Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Senyum lebar menghiasi wajah Jonatan Christie ketika keluar dari arena Istora Senayan, Selasa siang pekan lalu. Beberapa kali dia berhenti untuk melayani para suporter yang memintanya berfoto bersama. Keberhasilannya di final bulu tangkis tunggal putra Asian Games 2018 hari itu kian melambungkan popularitasnya sebagai atlet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jojo-sapaan akrab Jonatan-mengaku tak pernah menyangka bisa berhasil merebut medali emas di Asian Games. Jojo mengalahkan wakil Taiwan, Chou Tien Chen, dengan skor 21-18, 20-22, dan 21-15. "Ajang ini diikuti banyak pemain bagus di Asia. Juara dunia bahkan ikut di sini," kata atlet berusia 21 tahun tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jojo menyatakan sempat cemas menjelang Asian Games berlangsung. Pasalnya, prestasi dia tengah tersendat. Dalam turnamen Indonesia Terbuka pada Juli lalu, Jojo adalah wakil Indonesia di nomor tunggal putra yang langsung tersingkir di babak pertama. Hal serupa terjadi dalam Kejuaraan Dunia di Nanjing, Cina, 30 Juli-5 Agustus lalu. "Prestasi saya memang sedang tidak bagus," ujarnya.
Tak patah semangat, Jojo pun melakukan pembenahan saat menjalani pemusatan latihan nasional untuk Asian Games di markas tim bulu tangkis Cipayung, Jakarta Timur. Pelatih tunggal putra, Hendry Saputra, mengatakan Jojo dan kawan-kawannya tak pernah mengeluh mengenai materi latihan. "Mereka itu kalau latihan oke banget. Disiplinnya bagus-bagus," ujarnya.
Perjalanan latihan panjang dan melelahkan itu berakhir gemilang. Ke Asian Games, Jojo datang sebagai pemain peringkat ke-15 dalam daftar ranking Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF). Meski demikian, dia berhasil menyingkirkan unggulan terbaik Cina yang juga pemain peringkat kedua dunia, Shi Yuqi.
Jojo lolos ke final setelah mengalahkan atlet asal Jepang, Kenta Nishimoto, yang merupakan pemain peringkat kesepuluh dunia. Chou, yang ditaklukkan Jojo di final, adalah pemain dengan peringkat keenam dalam daftar BWF. "Mungkin dia tegang, terus permainannya menjadi kurang gereget," kata Jojo. "Tapi, terus terang, dia pemain bagus. Pertahanannya kuat."
Jojo mengenal badminton sejak berusia 6 tahun. Ayahnya, Andreas Adi, yang mendorong Jojo menekuni tepok bulu itu. Badminton adalah salah satu kegiatan ekstrakurikuler di sekolahnya, SD Negeri 07 Tanjung Duren Utara, Jakarta, selain sepak bola dan basket. Dalam pertandingan pertamanya saat berusia 7 tahun, Jojo kalah, yang membuatnya menangis.
Pada usia 10 tahun, Jojo masuk Persatuan Bulu Tangkis Tangkas Jakarta. Tahun berikutnya benar-benar menjadi milik laki-laki kelahiran Jakarta, 15 September 1997, itu. Ia memperoleh tujuh trofi dalam kejuaraan tingkat DKI Jakarta dan nasional, bahkan medali emas Olimpiade Pelajar Sekolah Dasar Se-Asia Tenggara. Pada 2010, ia menjadi juara junior Asia U-15 di Jepang. Gelar tingkat senior pertamanya adalah International Challenge 2013.
Di usianya yang muda, Jojo sudah beberapa kali memperkuat tim nasional bulu tangkis. Pada 2015, ia tergabung dalam timnas untuk Piala Sudirman di Jakarta dan SEA Games di Singapura, yang mempersembahkan medali emas beregu putra. Tahun berikutnya, Jojo masuk timnas Piala Thomas di Cina. Di SEA Games 2017 di Kuala Lumpur, Jojo menyumbangkan medali emas di nomor tunggal.
Keberhasilan Jojo di Asian Games 2018 mengejutkan manajer tim nasional bulu tangkis Indonesia, Susi Susanti. Menurut dia, sektor tunggal putra sejak awal tidak dipasangi target. Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia mengincar dua medali emas dari ganda putra dan ganda campuran. "Yang meleset justru ganda campuran," ujar Susi, yang juga Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PBSI.
Kesuksesan Jojo mendapatkan medali emas serta prestasi Anthony Ginting, 21 tahun, yang meraih perunggu, menjadi hadiah besar bagi tim Cipayung. Setelah era dominasi Taufik Hidayat, prestasi di sektor tunggal putra terseok-seok. "Kami berharap tunggal putra berkembang lagi," kata Susi. "Jonatan dan Anthony tampil sangat baik."
Jojo dan Anthony kian memperkuat formasi tunggal putra Cipayung. Hendry mengatakan, dari semua pemain tunggal yang dilatihnya, Jojo dan Anthony yang tekniknya paling matang. Namun masih ada ganjalan dari kemampuan menjaga pikiran dan mental. "Anthony itu kadang masih terburu-buru ingin menang, padahal seharusnya tenang," ujar Hendry.
Dengan usia yang masih muda, menurut Hendry, Jojo dan Anthony masih bisa mengembangkan kemampuan. Ditambah pula, Hendry telah menyiapkan setidaknya tiga pemain muda lagi untuk meneruskan rantai pemain tunggal. "Memang tak banyak pemain tunggal yang kuat, tapi saya tidak khawatir selama pembinaan berlanjut."
Pemain muda lain yang bersinar di Asian Games adalah pasangan Fajar Alfian, 23 tahun, dan Muhammad Rian Ardianto, 22 tahun. Bermain bersama sejak 2014, Fajar/Rian menjadi ganda putra paling solid, selain pasangan Marcus Fernaldi Gideon, 27 tahun, dan Kevin Sanjaya Sukamuljo, 23 tahun, yang dimiliki Cipayung saat ini.
Dalam debutnya sebagai ganda, Fajar/Rian menjuarai Indonesia International 2014, yang masuk turnamen jenjang BWF International Challenge/Series. Empat kali sudah mereka menjuarai turnamen di kategori tersebut. Dua tahun lalu, mereka meraih sukses di turnamen level Grand Prix setelah menjuarai Chinese Taipei Masters.
Cipayung memasukkan Fajar/Rian ke tim Piala Thomas di Thailand pada Mei lalu. Dalam debutnya di ajang dwitahunan tersebut, mereka mengalahkan wakil Kanada dan Thailand. Indonesia lolos dari fase grup setelah menekuk Korea Selatan, Thailand, dan Kanada. Langkah Indonesia dihentikan di semifinal oleh Cina, yang akhirnya menjadi juara.
Kedua pasangan bertemu di final Asian Games pada Selasa pekan lalu. Ini pertama kalinya dalam 44 tahun kembali terjadi final antarganda Indonesia di Asian Games. Dalam Asian Games yang digelar di Teheran, Iran, pada 1974, pasangan Tjun Tjun/Johan Wahjudi menaklukkan Christian Hadinata/Ade Chandra.
Sempat unggul 21-13 di set pertama, Fajar/Rian akhirnya takluk dalam dua set berikutnya dengan skor 18-21 dan 22-24. Meski kalah, Fajar menyebutkan permainannya jauh lebih baik. "Dulu kami selalu kerepotan kalau melawan mereka," katanya.
Marcus pun mengakui penampilan Fajar/Rian jauh lebih baik. Dia bahkan sempat merasa gugup ketika kalah di set pertama dan tertinggal poin cukup jauh di set kedua. "Rasanya sempat hopeless, pertandingan enggak habis-habis," ujarnya. "Beruntung kami bisa lebih cepat tenang dan mengejar poin sampai menang lagi."
Kemenangan Marcus/Kevin melengkapi perolehan dua medali emas yang diincar PBSI. Kegagalan di sektor ganda campuran bisa diobati oleh keberhasilan Jojo dan munculnya Fajar/Rian. "Buat saya, mereka semua adalah pemenang karena inilah tim ganda putra terkuat yang dimiliki Indonesia," kata Susi.
Adalah pelatih Hafid Yusuf yang memasangkan Kevin dengan Marcus pada akhir 2014. Pasangan Kevin saat itu, Selvanus Goh, mundur dari bulu tangkis karena sakit. Marcus dipanggil lagi ke pelatnas setelah memutuskan hengkang dari Cipayung pada 2013. PBSI melihat keberhasilan Marcus menjuarai Prancis Terbuka 2013 dan Indonesia Master Grand Prix Gold 2014-berpasangan dengan Markis Kido.
Pada awal sebagai tandem, permainan pasangan berjulukan The Minions itu tak meyakinkan. Perbedaan pendapat acap mempengaruhi mereka. Kevin dan Marcus bahkan pernah saling mendiamkan dan tidak mau dipasangkan lagi. Namun pelatih kepala ganda putra, Herry Iman Pierngadi, mempertahankan mereka.
Dalam tempo dua tahun, Marcus/Kevin terus meraih sukses. Pada 2017, mereka bahkan mencetak rekor sebagai ganda putra yang berhasil menjuarai tujuh turnamen Super Series dalam setahun. Mereka juga mengantongi gelar juara All England 2017 dan kini menjadi ganda putra terbaik dunia.
Susi Susanti mengatakan prestasi di Asian Games menjadi batu loncatan untuk mengejar gelar di turnamen besar, seperti All England, Kejuaraan Dunia, dan Olimpiade. Selesai dari Asian Games, menurut Susi, para atlet akan kembali menjalani persiapan untuk kompetisi. "Puncaknya adalah di Olimpiade 2020. Semoga mereka bisa mengulang sukses ini."
Gabriel Wahyu Titiyoga
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo