Jusuf Kalla. " Saya tidak mau ikut-ikut urusan politik," ucap Syafruddin. Ia juga mengaku akrab dengan mantan ajudan Megawati itu. Namun ia menampik meminta Budi berkampanye soal Kalla ke Megawati. "Saya ini siapa? Kok, berani-beraninya," katanya.
Adapun Jusuf Kalla membenarkan bahwa baik Budi Gunawan maupun Syafruddin kerap bertandang ke rumahnya. "Semua mantan ajudan saya rutin bersilaturahmi ke rumah karena sudah bersama lima tahun," ujar Kalla melalui pesan pendek pada Sabtu pekan lalu.
Menurut Andi Widjajanto, kini sekretaris tim pemenangan Jokowi, Megawati memberi Jokowi mandat memilih pasangannya. Pada Ahad sebelum deklarasi, kata dia, Megawati bertemu dengan Jokowi dan tidak menyebut nama Kalla.
Setelah itu, Jokowi menggelar pertemuan maraton. Pertemuan pertama dilakukan dengan Surya Paloh di sebuah rumah di kawasan Menteng. Jokowi menyorongkan Jusuf Kalla dan Abraham Samad. Surya Paloh menyarankan Jokowi memilih Kalla. Partai Kebangkitan Bangsa, yang diwakili Muhaimin Iskandar, Imam Nachrowi, dan Marwan Ja'far, yang mendapat giliran berikutnya, juga setuju pada nama Jusuf Kalla. Begitu juga Ketua Umum Hanura Wiranto, yang ditemui menjelang tengah malam.
Menurut Andi, peserta koalisi menganggap Abraham Samad masih dibutuhkan di lembaga antikorupsi. Jika Samad dipilih menjadi calon wakil presiden, kata dia, nama lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi juga bisa rusak. "Jusuf Kalla dipilih karena kalkulasi politik: dukungan riil di sejumlah daerah, seperti Jawa dan Sulawesi," ujarnya. "Juga perannya yang luwes ke DPR."
Setelah bertemu dengan pemimpin tiga partai koalisi itu, Jokowi kembali ke Teuku Umar. Bertemu dengan Megawati di ruang tengah, Jokowi melaporkan telah memilih Jusuf Kalla. Megawati memerintahkan Jokowi menghubungi Kalla. Ketua Umum PDIP itu bergeser ke rumah sebelah. Di sana sudah menunggu Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie.
Pada menit-menit terakhir, Golkar berusaha masuk. Ditemani Idrus Marham dan Setya Novanto, Aburizal bertamu ke rumah Megawati. Megawati dan Aburizal kemudian berbicara empat mata di ruang tamu. Politikus lain menepi di teras, ditemani Puan Maharani.
Kepada Megawati, Aburizal, seperti disampaikan orang dekatnya, menawarkan diri menjadi calon wakil Jokowi. Menurut dia, usul itu merupakan rekomendasi Rapat Pimpinan Nasional Golkar, yang hari itu dipercepat lima jam. Megawati menolak dengan alasan Jokowi sudah memilih Jusuf Kalla.
Aburizal, menurut sejumlah politikus PDIP dan Golkar, menurunkan tawarannya. Menurut dia, Golkar akan mendukung Jokowi dan Kalla jika mendapat janji posisi menteri utama dan tujuh menteri. Megawati tetap menolak. Aburizal pun pamit dengan muka masam.
Beberapa jam kemudian, Aburizal menerima Prabowo Subianto di rumahnya. Calon presiden dari Partai Gerindra itu mengajaknya kembali bergabung. Syarat Aburizal bahwa Golkar mendapat sejumlah posisi menteri diterima. "Saya cocok dengan visi Prabowo," ujarnya.
Jokowi membenarkan, Golkar gagal masuk koalisi pendukungnya karena terlalu banyak permintaan. "Jika bergabung, mereka maunya mesti ada power sharing," katanya. "Jadi kami tolak saja."
Luhut Binsar Pandjaitan, yang pekan lalu menyatakan mundur dari jabatan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Golkar, menyatakan Aburizal melakukan kesalahan dengan meminta jatah menteri atau posisi dalam pembicaraan awal koalisi. Semestinya, "Soal jabatan dibicarakan setelah menang," ujarnya.
Ia menuturkan pertemuan Aburizal dan Megawati sebelumnya berjalan baik. Sebab, ketika itu Aburizal hanya menyatakan Golkar ingin menjalin koalisi jangka panjang dengan PDIP. Baru pada pertemuan menjelang deklarasi Jokowi-Kalla, Aburizal tak sabar mematok imbalan. Luhut mengatakan telah memperingatkan Aburizal agar tidak membicarakannya. Koleganya itu menjawab, tak mungkin memberi cek kosong kepada mitra koalisinya.
Jokowi mengakui pada akhirnya memilih Kalla antara lain untuk kemungkinan menghadapi perlawanan di Dewan Perwakilan Rakyat, yang dikuasai kubu lain. Pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa didukung partai-partai yang menguasai separuh lebih kursi di Senayan.
Dengan pasangan yang klop, Jokowi mengaku tak khawatir bakal menghadapi serangan itu. Sebab, Kalla selama ini dianggap piawai menghadapi serangan lawan. Selama menjadi wakil presiden pada 2004-2009, Kalla biasa menaklukkan politikus-politikus Dewan menggunakan pendekatan personalnya.
Sikap Jokowi ini berbeda dengan apa yang disampaikannya di depan pemimpin redaksi media massa April lalu. Ketika itu, ia menyatakan tak khawatir terhadap serangan DPR asalkan disokong rakyat. Saat itu, ia menekankan pentingnya koalisi kecil yang didasari kesamaan cita-cita.
DI BAWAH tenda merah-putih yang membentang di halaman rumah Megawati, Jalan Teuku Umar 27, Senin pekan lalu, Joko Widodo dan Jusuf Kalla menjadi pusat perhatian. Tetamu menggoda dan memberi salam. Begitu juga tuan rumah, Megawati. Ia mengambilkan dua pincuk nasi liwet untuk mereka. "Ini buat yang nanti naik sepeda ke KPU. Ayo dihabiskan," katanya.
Jokowi dan Kalla melahap hidangan dengan cepat. Megawati menggoda lagi: "Masih ada lagi. Ayo, nanti tak kuat nggenjot." Semua tertawa. Termasuk para ketua umum partai koalisi yang bergabung dengan PDIP mendukung pasangan itu, yakni Surya Paloh dari Partai NasDem, Muhaimin Iskandar dari Partai Kebangkitan Bangsa, dan Wiranto dari Partai Hanura.
Setelah itu, di pintu gerbang rumah Megawati, Jokowi dan Kalla mengendarai sepeda dilepas empat ketua umum partai pengusungnya. Mereka diarak rombongan sepeda menuju kantor Komisi Pemilihan Umum, sekitar dua kilometer jauhnya, untuk mendaftar.
Ketika memberi kewenangan kepada Jokowi untuk memilih pasangannya, Megawati mengatakan memilih calon wakil presiden seperti memilih jodoh. Menurut orang-orang dekatnya, ia memberi pesan demikian kepada Jokowi: "Mantapkan hati dan pilihanmu, Dik. Sebab, yang akan memimpin pemerintahan lima tahun ke depan itu kamu."
Agustina Widiarsi, Sundari, Rusman P, Ananda Teresia, Muhammad Muhyiddin, Singgih Soares, Nurul Mahmudah, dan Ilham Tirta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo