Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Energi Terpendam Bernama Shale Gas

Potensi shale gas di Indonesia terbesar kedelapan di dunia. Biaya tinggi menjadi kendala eksplorasi.

17 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENCARI energi alternatif menjadi prioritas mendesak di tengah kian langkanya cadangan minyak bumi. Salah satu energi alternatif yang mulai diburu adalah shale gas. Indonesia menyimpan potensi besar gas alam ini. Sayang, letaknya yang ribuan meter di bawah tanah membuat biaya eksplorasi tinggi.

Gas alam yang mayoritas berupa metana ini terbentuk di lapisan batuan shale kaya hidrokarbon. Ketebalannya 75-100 meter dan terletak di kedalaman 2.000-3.000 meter di bawah rumah pembentukan coal bed methane (600-800 meter) serta minyak dan gas bumi konvensional (1.500-2.000 meter).

"Shale disebut juga tanah liat atau lempung," kata Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini, Selasa pekan lalu. Di Indonesia, shale gas tersebar dari Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua.

Menurut Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi Indonesia Rovicky Dwi Putrohari, shale gas di wilayah Indonesia barat terletak di lapisan batuan berumur 20-30 juta tahun. Sedangkan di Indonesia timur tersimpan di batuan berumur 200 juta tahun.

Dilihat dari segi umur, batuan shale gas di Indonesia timur lebih mudah dieksploitasi karena gampang diretakkan hingga pecah. "Hampir sama dengan di Amerika," ujar Rudi. Hanya, minimnya infrastruktur di kawasan ini menyulitkan penambangan gas yang dapat diolah menjadi LNG atau LPG itu.

Mengutip data American Association of Petroleum Geologists dan Badan Informasi Energi Amerika Serikat, potensi shale gas di Indonesia mencapai 574 triliun kaki kubik (TCF). Adapun Amerika memiliki 1.100 TCF, Cina 1.400 TCF, dan Rusia 1.700 TCF. "Jumlahnya kira-kira lima kali dari cadangan gas sekarang," ucap Rudi.

Angka tersebut menempatkan Indonesia di peringkat kedelapan dunia, di bawah Rusia, Cina, Amerika Serikat, Iran, Qatar, Argentina, dan Meksiko sebagai negara yang memiliki potensi shale gas terbesar.

Sebagai gambaran, satu TCF ­shale gas bisa menghasilkan 100 miliar kWh listrik dan menghidupkan 12 juta unit kendaraan berbahan bakar gas selama setahun. Hanya, menambang shale gas bukan perkara mudah.

Shale gas terpendam di lapisan batuan yang permeabilitas dan porositasnya rendah. Tak cukup hanya dengan teknik pengeboran vertikal tapi juga diperlukan pengeboran horizontal sejauh 1.000-2.000 meter.

Selain itu, dibutuhkan teknologi tambahan bernama hydraulic fracturing atau fracking. Teknik penyemprotan campuran air, pasir, dan bahan kimia dengan tekanan tinggi ini untuk meretakkan batuan shale yang memerangkap gas.

Begitu shale retak, seketika itu gas yang terperangkap dalam pori-pori keluar. Gas itu mengalir lewat sumur pengeboran hingga ke permukaan untuk kemudian ditampung. Teknik ini dikembangkan di Amerika sejak 1940-an.

Direktur Pengelolaan Usaha Hulu Migas Kementerian ESDM Naryanto Wagimin mengatakan Amerika sejak 2000 sudah agresif mengejar shale gas. Namun studi dan eksplorasinya dimulai sejak puluhan tahun sebelumnya. "Sekarang mereka tinggal panen."

Produksi shale gas Amerika pada 2010 mencapai lima TCF atau setara dengan 23 persen dari total produksi gas alam Indonesia. Produksinya meningkat 12 kali lipat selama satu dasawarsa terakhir.

Melimpahnya pasokan tersebut membuat harga gas di Amerika turun menjadi US$ 3 per MMBTU. Padahal harga gas di Asia masih di kisaran US$ 17-18. "Tapi Amerika memastikan gas hanya untuk keperluan sendiri," kata Rovicky. Ia menambahkan, kebijakan itu dinyatakan langsung oleh Presiden Barack Obama.

Teknologi fracking sempat memicu perdebatan serius di Amerika. Para pegiat lingkungan dan kalangan medis menuding teknik ini menyebabkan pencemaran air tanah dan polusi udara. Belum lagi terjadinya gempa lokal akibat kencangnya aktivitas fracking di dalam tanah.

Fracking secara intensif telah dilarang di Eropa karena dinilai menyebabkan kesulitan air. Teknik yang melibatkan jutaan galon air, pasir, dan bahan kimia ini memang rawan merusak hidrodinamika jika daerah eksplorasinya minim air. Sebab, komponen air mencapai 90 persen.

"Tapi di sini dengan hujan cukup besar kondisinya tidak seekstrem itu," ujar Rovicky. Rasa khawatir ini juga ditepis Rudi. Bekas Wakil Menteri ESDM ini mengatakan, lapisan air tanah berada di kedalaman 500-an meter. Adapun shale gas ditambang jauh lebih dalam. "Tidak berhubungan antara air minum dan gas," katanya.

Shale gas masih barang baru bagi industri migas di Indonesia. Sementara Amerika sudah menambang shale gas dari ratusan ribu sumur yang tersebar di hampir 50 negara bagian, Indonesia belum memiliki satu pun. Amerika kini mampu memproduksi 25 ribu million standard cubic feet (MMSCFD) shale gas atau tiga kali produksi gas konvensional di Indonesia.

Pengelolaan shale gas di Indonesia terhambat biaya investasi yang sangat tinggi. Eksplorasi satu sumur mencapai Rp 100-500 miliar. Belum lagi ongkos pengeboran vertikal, horizontal, dan fracking. "Bisa sampai triliunan rupiah," ujar Rudi.

Biaya produksi shale gas di Amerika bisa rendah lantaran dilakukan secara masif dan memanfaatkan sumur-sumur lama. Sedangkan di Indonesia harus mengebor sumur baru. "ConocoPhillips sempat babak-belur dihantam biaya tinggi pada awal produksinya," kata Naryanto.

Perusahaan migas di Indonesia, baik pelat merah, swasta nasional, maupun multinasional, memiliki banyak pengalaman melakukan pengeboran vertikal dan horizontal. Sedangkan untuk fracking disiasati­ dengan mengundang perusahaan fracturing berpengalaman, seperti Halliburton dan Schlumberger, untuk ikut berinvestasi.

Meski berbiaya tinggi, industri shale gas tetap ramai peminat. Tahun ini pemerintah menawarkan enam wilayah kerja shale gas melalui tender reguler, antara lain Blok Berau, Blok North Tarakan, Blok Kutai I, dan Blok Kutai II di Kalimantan, serta Blok Rama dan Blok Shinta di Sumatera Selatan.

Secara total ada 70 proposal pengembangan shale gas yang masuk ke Kementerian Energi, lima di antaranya telah merampungkan penelitian bersama, termasuk PT Pertamina (Persero), Chevron, dan ConocoPhillips.

Pertamina dinilai paling siap menggarap shale gas. Perusahaan tersebut akan mengerjakan proyek percontohan di kawasan eksplorasi milik sendiri di Blok Rantau di Sumatera bagian utara. "Kami berharap Pertamina dululah," kata Naryanto.

Pertamina akan meneken kontrak kerja sama dengan pemerintah dalam pertemuan tahunan Indonesian Petroleum Association pada Mei mendatang. Dibutuhkan 1-2 tahun persiapan sebelum pengeboran perdana. "Mungkin baru 20 tahun kemudian (menghasilkan shale gas)," ujar Rudi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus