Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kocokan di enam senar itu seperti meledak. Lianto Tjahjoputro seperti menumpahkan energi dahsyat di jari-jari kanannya. Pada saat yang sama, jari kiri gesit berpindah dari fret rendah ke tinggi. Bergantian rhythm dan petikan ala kecapi Cina melantun dari gitar Alhambra 11.C buatan 1980. Satu rhythm di E minor menjadi penutup intro.
Hening sejenak. Jempol kanannya lalu memetik senar enam tanpa henti, dengan tekanan setiap empat petikan. Hasilnya, nada bas berwarna spiritual berdentang. Lianto mendudukkan telapak kanannya di tubuh gitar dan membentuk posisi bertapa. Setelah delapan tekanan, barulah penonton ngeh lagu yang dimainkan gitaris Yamaha terbaik 1991 itu—Taichi Master. Gaya Mandarin kian muncul ketika melodi dihasilkan dari senar rendah. Ia juga menyusupkan teknik rasgueado dalam permainannya.
Penampilan Lianto yang cukup mengejutkan dan menghibur penonton menjadi bagian Konser Persahabatan 4 Generasi Gitaris di Gedung Kesenian Jakarta, Ahad dua pekan lalu. Konser ini mencoba mengulas perjalanan gitar dan gitaris 50 tahun terakhir. Ada 50 gitaris klasik, klasik pop, dan flamenco menunjukkan kehebatan mereka.
Tak hanya ”begawan” seperti Lianto, yang tiga tahun lagi berusia separuh abad, konser juga menghadirkan gitaris muda berbakat. Permainan John Vincent Hardijanto, yang bulan ini berusia 17 tahun, misalnya, tak kalah menakjubkan. Membawakan Carnaval di Venice dan Un Sueno en La Floresta, Vincent tampil tenang dengan mata terus terpejam. Tapi jari-jarinya begitu trengginas dan menghanyutkan penonton. Lebih dari 10 menit penonton dibuai aliran nada sepenuh hati dari teknik-teknik seperti slur, harmoni, dan tremolo.
Meski masih ada kekurangan di sana-sini, para gitaris muda mampu menunjukkan kelas mereka. Alunan lagu Close to You grup Carpenters yang dimainkan Viky Adrian, cabikan senar bas gitaris perempuan Quinn Albertina yang membawakan karya klasik kontemporer Usher Waltz, atau lantunan Here, There, and Everywhere The Beatles yang diaransemen Raihan Fadilah, 10 tahun, menjadi contoh kehebatan mereka.
Penampilan gitaris gaek pun tak kalah mengesankan. Gaya Latin cepat dalam Lamento Borincano karya Rafael Hernandez dan El Chumbanchero yang dimainkan Nelson W. Rumantir menarik disimak. Duet Benny M. Tanto dengan Ibnu Fajar yang membawakan Choros dan Morenita de Brazil begitu sederhana tapi sangat hidup. Begitu juga dengan rentetan tremolo dalam Recuerdos de la Alhambra yang dimainkan John R. Legoh ataupun aransemen Bengawan Solo bernuansa keroncong dan blues dari Pho Tjun Yit.
Sayang, tak banyak penonton dalam konser berharga tiket Rp 50 ribu ini. Durasi konser hampir enam jam cenderung membuat lelah kuping. Pergantian pemain terus-menerus, dengan jenis lagu yang berbeda, mengakibatkan konsistensi menonton hilang. Sebagian besar penonton memilih pulang.
Foto tujuh tahun silam itu terselip di antara seratusan foto di belakang panggung Gedung Kesenian Jakarta. Satu perempuan dan dua laki-laki yang mengapitnya mengenakan jas hitam dengan kemeja putih. Ketiganya memegang gitar nilon. Tertulis dalam foto itu: ”Konser Trio Gitar Tiga Generasi”.
Benny M. Tanto mengenang dua sosok lain di sampingnya itu, Putri Sastra dan Kurniawan, sebagai murid-murid terbaiknya. Kurniawan kini menjadi guru gitar klasik. Sayang, Putri Sastra, yang berguru kepada Benny sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, memilih tak melanjutkan karier gitarnya. Padahal Benny menaruh harap Putri mampu tampil sebagai gitaris klasik perempuan terbaik di negeri ini.
Menurut dia, Indonesia sebenarnya memiliki banyak gitaris klasik hebat. Tapi, saat ini, jarang sekali gitaris yang setia pada jalur gitar. Akibatnya, nyaris tak ada gitaris klasik baru yang dikenal masyarakat. ”Kebanyakan gitaris klasik berbakat malah pindah jalur ke jazz atau pop, atau meneruskan sekolah lalu kerja yang tak berhubungan dengan gitar lagi,” kata gitaris klasik terbaik 1983 sekaligus satu dari 15 gitaris terbaik dunia 1992 ini.
Kerisauan juga disampaikan Nelson W. Rumantir. Gitaris klasik pop terbaik 1973 dan 1974 ini menilai saat ini jarang gitaris baru membuka mata publik. Terakhir, Jubing Kristianto masuk jajaran pendekar gitar klasik pop. Padahal, kata Nelson, kemampuan gitaris Indonesia telah melampaui Filipina yang menjadi gudang gitaris klasik.
Fenomena ini sebenarnya muncul sejak baheula. Gitaris klasik terbaik tahun pertama negeri ini, Carl Tangyong, memilih hengkang dan beralih ke usaha properti. Terakhir, ia tampil pada 1982. Carl mengaku jenuh karena apresiasi terhadap gitar klasik sangat kurang. ”Lagi pula, setelah sekian lama tampil, tidak ada yang bersaing dengan saya,” ujarnya.
Ada juga yang beralih karena merasa tak mampu hidup dari gitar. Gitaris terbaik 1979, Hans Wiryadi, memilih membuka toko bangunan. Meski setiap hari masih memetik gitar, Hans tak mau menjadi guru. ”Saya bermain just for fun,” katanya. Gitaris muda Anthony Leodi juga mengaku bakal pragmatis dalam menentukan karier gitarnya. Ia tak yakin gitar mampu menghidupinya. Mahasiswa Bina Nusantara ini akan memilih pekerjaan yang mampu mendulang uang.
Benny dan Nelson menilai ketakutan gitar klasik tak mendatangkan uang terlalu berlebihan. Benny mengaku mendapat minimal Rp 20 juta tiap bulan dari pekerjaan menjadi dosen di dua kampus dan guru privat. Adapun Nelson pernah dibayar dua mobil sedan dengan menjadi guru. Belum lagi honor dari penampilan di berbagai tempat.
Benny menilai saat ini gitar klasik kalah pamor dibanding alat musik lain, seperti piano dan biola. Apalagi gitar telah menjadi alat musik biasa karena relatif mudah dibeli. Dia mengibaratkan gitar kini menempati kasta rendah: sudra. Tak aneh, ruang pertunjukan gitar sepi penonton, sedangkan tiket pertunjukan piano atau biola ludes terjual. Sponsor pertunjukan juga sulit dicari. ”Saya lebih dari 100 kali mengadakan konser gitar klasik. Tak ada yang untung, lebih sering rugi,” katanya.
Selain itu, kata Benny, ajang gitaris klasik terbaik tak ada lagi. Ruang gerak gitar klasik kian terbatas. Regenerasi mandek.
Adapun Nelson menilai banyak guru gitar belum mumpuni mengajar. Imbasnya, murid menjadi tak menguasai dasar gitar. Nelson mengaku menerima banyak murid dari guru lain dalam kondisi belum matang. Selain itu, Nelson menilai banyak gitaris tak berdisiplin latihan. Setelah merasa jago, mereka tak lagi mengikuti kursus dan memilih berkarier solo. ”Padahal fingering saja masih kacau,” ujarnya. Belum lagi, dia melanjutkan, permainan yang kosong tanpa jiwa.
Keduanya tak bisa memastikan era kebangkitan alat musik yang pembuatannya mulai dirintis Antonio de Torres di abad ke-19 itu. Tapi mereka tetap berharap para gitaris muda yang telah menunjukkan kebolehan akan menggantikan posisi mereka kelak. Selama idealisme pada enam dawai terjaga, kata Nelson, pasti gitaris terbaik akan muncul.
Tak kenal lelah, perjuangan mengangkat kasta gitar nilon pun terus dilakukan. Keduanya dalam waktu dekat akan menggelar konser terpisah. Tak takut rugi lagi? ”Mereka yang tak mencintai gitar tak akan mengerti,” kata Benny.
Akhir pertunjukan. Tiga gitaris berumur itu terlihat tenang dan santai. Granada bergaya Latin dan The Masquerade yang kental dengan bossanova dilantunkan dengan sangat apik. Perpaduan petikan Nelson Rumantir, John R. Legoh, dan Ronny Irianto membuat 40-an penonton terkesima. Begitu nyaring, saling melengkapi, dan menghadirkan soul lagu. Usia seperti tak mempengaruhi kecepatan jari-jari yang mulai keriput.
Para gitaris ini tak peduli jumlah penonton hanya sepersepuluh kapasitas ruangan. Bagi mereka, gitar bukan hanya untuk mencari uang. Satu penonton tersisa pun, mereka akan tetap setia tampil. Sebab, gitar telah menjadi jalan hidup mereka.
Pramono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo