Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Enigma dalam Keluarga Glass

Sesungguhnya, rangkaian cerita tentang keluarga Glass adalah karya J.D. Salinger yang paling superior.

5 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

”He glanced at the girl lying asleep on one of the twin beds. Then he went over to one of the pieces of luggage, opened it, and from under a pile of shorts and undershirts he took out an Ortgies caliber 7.65 automatic. He released the magazine, looked at it, the reinserted it. He cocked the piece. Then he went over and sat down on the unoccupied twin bed, looked at the girl, aimed the pistol, and fired a bullet through his right temple.”

(A Perfect Day for Bananafish dalam Nine Stories, J.D. Salinger)

Ini adalah sebuah bom yang meledak di tanah sastra dunia. Para kritikus sastra mengatakan nama J.D. Salinger bukan saja diabadikan di peta sastra dunia, tetapi dia seolah lahir dan mati di tanah sastra sepanjang hidupnya. Dimuat pertama kali di majalah The New Yorker pada 1948, cerpen ini terbit kembali beberapa tahun kemudian dalam antologi cerpen terkemuka berjudul Nine Stories.

Cerpen A Perfect Day for Bananafish adalah perkenalan pembaca kepada anggota Glass yang paling penting: Seymour Glass. Ini adalah sebuah cerita yang tragis; yang menunjukkan sebuah hari yang ”normal”, yang dilalui oleh orang-orang yang kelihatan ”normal”, tetapi diakhiri peristiwa yang sangat tidak normal. Bunuh diri.

Salinger memulai adegan cerita ini seperti sebuah film realis yang sempurna. Seorang perempuan muda yang sibuk mengecat kuku kakinya di kamar hotel di Florida; membaca tip di majalah wanita tentang seks. Dia tak panik atau tergesa ketika telepon kamarnya berdering-dering. Demikianlah Salinger menggambarkan Muriel, istri Seymour Glass.

Lantas dari diskusi antara Muriel dan ibunya melalui telepon, terbangunlah karakter Seymour di mata orang-orang di sekelilingnya. Sang ibu yang khawatir pada keselamatan putrinya, karena sang menantu yang menyetir seperti ingin menabrakkan diri ke pohon di sepanjang jalan; bagaimana ibu Muriel meyakinkan putrinya agar membawa Seymour ke psikiater karena ”sungguh kriminal rumah sakit segera melepas dia begitu cepat” dan bagaimana Seymour secara bergurau menyebut istrinya sebagai Miss Spiritual Tramp 1948.

Adegan berikutnya adalah pertemuan Seymour yang sepanjang cerita disebut Salinger sebagai the young man. Kita tahu bahwa lelaki muda berkulit pucat yang tengah Telentang di pinggir pantai sembari mengenakan jubah handuk itu adalah Seymour karena seorang gadis kecil, Sybil, bercakap dan bergurau dengannya. Dengan Sybil, Seymour tampak seperti lelaki yang mampu bersosialisasi dengan lancar dan ramah. Pembicaraan mereka sungguh asyik. Seymour berkisah bahwa di laut ada ikan yang bernama bananafish, sebuah sosok fantasi Seymour.

Menurut Seymour, bananafish mempunyai kegemaran berenang-renang ke dalam lubang yang penuh dengan pisang. Problemnya, di dalam lubang itu, para bananafish tiba-tiba jadi begitu rakus dan melahap semua pisang itu. Akibatnya, mereka jadi gendut bukan buatan hingga akhirnya rombongan bananafish itu tidak bisa keluar dari lubang itu. Hidup mereka sungguh tragis, demikian kata Seymour kepada Sybil.

Setelah bergurau sembari menantang ombak—di mana Sybil mengaku melihat satu ekor bananafish—mereka berpisah. Tingkah laku Seymour menjadi suram. Di dalam lift, dia memaki seorang perempuan hanya karena dia mengira sang perempuan tengah menatap kakinya. Suasana yang digambarkan begitu datar dan ”wajar” mulai terasa ganjil.

Setelah insiden di dalam lift, mata kita mengikuti jalinan huruf ciptaan Salinger seperti mata penonton bioskop yang menyaksikan protagonisnya dengan dada berdebar. Apa yang dilakukan lelaki pucat berjubah handuk itu? Dia masuk ke kamarnya. Dia menatap istrinya, Muriel, yang tengah ketiduran di tempat tidur. Dia merogoh sepucuk pistol. Lalu dia mengarahkan pucuk pistol ke kepalanya sendiri.

Cerpen ini diakhiri dengan kalimat yang menggebrak, tanpa intervensi penulis untuk menyelipkan tafsir apa pun. Begitu saja. Semua digambarkan seperti sebuah realitas yang sederhana tetapi menikam. Bersamaan dengan bunyi ledakan (imajinatif) itu, kita dipaksa merekonstruksi cerita ini dari awal untuk mencari logika di balik aksi bunuh diri Seymour. Semua pergolakan jiwa Seymour—sebagai seseorang yang begitu jenius di antara orang-orang yang hanya peduli pada warna cat kuku atau hal-hal konsumtif dan duniawi—tak tampak secara fisik, meski terasa bayang-bayang itu dalam pembicaraan Muriel dan ibunya.

Akhir dari cerita pendek ini, setelah lebih dari setengah abad kelahirannya, kemudian masih saja menjadi enigma dalam sastra Inggris. Kenapa Seymour memutuskan mengakhiri hidupnya? Siapakah Seymour? Mengapa terkadang dia terlihat seperti sosok yang begitu marah dan sinis kepada dunia (terutama pada orang dewasa yang terlihat begitu banal dan dungu); tapi dia sangat manusiawi pada anak-anak (yang dianggapnya jujur dan tanpa agenda politis)? Mengapa Seymour dipuja oleh adik-adiknya (jenius bersaudara) seperti seorang ”penyelamat” dunia, tetapi dia dicerca oleh keluarga istrinya, yang menganggap dirinya lebih cocok menjadi penghuni rumah sakit jiwa?

Seymour Glass adalah putra sulung keluarga Glass, sebuah keluarga bohemian, luar biasa cerdas yang tidak lazim. Bersama adik-adiknya, berturut-turut si kembar Walker dan Walt, Boo Boo, Buddy, Franny dan Zoey, mereka semua dikenal masyarakat Amerika sebagai pengisi acara radio It’s a Wise Child. Inilah program di mana tujuh Glass bersaudara yang masih kecil mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan pengetahuan umum dengan luar biasa. Pendengar Amerika menyambut dengan gila. Tetapi juga sinis.

Seymour Glass, anak sulung dari seluruh rombongan itu, seperti seorang pemimpin umat yang setiap kata dan geraknya sangat dihormati oleh adik-adiknya, seperti yang terlihat dalam novela Seymour: an Introduction. Novela ini diterbitkan bersama Raise High the Roof Beam, Carpenters (1963). Buddy, sang penulis dalam keluarga Glass, adalah pendongeng dalam novela ini, dan mencoba berbincang dengan pembaca Seymour yang dia kenal sebagai seorang penyair Amerika yang paling dahsyat. Tetapi Seymour percaya pada nilai-nilai baik dalam berbagai agama. Ini kemudian diikuti dengan takzim oleh adik-adiknya.

Novel Franny and Zooey adalah kisah kedua adik Seymour yang paling muda. Novel ini mengambil setting beberapa tahun setelah Seymour bunuh diri. Tapi kita tetap merasakan kelebatan bayang-bayang abangnya; ajaran tentang kebaikan dari berbagai agama. Religius? Tidak juga. Ini keluarga bohemian yang sangat membebaskan anak-anaknya yang jenius. Sebegitu cerdasnya, hingga Seymour tak bisa bertahan dengan pembicaraan yang banal dan tradisi yang menyiksa. Dalam novel Franny and Zooey, kita berkenalan dengan sosok Franny, putri bungsu keluarga Glass, seorang mahasiswa universitas terkemuka yang berjanji bertemu dengan sang pacar, Lane Coutell, di sebuah akhir pekan. Lane, seorang mahasiswa borjuis, arogan, dan selalu mementingkan penampilan (ini bukan hanya soal fisik, tapi penampilan untuk terlihat intelektual dan memiliki kekasih yang paling cantik dan cerdas). Salinger menggambarkan Lane sebagai lelaki muda yang dominan dalam percakapan dengan kekasihnya; yang bangga bahwa dia terlihat tengah makan siang bersama Franny.

Tetapi pembaca tahu, hati dan pikiran Franny tidak terpusat pada Lane, melainkan pada sebuah buku berjudul The Way of Pilgrim yang mengingatkan pembaca tentang ajaran Seymour pada adik-adiknya. Sedangkan Lane berpretensi ingin membicarakan makalah Flaubert pada Franny; meski Franny menggerutu bahwa mahasiswa yang ditemuinya selalu berbentuk sama, berpikiran sama, dan luar biasa konformis. ”Semua orang berpretensi menjadi penyair,” kata Franny. ”Penyair sejati adalah mereka yang membiarkan keindahan itu dirasakan pembaca; bukan mencoba membuat puisinya menjadi indah.” Ucapan ini tak dipahami oleh Lane, yang merasa bahwa mereka dikelilingi penyair yang bagus-bagus. Kita melihat sepasang kekasih ini begitu berbeda hingga akan terjadi satu ledakan setiap saat.

Dalam novela berikutnya berjudul Zooey, Franny muncul kembali. Salinger kini menampilkan sang ibu, Bessie, yang sangat khawatir karena Franny tak kunjung mau memasukkan makanan apa pun ke mulutnya dan tak henti-hentinya komat-kamit mengucapkan mantra. Zooey, sang aktor yang sedang berlatih menghafal dialog skenarionya, lelaki paling ganteng di keluarga Glass, digambarkan acuh tak acuh dengan kekhawatiran ibunya. Tetapi sesungguhnya dia paling paham dengan situasi Franny.

Keduanya berbagi pengalaman tentang bagaimana Seymour, abang mereka yang sudah lama tewas, mengajar mereka soal penghormatan dan cinta kepada Kristus. Tetapi juga harus diingat, Seymour yang jatuh hati pada ajaran agama Timur sering memberikan berbagai buku dan pemahaman mantra yang berguna bagi adik-adiknya untuk bisa merasakan Sang Cahaya.

Pada titik ini, kita kemudian paham, sesungguhnya Seymour adalah seseorang yang menemukan pencerahan. Apa yang dianggap aneh dan ”gila” bagi mereka yang tak paham sesungguhnya adalah cara Seymour menghargai hidup. Ia adalah sosok yang intens dengan perasaannya; dia sungguh peka dan kepalanya yang sangat cerdas itu cepat sekali menangkap dan menyimpulkan perubahan alam dan manusia. Dia selalu ingin menghitung detik-detik yang berlalu sembari mengisi detik-detik dalam hidupnya dengan sesuatu yang berarti bagi dia dan adik-adiknya. Salinger, seperti juga Seymour, adalah sebuah sosok yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang menghargai sesuatu yang luar biasa dari sesuatu yang tampak sederhana.

Karya Salinger selalu tampil seperti karya realisme yang begitu saja; menceritakan dengan terperinci keseharian sebuah keluarga seperti Glass, tetapi sesungguhnya, setiap kalimatnya mengandung sesuatu yang penting yang tidak dilempar begitu saja.

Dalam novela Hapsworth 16, 1924, yang diterbitkan The New Yorker, 19 Juni 1965, kita melihat sekilas bahwa karya ini ”sekadar” surat biasa dari seorang Seymour. Tetapi, setelah beberapa paragraf, barulah pembaca akan memahami bahwa surat ini ditulis oleh Seymour di antara kesibukannya berkemah, di sebuah musim panas, pada saat dia masih berusia tujuh tahun. Surat itu panjang, menggunakan kosakata yang kaya, komprehensif, dan luar biasa cerdas tetapi toh tetap bisa meyakinkan kita bahwa itu ditulis oleh seorang anak lelaki berusia tujuh tahun yang berpikiran seperti seorang filsuf. Hanya pada saat Seymour memperlihatkan kekaguman pada gurunya yang cantik, barulah kita segera sadar, ini anak lelaki tujuh tahun khas anak-anak yang tengah kasmaran pada gurunya sendiri. Kasmarannya anak umur tujuh tahun. Menatap gurunya yang cantik dengan mata yang bulat bersinar.

Seymour tumbuh menjadi pemimpin bagi adik-adiknya. Saat mereka semua masih tinggal bersama, bertujuh, dengan orang tuanya di sebuah apartemen mewah di Manhattan, New York, adalah Seymour yang biasanya menjaga adik-adiknya dari segala celaka dan marabahaya. Dalam Raise High the Roof Beam, Buddy mengenang bagaimana Seymour si sulung selalu meninggalkan memo kecil kepada adik-adiknya, ”Booboo, angkut baju kotormu dari lantai, penuh sayang, Seymour.”; ”Walt, giliranmu mengajak Z dan F jalan-jalan ke taman. Giliranku kemarin.”; ”Hari Rabu adalah hari anniversary ayah dan ibu. Jangan bikin acara sendiri ke bioskop atau alasan lain. Ini pesan untukmu juga, Buddy!”

Seymour jelas kapten dari rombongan tujuh bersaudara itu. Dan keenam adiknya terlihat anak-anak cerdas yang sangat menghormati dan memuja apa pun yang dikatakan dan dilakukan sang abang.

Mereka semua menerima segala tindak-tanduknya yang eksentrik, yang terkadang antisosial, tetapi penuh cinta. Dalam novela yang sama, Salinger (lagi-lagi) bercerita dari sudut pandang Buddy. Hari itu, Buddy dalam perjalanannya menuju ke acara perkawinan Seymour dan Muriel. Ternyata saat dia bersama tamu-tamu dari pihak Muriel, Buddy menyadari betapa keluarga dan kerabat Muriel luar biasa jengkel dengan tingkah laku Seymour yang dianggap aneh dan sama sekali tak punya aturan. Diskusi antarkerabat Muriel itu semakin seru karena isinya serangkaian hujatan terhadap Seymour, sementara mereka tak tahu adik si ”orang gila” ada bersama mereka.

Dari cerita ini pula, kita menemukan sisi lain Seymour dari buku hariannya. Kita melihat betapa Seymour jatuh cinta pada Muriel. Betapa dia terharu melihat Muriel mencoba menyediakan saus tomat dengan segera ke pinggir piringnya, karena Muriel tahu bahwa Seymour selalu meletakkan saus tomat di makanannya. Dia merasa Muriel berhasil membahagiakannya, tetapi dia sangat khawatir jika tak bisa membahagiakan Muriel.

Dalam serangkaian novela ini, kita kemudian tahu bahwa karya masterpiece Salinger yang sesungguhnya adalah kisah-kisahnya tentang keluarga Glass.

LSC

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus