Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PELATIH kepala tim nasional pencak silat, Rony Syaifullah, terkadang masih merasa gemas jika mengingat SEA Games di Kuala Lumpur, Malaysia, tahun lalu. Dalam perhelatan tersebut, tim asuhannya hanya mengantongi dua medali emas dari nomor seni beregu dan kelas tarung putri. Ini prestasi terendah pencak silat nasional dalam SEA Games sejak Rony ditunjuk sebagai pelatih tim cabang olahraga tersebut delapan tahun silam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim Malaysia sebagai tuan rumah memboyong 10 medali emas dan keluar sebagai juara umum. Padahal, dalam tiga perhelatan SEA Games sebelumnya, Indonesia selalu unggul atas Malaysia. Indonesia bahkan pernah menjadi juara umum dalam kejuaraan dunia pencak silat pada 2015 dan 2016.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Rony, SEA Games 2017 adalah kekalahan telak untuk tim pencak silat Indonesia. Perhelatan dua tahunan ini menjadi ajang pemanasan tim pencak silat nasional untuk menghadapi Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang. Sebagai tuan rumah, Rony tidak mau tim asuhannya mengalami nasib serupa seperti dalam SEA Games Malaysia. Apalagi pencak silat baru kali ini dipertandingkan dalam Asian Games. "Kami bergerak cepat melakukan perbaikan," ujar Rony.
Langkah pertama yang dijalankan adalah merombak program latihan. Tim pelatih membuat rancangan program jangka panjang. Mereka memulai perubahan dengan memantau ketat para atlet muda potensial. Setelah itu, tim pelatih mengadakan seleksi untuk pemusatan latihan nasional.
Dalam penyaringan atlet untuk pelatnas pada November tahun lalu, ada sejumlah nama baru yang dipanggil. Kendati secara teknik mumpuni, para atlet itu masih memiliki masalah berupa kemampuan fisik yang rendah. "Berbeda dengan yang sudah ditangani Mas Rony sebelumnya," tutur pelatih fisik pelatnas, Ferry Hendarsin. "Tapi mudah memperbaikinya karena mereka sudah memiliki kemampuan dasar."
Keputusan menjaring atlet muda dan mengubah program latihan ini akhirnya berbuah manis. Tim nasional pencak silat menjadi juara umum dalam Asian Games setelah meraih 14 dari 16 medali emas yang diperebutkan. Para atlet muda Indonesia mendominasi enam nomor seni dan delapan kelas di kategori tarung. "Anak-anak itu luar biasa," ucap Rony, pelatih yang kini berusia 42 tahun.
Saking senangnya mendapatkan medali emas, salah satu atlet pencak silat, Hanifan Yudani Kusumah, memeluk bersamaan Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Pencak Silat Indonesia Prabowo Subianto yang menyaksikan langsung pertandingannya di Padepokan Pencak Silat Taman Mini Indonesia Indah, Rabu pekan lalu. Hanifan mengalahkan wakil Vietnam, Nguyen Thai Linh, dalam pertarungan di kelas C (55-60 kilogram). Aksi Hanifan ini viral di media sosial karena dianggap menyatukan dua pasangan calon presiden 2019.
Rony tertawa besar ketika ditanyai tentang aksi Hanifan. Menurut Rony, apa yang dilakukan Hanifan itu adalah ungkapan kegembiraan karena memenangi pertandingan dalam kompetisi sebesar Asian Games. "Tidak ada masalah, yang penting Indonesia juara, kan," katanya.
PENCAK silat menjadi olahraga yang membesarkan nama Rony Syaifullah. Ia petarung andalan Indonesia di kelas G (75-80 kilogram) yang pernah menjadi juara dunia pada 1997 dan 2000. Rony juga ikut menyumbangkan medali emas dalam SEA Games 1997, 2005, dan 2007.
Pengalamannya sebagai atlet selama lebih dari 15 tahun sejak 1990-an berdampak besar pada perannya sebagai pelatih. Latar belakang akademik di bidang olahraga dan sport science juga membantunya dalam membuat program. "Saya bisa membandingkan apa yang saya alami dulu sebagai atlet dan apa yang harus saya lakukan sebagai pelatih," kata doktor bidang pendidikan olahraga dari Universitas Negeri Jakarta itu.
Menurut Rony, latihan dengan gaya konvensional seperti yang dijalaninya dulu sudah tak cocok dengan kondisi tim saat ini. Apalagi sebagian besar peserta pelatnas adalah atlet muda. "Metodenya sudah pasti berbeda," ujarnya.
Menurut Rony, para pelatih saat ini dituntut bisa lebih dari sekadar mengajarkan jurus. Peran sebagai orang tua sekaligus kawan bagi para atlet menjadi hal yang penting selama pelatnas. Menjelang Asian Games, mereka mendatangkan psikolog sebagai bagian dari persiapan akhir. "Itu yang membuat atlet lebih siap," tuturnya. "Puncaknya adalah ketika mereka menang."
Rony juga membuat gebrakan dengan mengombinasikan ilmu pengetahuan seperti sport science serta nutrisi dengan pengalaman yang dimilikinya. Selama pelatnas, selalu ada tes pengukuran kondisi fisik atlet dan perbaikan metodologi latihan. Sistem pemulihan kesehatan pun dipantau ketat. "Dengan model seperti itu, kualitas atlet membaik dan berdampak pada peningkatan prestasi," ucap Rony.
Gizi atlet pun menjadi hal yang sangat diperhatikan Rony. Menu makanan pada masa latihan akan berbeda dengan santapan atlet ketika sudah menghadapi kompetisi. Asupan makanan, menurut Rony, akan mempengaruhi penampilan atlet. "Misalnya, ketika mendekati masa pertandingan, konsumsi karbohidrat bisa ditambah," dia menjelaskan.
Pengawasan nutrisi dinilai penting karena Rony merasa isu tersebut tak ditangani dengan tepat selama dia menjadi atlet. Dia bahkan mengakui pola makannya dulu tak terpantau. "Sudah latihannya begitu-begitu saja, makan bisa semaunya. Apa yang ada, ya, itu yang dimakan," katanya.
Lokasi latihan dan uji tanding pun dibuat bervariasi oleh tim pelatih. Para pesilat diboyong ke sejumlah negara, seperti Cina dan Jepang. Dalam latihan di Cina, mereka mempelajari ilmu para atlet wushu. Sedangkan di Jepang mereka ikut mempelajari judo. "Ini menjadi pengetahuan tambahan untuk mereka," ucap Edhy Prabowo, manajer tim nasional pencak silat.
Iqbal Chandra Pratama, pesilat berusia 22 tahun, mengatakan uji tanding ke sejumlah negara membantunya mengembangkan kemampuan silatnya. "Teknik bantingan judo itu berbeda. Meski demikian, variasi jurus di silat lebih banyak," tutur Iqbal, yang sukses meraih medali emas Asian Games di kelas 60-65 kilogram.
Menurut Rony, latih tanding diperlukan untuk mengukur kemampuan para atlet. Tidak menjadi masalah baginya jika lokasi latih tanding bukanlah tempat asal pencak silat atau negara-negara Melayu, selama ada atlet-atlet tangguh. Dua bulan sebelum Asian Games digelar, tim pencak silat menyambangi Thailand dan Vietnam. "Dari dulu selalu bikin susah atlet kita," katanya. "Terbukti kami bisa unggul di sana."
Pengalaman yang dibawa pulang dari Thailand dan Vietnam membuat Rony yakin para pesilat Indonesia bisa menuai sukses di Asian Games. Kepada anak-anak asuhannya, Rony memberikan prediksi dan statistik pertandingan para atlet untuk dipelajari. Mereka sudah menghitung kelebihan dan kekurangan tim dalam 16 nomor pertandingan pencak silat di Asian Games. Ia hakulyakin Indonesia akan unggul di kategori seni.
Hitung-hitungan pelik justru ada di kategori pertarungan. Ganjalan datang dari atlet Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Ada juga pesaing dari Iran, Uzbekistan, dan Kazakstan yang dinilai memiliki keunggulan dari segi fisik. Mereka pun biasanya turun di kelas besar. "Toh, terbukti, dengan persiapan yang matang, kita bisa menang," ujar Rony.
Dengan keberhasilan besar di Asian Games, Rony merasa sebagian tugasnya sebagai pelatih sudah terlaksana. Juara tiga kali Pekan Olahraga Nasional ini bahkan tak menyangka tim Indonesia bisa mendominasi pencak silat. "Tugas saya memang menyiapkan anak-anak itu untuk menang," katanya. "Tapi saya berharap keberhasilan ini tidak menghentikan kita untuk terus berkembang."
Gabriel Wahyu Titiyoga
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo