Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Merangkak Dulu, Berlari Kemudian

UNTUNG saja Sapwaturrahman, 24 tahun, tipikal orang yang keras kemauan.

1 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Merangkak Dulu, Berlari Kemudian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUNG saja Sapwaturrahman, 24 tahun, tipikal orang yang keras kemauan. Kalau tidak, mungkin medali Indonesia dalam Asian Games ini berkurang satu, yaitu perunggu dari nomor lompat jauh putra.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berlatih sejak usia sebelas tahun, pemuda asal Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat, ini meniti karier dari perlombaan antar-sekolah dasar sekecamatan. Saat duduk di bangku sekolah menengah pertama, dia mencatatkan lompatan 1,73 meter di nomor lompat tinggi Pekan Olahraga dan Seni Nasional 2008. Dia lalu masuk Pusat Pendidikan Latihan Pelajar (PPLP) NTB dan mendapat perunggu di lompat tinggi kejuaraan pelajar nasional dengan lompatan 1,75 meter.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prestasi itu membawa Sapwaturrahman ke pemusatan latihan nasional atletik pada 2009 sebagai pelompat tinggi. Namun Ketua Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI), Mohamad "Bob" Hasan, memintanya jadi sprinter. Sapwa menjawabnya dengan menjadi kampiun kejuaraan nasional lari 100 meter pada 2011 saat usianya 17 tahun. Namun karier Sapwa mandek. Bolak-balik diandalkan dalam SEA Games 2011, 2013, dan 2015, dia pulang dengan tangan hampa.

Bob Hasan mengabulkan permintaan Sapwa menjadi pelompat jauh dalam pelatnas 2017. "Murni kepercayaan saja, tanpa data kejuaraan," ujar Sapwa kepada Tempo, Rabu pekan lalu. Tiga pekan setelah pelatnas dimulai, dia mencatatkan lompatan 7,90 meter dalam Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional di Makassar. Angka itu melebihi rekor nasional 7,85 meter milik Agus Reza Irawan yang bertahan sejak 1985. Sejak itu, catatannya terus menanjak. Dia menjadi orang Indonesia pertama yang bisa melompat lebih dari 8 meter, tepatnya 8,09 meter pada final lompat jauh Asian Games di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Ahad pekan lalu.

Lalu Muhammad Zohri, 18 tahun, yang mempopulerkan atletik setelah menjadi juara dunia di bawah usia 20 tahun nomor 100 meter, Juli lalu, juga mengawali perjalanan dari bangku sekolah. Rosida, guru olahraganya di SMP Negeri 1 Pamenang, Lombok Utara, NTB, memaksanya ikut ekstrakurikuler atletik. Dia baru ikut latihan saat kelas III. Setelah mengikuti berbagai lomba tingkat lokal, anak yatim-piatu itu mengumpulkan enam medali emas kejuaraan nasional sepanjang tahun lalu bersama PPLP NTB.

Dalam Asian Games 2018, Zohri menjadi magnet penonton yang memadati Stadion Utama Gelora Bung Karno. Dia menembus babak final 100 meter, meski akhirnya hanya finis di urutan ketujuh. Remaja yang doyan cengengesan itu membuat kejutan dengan mempersembahkan medali perak di estafet 4 x 100 meter putra bersama Fadlin, Eko Rimbawan, dan Bayu Kertanegara dengan catatan waktu 38,89 detik.

Meski Zohri jadi bintang, pengurus PASI pantang menaruh beban di pundaknya. Sekretaris Jenderal PASI Tigor Tanjung baru akan memberinya target dalam Olimpiade 2024 di Paris. "Saat mencapai usia emas," kata Tigor.

Komang Budigama, pelatih Zohri di PPLB NTB, berharap kesuksesan Zohri menarik anak-anak muda mendalami atletik. "Potensi atlet seperti Zohri banyak, tapi mereka enggan memilih atletik karena kurang populer," tuturnya.

Reza Maulana, Bram Setiawan, Egi Adyatama

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus