Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Enjam: Yang Takluk dalam Dupa Kemenyan

Sejak kanak-kanak, Enjam menjadi budak. Gara-gara takut tuntutan adat dan kemenyan, ia harus menggali kuburnya sendiri.

5 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU siang empat tahun lalu, seorang lelaki mendatangi rombong Temenggung Ngukir di hilir Sungai Makekal. Lelaki yang mengaku utusan Bahar dari Tanah Garo itu membawa oleh-oleh sekarung beras, sekantong gula dan kopi. Sebagai gantinya, ia minta empat tenaga lajang untuk pergi ”berbalok” (menebang pohon). Demi tuntutan adat, Enjam (waktu itu 13 tahun) bersama tiga bujang lainnya terpaksa memenuhi permintaan Bahar. Mereka bertugas menebang pokok-pokok pohon dan maenggantikan pekerjaan kerbau: menarik balok sebesar pelukan dua orang dewasa dari tempatnya tumbang di tengah hutan ke pinggir kali. Pada awalnya, kerja keras ini memang cuma dua pekan. Tapi, sebulan kemudian, utusan itu datang lagi menagih ”utang” yang katanya belum lunas. Merasa tak punya pilihan, Enjam dan kawan-kawan harus kembali pergi berbalok. Begitu berulang terus, hingga Enjam tak ubahnya seperti ”budak” yang tak pernah bisa bebas. Bagi orang rimba, permintaan Bahar yang dibarengi sekarung oleh-oleh merupakan perintah ”pangkal waris” yang pantang ditampik. Dulu, sebelum abad ke-20, pangkal waris merupakan penghubung antara raja di Jambi dan rakyat yang tersebar di sepanjang anak Sungai Batanghari. Pangkal waris membagikan kain dan peralatan berburu sebagai ganti ”serah” alias pajak hasil bumi yang mereka tarik dari masyarakat. Kini, kendati Kerajaan Jambi sudah dua abad digulung Belanda, praktek barter pangkal waris tetap berlangsung—bahkan dengan nilai tukar yang tidak masuk akal. Mereka tetap membawa beras, gula, dan kopi (meskipun, seperti kata Enjam, ”Persediaan kami sudah melimpah.”) dengan imbalan hasil hutan: madu, obat-obatan, kayu, getah jernang, rotan, atau bahkan tenaga kerja yang nilai tukarnya ditentukan semaunya. Orang rimba tak bisa menolak karena mereka percaya permintaan ini dideking oleh pasirah, aparat kecamatan, atau kepolisian. Dengan memenuhi permintaan pangkal waris, orang rimba percaya mereka akan terhindar dari campur tangan alat-alat pemerintah. ”Akibatnya, lahirlah budak-budak abadi semacam Enjam. Sebagai budak milik Bahar, Enjam bisa dijual kepada waris lain. Jika Bahar terbelit utang, misalnya, ia bisa membayarnya dengan menyewakan tenaga Enjam atau budak-budak yang lain. ”Kami ini tak lebih dari kerbau,” kata Enjam, berkeluh-kesah. Mengapa tak berontak? Enjam hanya bisa meng-geleng putus asa. Ia yakin, selain mendapat deking dari pasirah, pangkal waris ini memiliki pelbagai kesaktian dan ilmu sihir yang serba tak terkalahkan. ”Mereka suka membakar kemenyan,” katanya dengan nada ngeri. Enjam punya cerita. Dua tahun lalu, 12 orang rimba dari kelompok Temenggung Bedinding Besi meninggal hanya dalam tempo tujuh bulan tanpa ketahuan sebabnya. Menurut kabar, kematian itu merupakan tulah karena kelompok Bedinding Besi mulai membangkang perintah pangkal waris. Entah perintah yang mana, kepercayaan ”beracun” seperti ini terus dipupuk dan dipelihara anak-keturunan pangkal waris untuk keuntungan pribadi. Celakanya, kini makin banyak pangkal waris yang tidak hanya puas dengan madu dan rotan, tapi juga ikut-ikutan mengincar pokok pohon di hutan Bukit Duabelas. Berbekal gergaji mesin dan tenaga budak sitaan dari orang rimba, mereka main tebas segala pohon yang ada di jantung taman nasional itu. Meskipun sejak tiga tahun lalu penebangan dilarang pemerintah pusat di Jakarta, pembalakan liar ini justru kian menjadi-jadi. Saban hari, ratusan balok kayu digelontorkan ke Sungai Ruan, desa di pinggiran Sungai Batanghari. Di sana, kayu-kayu liar ini dijual kepada para tauke untuk kemudian dikirim ke pabrik pengolahan di sekitar Jambi atau diekspor. Entah bagaimana caranya, para tauke ini punya saja bekal surat izin pemanfaatan kayu yang diterbitkan pemerintah daerah. ”Salah satunya malah pakai nama koperasi orang rimba,” kata seorang kerabat Enjam. Bagi Enjam, me-nebas pohon di Bukit Duabelas berarti menentang para dewa. Selain itu, Enjam tahu betul pada pokok-pokok pohon itulah kehidupan keluarga dan kerabat nya bergantung. Membabat pokok kehidupan sama saja dengan menggali kubur sendiri. Tapi Enjam tak punya jalan keluar. Mendengar nama Bahar saja ia langsung terduduk lemas. ”Untung kalau hanya dipukul,” katanya, gemetar, ”Kalau disumpah mati?”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus