Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tersandera Formulasi Harga

Bahan bakar nabati tak kunjung jadi primadona pengganti solar dan bensin. Subsidi bahan bakar minyak yang kelewat besar dan harga patokan yang tak layak jadi penyebab.

17 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AUDIT Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan tentang formulasi harga bio­etanol akhirnya selesai juga. Senin pekan lalu, audit ini diteken Kepala BPKP dan diserahkan ke beberapa kementerian. Hasilnya sudah bisa ditebak. Formulasi harga yang berlaku saat ini dianggap sudah tak layak. "Rencananya, kami mengadakan rapat dengan Kementerian Keuangan pada Senin pekan depan," kata Direktur Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusnadi, Rabu pekan lalu.

Berbeda dengan biodiesel bahan bakar nabati pengganti solar, realisasi bioetanol sebagai pengganti bensin tak kunjung terjadi. Tengok saja di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Ketika biosolar—campuran 92,5 persen solar dan 7,5 persen biodiesel—terdistribusi di sejumlah pompa bensin mulai 2006, bioetanol tak kunjung mampir hingga saat ini.

Kendala utamanya ada di formulasi harga yang mengacu pada harga argus—harga bioetanol se-Asia Tenggara ditambah lima persen. Hal itu dinilai tak mampu menutup ongkos produksi. "Kami sudah menawar bioetanol ke produsen, tapi tak ada yang mau jual karena harganya tidak sesuai," ujar Senior Vice President Fuel Retail Marketing Pertamina Suhartoko. Bahkan, bila formulasi harga itu ditambal subsidi pemerintah maksimal Rp 3.000 per liter, sesuai dengan aturan, produsen tetap menolak. "Padahal, kalau harga cocok, kami lebih dari siap," kata Vice President Fuel Marketing Pertamina Mochamad Iskandar.

Tarik-ulur formulasi harga bio­etanol sudah dimulai sejak Peraturan Menteri Nomor 32 Tahun 2008 tentang bahan bakar nabati sebagai bahan bakar pengganti ditetapkan. Aturan itu mewajibkan SPBU menyediakan bahan bakar nabati. Dua tahun lamanya formulasi harga dibahas, tapi ketika diteken pada Januari 2010 tetap tak cocok.

Dadan Kusnadi mengatakan bahwa pihaknya akan mengajukan revisi formulasi harga bioetanol ke Kementerian Keuangan. Usulannya: harga argus ditambah 32 persen. Namun usulan ini ditentang Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia. Asosiasi ini lebih suka formulasi harga mengacu pada harga riil bahan baku ditambah proses produksi. "Daripada mengulang cerita lama. Kalau harganya ternyata nanti tidak cocok, kita mundur lagi," ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Paulus Tjakrawan.

Direktur Utama PT Mulindo Raya Industri Hendra Setiawan juga menolak. "Harga bahan baku di tiap negara berbeda," katanya. Setiap tahun Hendra membeli molase, bahan baku bioetanol, dari PTPN X di Jawa Timur. Sebesar 60 persen harga bioetanol, ujar dia, ditentukan harga bahan baku.

Tiap tahun pabrik milik Hendra dapat memproduksi 55 ribu kiloliter bioetanol. Namun produksi tahun lalu hanya 10 ribu kiloliter, yang diperuntukkan bagi bioetanol pengganti bensin buat industri domestik. Sisanya untuk industri farmasi dan cat.

Ceruk bisnis bioetanol ini sebenarnya besar. Konsumsi bensin di Indonesia mencapai lebih dari 20 juta kiloliter per tahun. Namun banyak yang menilai bioetanol tidak akan berkembang selama BBM masih disubsidi. "Harga bioetanol jadi jauh lebih mahal," kata Hendra. "Tapi sebaiknya kita tidak melihat dari faktor harga karena bahan bakar nabati ini bukan substitusi, melainkan alternatif energi yang tidak akan habis," dia melanjutkan.

Paulus menilai harga bioetanol tidak lebih mahal ketimbang harga bensin beroktan 92. "Kalau dihitung-hitung saat ini ada di kisaran Rp 8.000 per liter," ujarnya. Selain itu, kata dia, bioetanol akan meningkatkan kualitas bensin. "Dicampur lima persen saja sudah menaikkan dua oktan bensin," ucapnya.

Menurut dia, keberanian pemerintah mengambil kebijakanlah yang akan menentukan berkembang-tidaknya energi terbarukan di Indonesia. Dia merujuk pada sejumlah negara yang menerapkan pajak untuk pemakaian bahan bakar minyak, sementara bioetanol mendapat insentif karena mengurangi polusi. "Kita justru sebaliknya," katanya.

Selain harga, ketersediaan pasok­an jadi masalah di sini. Sebab, sebagian besar molase di Indonesia berasal dari produk sampingan gula. "Produk sampingan gula itu terbatas, dan harus berebut dengan industri bumbu masak MSG, obat, dan kosmetik," katanya. Semakin efektif proses produksi gula, semakin rendah pula molase yang dihasilkan. Tahun lalu Indonesia memproduksi 280 ribu kiloliter bioetanol dari kapasitas total pabrik sekitar 400 ribu kiloliter.

Kepala Balai Besar Teknologi Energi BPPT Soni Sulistyo mengatakan molase dapat dihasilkan dari singkong dan sorgum. Namun, lagi-lagi, harga singkong cenderung naik-turun. Sorgum mengalami kendala optimalisasi molase. Batang yang matang kadar gulanya rendah, yang mentah berkadar gula tinggi.

Nasib biodiesel masih lebih baik ketimbang bioetanol. Mulai tahun ini biosolar tersedia di sejumlah pompa bensin di Kalimantan, disusul Sulawesi di tahun selanjutnya. Bila aturan campuran solar direvisi, Pertamina akan meningkatkan kandungan biodiesel menjadi 10 persen dalam biosolar.

Tumbuhnya industri biodiesel tidak terlepas dari tumbuhnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia. "Hampir semua produksi biodiesel berasal dari hilirisasi pengolahan minyak curah kelapa sawit (CPO)," kata Paulus. Dari 26,8 juta ton produksi CPO tahun lalu, ada 6,5 juta ton yang digunakan untuk kebutuhan dalam negeri. Serapan untuk biodiesel hanya 669 ribu kiloliter.

Setelah Pertamina, PLN juga melirik biodiesel sebagai alternatif solar. Apalagi rencana induk PLN menargetkan pengurangan bahan bakar minyak dari 17 persen pada 2012 menjadi hanya 3 persen pada 2015. Namun hingga saat ini penggunaan biodiesel belum terlalu besar. "Biofuel enggak berkembang karena harganya dipengaruhi fluktuasi harga CPO internasional," ujar Kepala Divisi Energi Baru dan Terbarukan PLN M. Sofyan.

Menurut Sofyan, perusahaan lebih tertarik menggunakan processed palm oil (PPO) ketimbang biodiesel. "Biodiesel itu terkait dengan harga internasional dan ketentuan subsidi. Implementasinya sulit. Kami butuh harga yang pasti," kata Sofyan. Meski dengan menggunakan campuran 70 persen solar dengan 30 persen PPO, PLN membutuhkan tambahan alat pemanas. "PPO itu kekentalannya beda, jadi harus ada pemanasnya," ujarnya.

Potensi pengganti solar di sejumlah pembangkit sangat besar. PLN setidaknya membutuhkan 500 ribu kiloliter solar setiap tahun untuk menyuplai pembangkit listrik tenaga diesel di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Jumlah ini bisa melonjak jadi 3,6 juta kiloliter bila menghitung pembangkit listrik tenaga gas dan pembangkit tenaga diesel milik swasta di bagian barat Indonesia. "Kami mau saja memakai biodiesel, tapi harganya harus tetap dalam setahun, dengan margin dan ada ­saving yang wajar," katanya.

Tak mengherankan bila tahun ini Asosiasi Produsen Biofuels mengajukan revisi harga biodiesel. "Harga yang kami usulkan harga refined, bleached, and deodorized palm oil ditambah proses produksi dan energi," ucapnya. Menurut dia, harga bioetanol saat ini, yang berpatokan pada harga ekspor yang dikeluarkan oleh Ketetapan Peraturan Menteri Perdagangan, rentan terhadap naik-turunnya harga komoditas internasional. "Margin laba kami hanya dua persen. Jadi, sekali harga komoditas goyang, kami juga," ujarnya.


Jero Wacik:Masa Minyak Sudah Lewat

Perkembangan teknologi dan penemuan sumber energi baru telah mengubah arah kebijakan energi nasional secara signifikan. Dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006, proyeksi bauran energi pada 2025 masih menempatkan sumber energi baru dan terbarukan pada porsi 17 persen. Rancangan itu bakal diubah dalam waktu dekat dengan menaikkan kontribusi panas bumi, biofuel, liquefied coal, serta sumber energi lain, seperti biomassa, hydro power, tenaga angin, dan panas matahari, menjadi 25,7 persen.

"Selama ini kita dininabobokkan oleh harga BBM yang disubsidi," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik saat ditemui tim Tempo, 28 Februari lalu, di kantornya. Dengan bersemangat Jero menjelaskan pemanfaatan energi ramah lingkungan didampingi Direktur Jenderal Energi Baru dan Terbarukan Rida Mulyana.

Mengapa pemanfaatan energi baru dan terbarukan begitu minim?

Kalau ada hal yang hendak saya wariskan dalam hidup, itu adalah energi baru dan terbarukan. Inilah yang akan menyelamatkan bangsa kita di masa depan. Masa minyak sudah lewat. Kita harus turunkan peran minyak dalam pemanfaatan energi. Karena sudah langka dan sudah mahal. Tidak boleh lagi kita tergantung minyak.

Apa pengganti minyak?

Kita masih punya gas banyak. Sebagian diekspor, sebagian untuk dalam negeri. Batu bara, kita punya cukup banyak. Tapi minyak, gas, dan batu bara ini kan fosil. Mereka akan menghasilkan residu CO2. Ini tidak baik buat anak-cucu kita. Sekarang masih bolehlah. Tapi, setelah itu, kita harus beralih ke energi baru dan terbarukan. Jumlahnya banyak sekali dan dahsyat.

Seberapa besar dan cepat peralihan ke energi baru dan terbarukan?

Saya punya keyakinan, akhir 2014, proyek 10 ribu megawatt tahap pertama akan selesai. Lalu program 10 ribu megawatt yang kedua sudah akan mulai dengan energi baru dan terbarukan. Geotermal akan masuk ke situ 4.000-an megawatt, kemudian pembangkit listrik tenaga air atau hydro power, baik yang besar maupun yang kecil.

Ada perubahan target pemanfaatan energi?

Dalam Kebijakan Energi Nasional, yang sekarang menunggu ketuk palu DPR, ada perubahan dibanding Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 dalam porsi bauran energi untuk pembangkit listrik. Untuk energi baru dan terbarukan akan naik dahsyat angkanya menjadi 25 persen, dari sebelumnya 5,7 persen dan 17 persen. Gas untuk transportasi belum dihitung. Padahal kita akan bergerak ke situ. Mobil-mobil kita akan menggunakan gas semua ke depan.

Bagaimana dengan hambatan dari birokrasi, teknologi, hingga modal awal yang mahal?

Indonesia memiliki 40 persen potensi geotermal dunia, kapasitasnya 30 ribu megawatt. Sudah puluhan tahun, yang telah dikerjakan baru lima persennya. Kenapa lambat sekali? Kenapa dari dulu tidak jalan-jalan?
Pertama, karena panas bumi kebanyakan di lereng gunung, dan itu adalah hutan lindung. Begitu Menteri Kehutanan bilang tidak boleh dicongkel-congkel, berhenti semua. Hambatan kedua adalah harga jual listriknya terlalu murah. PLN tidak mau beli dengan harga lebih tinggi. Cuma US$ 5-6 sen per kWh, jadi enggak ada yang mau membuat. Nah, dua-duanya saya terobos. Kalau enggak begitu, mau naik dari 5,7 persen ke 17 persen atau 25 persen penggunaan energi baru itu mimpi saja. Mau ganti 10 kali menteri ESDM, tetap saja cuma akan lima persen.

Apa terobosannya?

Pertama, saya terobos Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan. Saya rundingkan dengan beliau, lalu saya sampaikan ke Presiden. Di mana akan bikin geotermal, dia akan setuju. Kesepakatannya 19 Desember 2011. Salamannya di Cipanas, sewaktu kami sama-sama jadi panitia kawinan Ibas (Edhie Baskoro Yudhoyono) dan Alia (putri Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa). Yang kedua soal tarif, saya naikkan feed-in tariff dari tadinya maksimum US$ 9,7 sen. Kalau harganya segitu, sampai hancur itu kalkulatornya, enggak akan jadi-jadi proyeknya.

Apa dasar penentuan tarif itu?

Ada benchmarking di dunia dan kita hitung. Listrik kita yang menggunakan BBM itu US$ 35-40 sen per kWh. Masak, US$ 10-11 sen per kWh buat geotermal kok dibilang mahal? Saya bilang, makan deh tuh yang US$ 35 sen per kWh.

PLN sudah setuju tarif itu?

PLN itu kuncinya saya dan Pak Dahlan Iskan. Kalau saya dan Pak Dahlan sudah sepakat, jalan. Sekarang Pak Dahlan sudah sepakat soal geotermal.

Pengembangan energi baru juga masih terganjal harga bahan bakar minyak bersubsidi yang terlalu murah.…

Semua orang ngomong subsidi BBM Rp 300 triliun itu terlalu tinggi. Semua juga bilang 77 persen subsidi BBM itu dimakan orang yang sebenarnya mampu. Lalu semua orang mengatakan harga BBM mesti dinaikkan. Cuma, ketika harga hendak dinaikkan, semua berdemo dan DPR-nya enggak setuju. Jadi, kalau bilang mesti dinaikkan, mbok ya setuju betulan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus