Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Proyek Sunyi Panas Bumi

Pembangunan pembangkit listrik panas bumi terhambat tenaga ahli, perizinan, dan pendanaan eksplorasi. Anggaran penjaminan pemerintah membeku.

17 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERUT bumi Indonesia itu seperti sepanci air di atas kompor menyala: panas dan menggelegak. Jika tepat mengebornya, kita bisa membangkitkan listrik darinya. Potensi panas bumi (geotermal) di seluruh Indonesia itu mampu memicu listrik sebesar 30 ribu megawatt—40 persen dari potensi seluruh dunia. Dengan setrum sebesar itu, kita bisa menerangi enam kota seukuran Jakarta.

Sayang, itu belum dimanfaatkan benar. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik mengatakan pemakaian panas bumi untuk pembangkit listrik masih sangat kecil. Dari potensi yang kita miliki, hanya 1.300 megawatt atau kurang dari lima persen yang dimanfaatkan. Padahal, dengan semakin menurunnya produksi minyak, energi terbarukan, seperti panas bumi dan hidro (air), adalah pilihan yang paling masuk akal.

Pemerintah sebenarnya sudah meliriknya. Panas bumi dan hidro mendominasi proyek listrik 10 ribu megawatt tahap kedua. Dari rencana proyek 10 ribu megawatt tahap kedua, tenaga panas bumi diharapkan menyumbang 4.925 megawatt—hampir separuhnya. Ada 46 proyek yang sekarang sedang berjalan, tapi belum semuanya berproduksi. Dua titik sudah dalam tahap instalasi, delapan lokasi dalam tahap eksploitasi, lima lokasi dalam tahap eksplorasi, dan 31 titik dalam tahap persiapan eksplorasi.

M. Sofyan, Kepala Divisi Energi Baru Terbarukan PT Perusahaan Listrik Negara, mengatakan target listrik panas bumi milik PLN lebih besar daripada proyek 10 ribu megawatt tahap kedua itu. "PLN punya proyek-proyek di luar proyek 10 ribu megawatt tahap kedua," katanya Senin pekan lalu. Totalnya mencapai 6.200 megawatt. Jumlah tersebut untuk mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 20 persen pada 2021. Target ini juga lebih besar daripada target pemerintah, yang mematok 17 persen pada 2025.

Untuk mencapai tambahan tersebut tidak mudah. Kendala pertama, menurut Sofyan, berada di hulu penambangan panas bumi. "Kurang pengalaman dalam kemampuan teknis," ujarnya. Menurut Sof­yan, pengembang kurang berpengalaman dalam menyiapkan proposal atau studi kelayakan proyek panas bumi. Penilaian Sofyan dirasakan oleh Calvin Karo-Karo Gurusinga, Kepala Pusat Sumber Daya Geologi. Menurut Calvin, kesulitan mencari sumber panas bumi muncul sejak tahap survei. "Kekurangan tenaga ahli baik kuantitas maupun kualitas," katanya.

Saat ini Pusat Sumber Daya Geologi hanya memiliki 20 tenaga ahli geologi panas bumi. Itu tidak sebanding dengan potensi panas bumi yang mencapai ribuan megawatt. "Satu titik survei membutuhkan lebih dari tiga tenaga ahli," ujarnya. Kebutuhan tenaga ahli di Pusat Sumber Daya Geologi sangat besar karena lembaga ini, sebagai tulang punggung, menentukan kemungkinan ada-tidaknya uap panas bumi yang bisa dimanfaatkan untuk pembangkit listrik. Jika diprediksi ada uap panas bumi, lokasi tersebut bakal diusulkan ke Kementerian Energi sebagai wilayah kerja pertambangan.

Kendala lain adalah persoalan klasik: ongkos. Satu titik eksplorasi membutuhkan biaya US$ 7 juta (sekitar Rp 68 miliar). Adapun eksplorasi paling sedikit dibutuhkan tiga titik agar dapat dihitung potensinya. Akibatnya biaya membengkak menjadi US$ 21 juta. Biaya jumbo untuk eksplorasi, ucap Sofyan, harus ditanggung sendiri oleh pengembang. Risikonya adalah pengembang tekor jika hasil eksplorasi menunjukkan uap panas tak terkandung dalam perut bumi. "Ini membuat pengembang tidak berani maju," katanya.

Menurut Sofyan, risiko ongkos ini mulai ditekan salah satunya dengan menggelontorkan Fasilitas Dana Geothermal sejak 2012. Fasilitas ini dikelola oleh Pusat Investasi Pemerintah di bawah Kementerian Keuangan. Dana segar ini bisa dipinjam pengembang yang memenangi tender eksplorasi atau penyedia data informasi awal eksplorasi.

Kepala Pusat Investasi Soritaon Siregar mengatakan dana geotermal disiapkan sebesar Rp 2 triliun. Rp 1,126 triliun merupakan tambahan tahun ini. Jumlah dana yang bisa dipinjamkan paling tinggi US$ 30 juta dengan bunga pinjaman sebesar suku bunga Bank Indonesia ketika perjanjian diteken.

Jumlah yang sama diberikan kepada pihak yang mau bertindak sebagai penyedia data awal eksplorasi. Keuntungan yang diberikan adalah lima persen dari ongkos belanja data yang dibayarkan pemenang tender.

Kendati jumlah penjaminan besar, tidak sepeser pun dana tersebut terkucurkan. Alasannya, ketika anggaran dialokasikan, Pusat Investasi belum menyiapkan infrastruktur pengelolaan dana. Kendala infrastruktur tersebut antara lain pembuatan prosedur operasional pemberian pinjaman, peningkatan kemampuan pegawai, pembentukan tim koordinasi dengan instansi lain, dan kebutuhan konsultan pendamping. "Sebelum mendapatkan konsultan pendamping, penyaluran dana geotermal belum dapat direalisasi," ujarnya Rabu pekan lalu.

Sebelumnya, selain hambatan ongkos, kendala perizinan tak kalah peliknya. Menteri Jero menilai semangat menggali panas bumi berbenturan dengan peraturan Kementerian Kehutanan. Tabrakan regulasi terjadi karena mayoritas sumber panas bumi berlokasi di kawasan konservasi atau hutan lindung. "Hambatannya, Menteri Kehutanan tidak mengizinkan," katanya.

Jero mengklaim hambatan itu terurai setelah lolosnya rencana eksplorasi panas bumi di Taman Nasional Gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Di sana sumber panas bumi diprediksi berada pada luasan 10 hektare di dalam hutan lindung seluas 500 ribu hektare. Jero mengatakan luluhnya Menteri Kehutanan mengeluarkan izin setelah ia melobi secara tak resmi koleganya di kabinet itu.

Lobi Jero dilayangkan ketika sang bos, Susilo Bambang Yudhoyono, menggelar pesta pernikahan putra bungsunya, Edhie Baskoro Yudhoyono, November 2011. "Kebetulan kami berdua menjadi panitia. Sambil tengak-tengok, kami berbincang soal geotermal," ujarnya. Satu bulan kemudian, keduanya menandatangani nota kesepakatan. "Sejak itu, di mana ada geotermal, selalu mudah izinnya."

Hambatan kedua, menurut Jero, PLN tidak mau membeli dengan harga lebih tinggi, yaitu US$ 5-6 sen per kilowatt-jam (kWh). "Kalau begini, mau ganti Menteri Energi 10 kali, kenaikan bauran energi terbarukan hanya mimpi."


Kapasitas pembangkit listrik panas bumi (Megawatt)
  • Chevron 5 pembangkit 395
  • Indonesia Power 7 pembangkit 370
  • Star Energy 2 pembangkit 220
  • PLN 9 pembangkit 196,5
  • Geodipa Energy 1 pembangkit 60
  • PGE/ Ind. Power 1 pembangkit 60
  • PGE/ Dizamarta P. 1 pembangkit 12
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus