Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Senyum Terkembang di Lari Gawang

Pelari gawang putri Emilia Nova meraih medali pertama di lintasan lari Asian Games setelah 20 tahun. Ikut pelatnas tanpa seleksi.

1 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Senyum Terkembang di Lari Gawang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAKTU menunjukkan pukul 8 pagi saat Emilia Nova membuka mata di Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin pekan lalu. Dia senyum-senyum sendiri. Keriangan tidak pernah lepas dari wajahnya sejak ia menyabet medali perak lari gawang 100 meter putri, sebelas jam sebelumnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Emilia, yang sepekan sebelumnya berulang tahun ke-23, tidak kunjung bosan memandangi medali itu-medali lari pertama Indonesia setelah emas Supriati Sutono di nomor 5.000 meter Asian Games 1998 di Bangkok. "Walaupun berat, Emil bawa terus ke mana-mana," ujarnya kepada Tempo, Kamis petang pekan lalu. Dia dengan girang memamerkannya kepada penggemar yang memintanya berfoto bareng, juga kepada rekan-rekannya yang berlaga belakangan sebagai motivasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejatinya Emilia sudah tersenyum saat masih terpaut tiga langkah dari garis finis pada final lari gawang 100 meter di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Ahad malam pekan lalu. Senyum itu bermakna dalam. Melewati garis akhir, pikiran Emilia terbang jauh ke masa remajanya.

Keringat perempuan kelahiran Jakarta itu pertama kali menetes di lintasan lari delapan tahun lalu. Semua berawal dari kegagalannya menembus seleksi atlet taekwondo tingkat nasional. Ayahnya, Zainur, memintanya beralih ke atletik. "Kalau bukan di olahraga terukur kan penilaiannya bisa subyektif," tutur Emilia.

Pada 2010, dia berlabuh di Klub Meteor, yang bermarkas di Stadion Madya, kompleks Gelora Bung Karno. Meski ujian nasional di depan mata, pelajar Sekolah Menengah Pertama Negeri 236, Cakung, Jakarta Timur, itu berlatih tiga kali sepekan. Hasilnya lumayan. Dia enam kali memenangi adu lari 60 meter dalam perlombaan bulanan di Stadion Atletik Rawamangun, Jakarta Timur, yang hadiah tertingginya Rp 200 ribu. Seperti saat Emilia masih menekuni taekwondo, Zainur selalu mengantar-jemput sulung dari dua bersaudara itu.

Tubuh Emilia yang menjulang 167 sentimeter-kini 173 sentimeter-menarik perhatian Mohamad "Bob" Hasan, Ketua Umum Persatuan Atletik Seluruh Indonesia. Kaki yang jenjang berarti langkah yang lebih panjang. Saat Zainur melintas dari warung gorengan di pinggir Stadion Madya ke tribun, Bob menanyakan usia Emilia. "Udah, anak lu gua aja yang ngurus," kata Emilia, menirukan ucapan Bob. Dia pun ikut pemusatan latihan nasional. Bob menanggung semua biaya hidup dan sekolahnya, plus memberikan uang saku Rp 500 ribu per bulan.

Saat itu, pelatnas diikuti seabrek atlet top. Ada Triyaningsih sang "Ratu Jalan Raya", Maria Londa si peraih emas lompat jauh Asian Games 2014, dan Dedeh Erawati, pemegang rekor nasional lari gawang 100 meter dengan catatan waktu 13,20 detik. Tanpa menyebut nama, Emilia mengatakan banyak seniornya yang keki atas kehadirannya. Semua hal tentang Emilia disebut dengan nada mencibir, dari catatan prestasi, teknik lari, sampai kealpaan Emilia mengucapkan salam kepada para senior. "Selama dua tahun digituin, aku sempat tertekan," ucap Emilia. Cibiran itu, ditambah minimnya prestasi, membuat Emilia mengalami demotivasi dan sempat berpikir untuk cabut dari atletik.

Untungnya, Emilia suka iseng. Berawal dari coba-coba melompati rintangan, dia ketagihan lari gawang. Rintangan, dia melanjutkan, membuat adu lari jadi lebih seru. Pada awal 2012, dia beralih dari sprint ke lari gawang. Dia tidak peduli sudah berapa kali jatuh akibat tersandung penghalang setinggi 80 sentimeter tersebut. Kaki jenjang yang terlihat sempurna di televisi itu bertabur codet di sana-sini. "Enggak apa-apa. Dari kecil juga sudah banyak luka karena jatuh dari sepeda," ujarnya.

Buah pengorbanan Emilia langsung terlihat. Dia menempati peringkat ketiga dalam Jatim Open, Maret 2012. Pada tahun yang sama, dia menjuarai kejuaraan remaja nasional dan jadi sekondan dalam kejuaraan remaja Asia Tenggara di Singapura. "Setelah tahu rasanya jadi juara, enggak mau berhenti," kata Emilia.

Lulus dari Sekolah Menengah Atas Olahraga Ragunan, Emilia kuliah di Universitas Negeri Jakarta mengambil Program Studi Pendidikan Kepelatihan Olahraga pada 2013. Di sana, dia bertemu dengan Fitri "Ongky" Haryadi, pelatihnya sekarang. "Saya melihat dia berpotensi di lari gawang karena tubuhnya tinggi," tutur Ongky.

Namun dia menilai teknik lari Emilia buruk. Karena tungkai kaki yang tidak kokoh, Emilia berlari dengan posisi pinggul rendah. Maka dia membongkar ulang teknik dasar lari Emilia. Selama tiga bulan, setiap hari, dia hanya melatih koordinasi gerakan pergelangan kaki, lutut, dan paha Emilia. "Sampai bosan," ucap Emilia.

Ongky pula yang menyarankan agar Emilia ikut saptalomba dalam Pekan Olahraga Nasional 2016 di Jawa Barat. Alasannya, peluang meraih emas lebih besar ketimbang di nomor lari gawang, yang masih didominasi Dedeh Erawati. Dengan 5.382 poin, Emilia menjadi juara dan memecahkan rekor nasional saptalomba milik Rumini yang bertahan 23 tahun.

Latihan saptalomba-lari 200 meter, lari 800 meter, lari gawang, lompat jauh, lompat tinggi, lempar lembing, dan tolak peluru-memompa hampir semua otot Emilia. Walhasil, catatan lari gawangnya ikut meningkat. Dia pun mengalahkan Dedeh pada final lari gawang 100 meter. "Saya melihat potensi Emilia sebagai atlet yang cerdas dalam memahami teknik dan mau bekerja keras," kata Ongky.

Meraih tiga emas di PON 2016, ia dibebani target emas pada nomor lari gawang 100 meter SEA Games 2017 di Kuala Lumpur. Namun, seperti dalam SEA Games sebelumnya di Singapura, dia keok. Alasannya: sudah kehabisan energi dalam saptalomba yang hanya berselang sehari dengan lari gawang. Hasil itu yang membuat pelatihnya memutuskan Emilia hanya berlomba di lari gawang dalam Asian Games kali ini.

Saat berprestasi jeblok seperti itu, Emilia melanjutkan, cibiran kembali menghujaninya, sama seperti saat dia baru ikut pelatnas delapan tahun lalu. "Orang-orang bilang saya kebanyakan gaya," ujar Emilia. Rambutnya memang kerap gonta-ganti sepuhan. Saban kali ia berlomba, selalu ada aksesori yang nyantol, dari kacamata hitam, ikat kepala, sampai arloji. Atlet yang disponsori Nike ini menerangkan, tampil modis membuatnya lebih percaya diri di dalam dan luar lintasan. "Omongan seperti itu selalu ada saat Emil gagal."

nnn

EMILIA Nova memasuki lintasan lari gawang 100 meter di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Ahad malam pekan lalu, dengan perasaan waswas. Final sudah di depan mata. Tapi otot paha belakangnya tegang setelah digeber pada babak semifinal sehari sebelumnya. Rasa nyeri itu masih ditambah dengan cedera bawaan di pinggul kirinya yang sempat membuatnya menangis kesakitan saat berlatih, awal bulan lalu.

Emilia mencoba menenangkan diri. Dia mengingat pesan Bob Hasan lewat telepon, dua pekan sebelumnya. "Udah, lu enggak usah ngotot. Lu enggak dapat medali, gua enggak marah," kata Emilia, menirukan omongan pengusaha kayu yang dia panggil "Bapak" itu. Emilia, yang tampil perdana dalam pesta olahraga Asia ini, memang tidak dibebani target medali.

Pandangannya beralih ke tribun. "Tidak pernah pertandingan atletik seramai ini," ucapnya. Mendengar pekikan "Indonesia" dan "Emilia Nova", semangatnya terpompa. Dia memaksakan diri tersenyum. Saat pelari dipanggil menuju starting block, Emilia menatap gawang. Dia mengulang-ulang pesan pelatihnya agar menjaga ritme lari dan menurunkan kaki lebih cepat setelah melewati gawang.

Pistol meletus. Dari lintasan 5, Emilia melihat Jung Hye-lim dari Korea Selatan di kanannya unggul sejak start. Melewati gawang kesepuluh, veteran Olimpiade 2012 di London dan juara Asia 2017 itu tak terkejar. Sementara itu, dari sudut kiri matanya, Emilia melihat Liu Lai Yiu dari Hong Kong mengejarnya di lintasan 1. Khawatir tersalip, Emilia mengayun kakinya lebih cepat. Tiga langkah menjelang finis, senyumnya terkembang.

Reza Maulana, Bram Setiawan

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus